Mengunjungi Tidore pada pertengahan April 2017 lalu, ibarat beralih jenjang pendidikan. Mencecap pengalaman yang serba pertama, baru, dan seru. Menikmati dan mempelajari banyak hal, seperti orang-orangnya, tradisinya, dan alamnya.
Semua bermula dari partisipasi dalam lomba menulis blog bertema “Tidore Untuk Indonesia”. Lomba yang digelar sejak tanggal peluncurannya (12/2/2017) sampai tenggat akhir 18 Maret 2017.
Ngofa Tidore, agen jasa perjalanan yang dimiliki oleh pasangan suami istri asli Tidore, Muhammad dan Anita Gathmir menjadi pemrakarsa lomba. Selain menjalin kerja sama dengan sejumlah sponsor, lomba tersebut juga didukung oleh Kesultanan Tidore dan Dinas Pariwisata Kota Tidore Kepulauan.
Nama besar Tidore dan hadiah berupa ekskursi gratis ke sana selama 6 hari 5 malam menjadi daya tarik utama bagi peserta lomba. Termasuk saya. Terlebih lomba ini memang digelar dalam rangka merayakan Hari Jadi Tidore ke-909 yang digelar April 2017.
Tapi sejak tanggal peluncuran lomba, saya tak melakukan progres apa pun untuk berpartisipasi. Alasannya klise: bingung mau menulis apa.
Saya kira, sebagian besar peserta pun berpikir sama. Kita akan kesulitan menuliskan sebuah daerah atau pengalaman perjalanan, yang belum pernah dilakukan.

Di Instagram dan Twitter, saya kerap mengecek tanda pagar (tagar) #VisitTidoreIsland atau #VisitTidore. Penyematan tagar ini menjadi persyaratan wajib bagi peserta lomba saat memublikasikan tulisannya di kedua media sosial tersebut. Saya berusaha memetakan konsep-konsep tulisan yang sudah diikutsertakan. Sekaligus mencari tahu tema apa yang belum banyak ditulis.
Ingin rasanya mengulas tentang pariwisata di sana. Tapi jelas pariwisata memuncaki sebagai tema pilihan utama peserta lomba. Mulai dari wisata alam, kuliner, wisata sejarah, hingga wisata budaya.
Saya sendiri mengetahui Tidore hanya dari buku sejarah semasa sekolah. Menceritakan kekayaan rempah-rempahnya. Daya pikat tanaman beraroma itu, sanggup membuat para pelaut ulung termasuk kolonialis, rela mengarungi ganasnya samudra. Merempah sampai di timur Nusantara demi pala, lada, cengkeh dan sebangsanya.
Oh iya, juga uang Rp1.000 yang melukiskan Tidore dan Pulau Maitara.
Mempelajari Nuku dan Tidore dari Disertasi
Saya segera mempersempit tema, yaitu sejarah. Saya meyakini bahwa literatur sejarah berupa hasil penelitian ilmiah akan membantu keutuhan tulisan. Yang perlu saya lakukan adalah menentukan ide, mencari referensi pendukung, dan mengaitkannya dengan tema lomba.
Hingga kemudian ide itu muncul, setelah berhari-hari meramban di internet. Termasuk membuka laman Google Cendekia.
Dari ratusan tahun kiprah kesultanan di Nusantara, Tidore memiliki sultan-sultan dengan kisahnya masing-masing. Bertemulah saya pada sebuah peristiwa sejarah yang dikenal sebagai “Revolusi Tidore”. Peristiwa tersebut adalah salah satu yang menonjol, dipicu oleh satu sosok yang namanya abadi di Tidore hingga saat ini: Sultan Nuku.

