Di suatu malam, saya hendak balik ke Malang. Naik bus patas dari terminal Purabaya, Sidoarjo. Tempat duduk sudah hampir penuh. Saya dapat kursi paling belakang.
Sesaat setelah duduk, tiba-tiba pundak saya ditepuk oleh seseorang di samping kanan. Raut wajahnya khas Indonesia timur. Perempuan berpakaian serba hitam tertidur di sebelahnya. Agak lirih dia bertanya, “Mas, ke Malang biasanya berapa lama?”
Saya menjawab, “Dua jam, Pak, kalau lancar.” Dia mengangguk. Kemudian kami tak saling ngobrol saat bus berangkat. Mereka berdua lebih banyak memejamkan mata.
* * *
Dua jam lebih sedikit, bus sudah mendekati terminal Arjosari, kota Malang. Si Bapak kembali menepuk pundak saya, “Mas, kalau mau ke MAN 3 naik angkot apa, ya?”
Saya berpikir sejenak. Mengingat-ingat, karena sudah jarang naik angkot. “MAN 3 Kota Malang?” saya memastikan, dia mengangguk, “Bisa naik angkot kode AL atau ADL, Pak.”
“Masnya naik angkot apa nanti?” tanyanya lagi. “Saya naik motor, Pak. Saya parkir di luar terminal.”
Lalu si Bapak meminta tolong, “Mas, nanti boleh, ya, tolong diantar ke angkotnya?” Saya tersenyum, mengangguk, “Iya, Pak, tenang saja. Nanti saya antar.”
Bus berhenti di jalur kedatangan 2 di terminal Arjosari. Terminal yang sedang berbenah itu sudah agak lengang.
Saat turun, si Bapak membawa tas ransel, sedangkan sang istri membawa tas kecil yang dicangklong di pundak. Barang bawaan mereka bukan hanya itu. Dari bagasi, si Bapak mengambil tiga buah tas: Dua koper ukuran sedang, dan satu tas jinjing ukuran besar.
Saya membawakan tas jinjing putih-krem yang cukup berat itu. Saya mengajak mereka berjalan menuju tempat mangkal angkot. “Pelan-pelan jalannya ya, Mas, istri saya sedang hamil 3 bulan,” seru si Bapak.
Saya mengangguk. Sambil berjalan, kami mengobrol ringan. “Kalian asalnya dari mana? Ada perlu apa ke sini?” tanya saya. Si Bapak menjawab, “Kami dari Flores, NTT. Saya rencana mau lanjut studi di pascasarjana UMM.” Sementara mereka akan menginap di hotel milik MAN 3.
“Floresnya di mana?” saya mencoba memastikan. Si Bapak menjawab singkat, “Maumere.”
Kami saling pandang, tapi tetap sambil berjalan. “Ah! Baru saja akhir bulan kemarin saya ke Maumere,” kata saya sembari tersenyum lebar.
Wajahnya berubah semringah. Saya buru-buru menambahkan, “Saya menginap dua malam di rumah temen di dekat stadion Samador. Ketemu teman-teman Mapala Unipa juga.”
Lalu si Bapak berhenti sejenak. Saya juga. Dia mengatakan kepada istrinya, “Mama! Masnya ini bulan lalu baru main ke Maumere.”
Istrinya menatap saya, ikut tersenyum. Tapi tidak sampai mengucap sepatah kata pun. Raut lelah tampak di wajahnya. Perjalanan pesawat dari Maumere lalu lanjut ke Malang memang cukup menguras energi. “Jalan-jalan, Bu, hehe,” kata saya.
Setibanya di pangkalan angkot, saya berseru ke sekelompok pria yang sedang duduk-duduk, “Pak, mereka mau ke MAN 3.”
“Itu mas, ADL!” Salah satu di antaranya menelunjuk angkot biru berkode ADL tepat di depannya. Saya bergegas menuju angkot yang masih sepi itu. Baru ada tiga penumpang selain mereka berdua. Tapi tas ketiga penumpang tersebut juga besar-besar.
Saya segera memasukkan tas dan koper ke dalam angkot. Mempersilakan si Mama masuk duluan. Ia langsung rebahan di kursi panjang itu.
Saya dan si Bapak masih di luar, saling bertukar nomor telepon. Dengan ponsel batang model lawas, layar tergores separuh, dia menyimpan nomor saya. “Dengan mas siapa namanya?”
“Rifqy, Pak.” Dia melakukan panggilan ke nomor saya. Saat saya simpan nomornya, ia berseru, “Tulis saja Frans. Frans Maumere.”
Kami berjabat tangan erat saat hendak berpisah. Wajahnya menampakkan binar sekaligus lelah. Saya berpesan, “Kalau Bapak perlu apa-apa, kabari saya.”
Frans melambaikan tangan ketika jarak di antara kami semakin menjauh. Mudah-mudahan kami berjumpa lagi. (*)
Terminal Arjosari,
awal November 2016
Singkatan:
NTT: Nusa Tenggara Timur, UMM: Universitas Muhammadiyah Malang, MAN: Madrasah Aliyah Negeri, ADL: Arjosari-Dinoyo-Landungsari, AL: Arjosari-Landungsari, Unipa: Universitas Nusa Nipa (Maumere)
Tinggalkan Balasan