Dan ada satu penulis yang meneliti topik itu dalam sebuah disertasi berbahasa Inggris. Adalah mendiang Muridan Satriyo Widodo yang menuliskannya saat studi jenjang S3 di Universitas Leiden, Belanda. Tesis doktoral peneliti LIPI yang diuji pada 12 September 2007 itu dapat diakses dan diunduh secara gratis (open access) di situs bank data/jurnal Leiden University.
Pekerjaan tidak berhenti begitu saja. Saya masih harus membaca pelan-pelan sebagian isi disertasi berformat PDF yang tebalnya lebih dari 300 halaman.
Namun, saya kemudian bersorak ketika melihat daftar isi tesis doktoral berjudul “Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistance in Maluku during the Revolt of Prince Nuku, c. 1780-1810” itu. Perjuangan Sultan Nuku dan “Revolusi Tidore” dibahas tuntas di bagian keempat, Chapter Four: Tidore and the Rise of Prince Nuku.
Tentu saja, saya tak bisa mengabaikan peran penting Google Translate saat mengalihbahasakan sebagian isi pokok di bab tersebut. Dan jadilah tulisan saya berjudul “Visit Tidore Island: To Ado Re, Sultan…”.
Selain disertasi Muridan, buku “Explore the Enchanting Tidore” dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tidore Kepulauan yang saya pesan lewat Annie Nugraha, juga sangat membantu memberi beberapa data pendukung. Mencakup informasi singkat tentang wisata alam, kuliner, dan budayanya untuk dimasukkan dalam tulisan.
Seingat saya, perlu beberapa hari (kurang dari seminggu) menyelesaikan satu tulisan sepanjang hampir 1.500 kata tersebut. Seperti lumrah terjadi pada aktivitas penyusunan tulisan, bongkar pasang isi layaknya menyusun starting eleven tim sepak bola.
Karena itulah, mengirimkan tulisan kurang dari sepekan dari tenggat akhir lomba bukanlah sesuatu yang disengaja.

Inilah Sepak Mula…
Kemudian datanglah hari keputusan itu. Tibalah hari di mana ketiga juri hebat: Annie Nugraha, Katerina, dan Sofyan Daud (budayawan Maluku Utara) memutuskan siapa kelima pemenang yang beruntung.
Pada tanggal 23 Maret 2017, lewat akun Instagram @visit.tidoreisland, foto dan nama saya nampang bersama keempat pemenang lainnya: Attini Zulfayah, Eko Nurhuda, Haryadi Yansyah, dan Deddy Wijaya. Hadiahnya seperti yang dijanjikan penyelenggara lomba. Plus tiga hari tambahan di Tidore dan Ternate.
Selama kurang lebih sembilan hari, terhitung sejak hari kedatangan (8 April 2017) hingga hari kepulangan (16 April 2017), kami menjadi saksi gempitanya Festival Hari Jadi Tidore yang ke-909. Kami mengikuti rangkaian acara inti yang begitu khidmat, seperti Rore Ake Dango, Parade Juanga, Paji Nyili-nyili, hingga kirab agung kesultanan dan upacara puncak.
Selain itu, tentu saja seperti wisatawan lainnya. Menikmati turisme.
Kami diajak menikmati lezatnya kuliner khas Tidore, melewati hari yang sejuk di Gurabunga, menyaksikan matahari terbit dari Benteng Torre, bermain air laut di pantai berpasir putih Pulau Failonga, hingga menyaksikan ratib taji besi di Kadato Kie (istana kesultanan) sampai ngilu. Saya akan mencoba menceritakan segala pengalaman itu ke tulisan-tulisan berikutnya.
Sehingga tulisan ini bukanlah penutup. Justru akan menjadi sepak mula tulisan-tulisan saya selanjutnya sebagai kontribusi kecil untuk Tidore dan Indonesia. Memutar ulang memori dan melihat foto-fotonya, yang rasanya akan membuat saya sendiri ingin kembali ke sana. Menggumamkan to ado re, lagi. (Bersambung)
Foto sampul: Gapura Kadato Kie, Istana Kesultanan Tidore
Lomba menulis blog dan kegiatan selama di Tidore, terselenggara atas peran Ngofa Tidore beserta pihak-pihak sponsor terkait:
Tinggalkan Balasan