Tak ada satu pun bukti tertulis yang mengisahkan terbentuknya kampung ini. Cerita-cerita yang membentuknya adalah hasil kekuatan lisan. Mulut ke mulut. Dari generasi ke generasi. Turun temurun.
Kabarnya, semua bermula dari seonggok pohon kinah gadung wulung. Ia hanya pohon biasa yang tumbuh di sebuah padukuhan bernama dusun Tlogo. Tapi di dalamnya, tersimpan benda pusaka. Benda yang dikabarkan memiliki kekuatan supranatural besar itu terpantau radar Keraton Kesultanan Mataram.
Keraton pun menyebar sayembara. Barangsiapa yang kuat menjaga dan merawatnya, akan diberi tanah secukupnya untuk anak dan keturunan. Seorang abdi dalem keraton yang berasal dari Banyumas, Eyang Iro Dikromo menyanggupinya. Benda pusaka kemudian diamankan dan disimpan dalam keraton.
Jejak Eyang Iro Dikromo mendapatkan benda pusaka di Dusun Tlogo, diikuti keenam orang sakti lainnya, termasuk Kyai Tir. Namun, hanya mereka berdua yang dapat melanjutkan keturunan di dusun tersebut.
* * *

Pagi di akhir pekan itu kian terang. Setelah puas menikmati puncak Gunung Bantal, Heru mengajak kami –tim #EksplorDeswitaJogja– berkunjung ke sebuah rumah. Tak jauh dari tempat parkir wisata Gunung Bantal. “Ini rumahnya Mbah Redjo Dimulyo, sesepuh Kampung Pitu,” kata pemandu sekaligus anggota bagian pemasaran di desa wisata Nglanggeran itu.
Rumah bercat biru sekilas biasa-biasa saja. Halamannya luas, khas permukiman di pedesaan. Tapi satu sosok yang menjadi penghuni rumah ini bukan orang sembarangan.
Mbah Redjo Dimulyo, 100 tahun, adalah generasi keempat dari keturunan langsung Eyang Iro Dikromo. Saat ini, ialah yang dituakan di Kampung Pitu, yang masuk dalam wilayah administratif RT 19/RW 04, Dusun Nglanggeran Wetan. Di usianya yang seabad, ingatannya masih cukup kuat. Meskipun begitu, tutur katanya agak kurang jelas dan perlu bantuan Heru untuk menerjemahkan maksudnya.
Karena merupakan tokoh yang dituakan, Mbah Redjo Dimulyo pun juga memegang mandat sebagai ketua RT Kampung Pitu. Sesuai dengan namanya, kampung ini hanya dihuni 25 jiwa penduduk di bawah tujuh kepala keluarga. Dalam luas wilayah hingga 7 ha dan kontur yang miring, rumah warga yang mayoritas petani terpencar agak berjauhan.

“Di sini tempatnya pertapa, tidak hanya tempatnya para manusia,” tutur Mbah Redjo Dimulyo, yang pernah melakukan puasa dan bertapa selama 17 tahun. Ia menegaskan, sudah menjadi ketetapan Tuhan Yang Maha Esa, bahwa awalnya hanya satu orang yang kuat tinggal di sini, yaitu Eyang Iro Dikromo.
Eyang Iro Dikromo kemudian diberi kuasa atas tujuh orang, termasuk Kyai Tir. Bila kurang dari tujuh akan ditambah, kalau lebih akan dikurangi. Ini artinya, kalau satu di antara ketujuh orang meninggal, maka ketetapan tersebut akan berlaku. Begitulah kepercayaan yang dipegang teguh secara turun-temurun.
Mbah Redjo Dimulyo dan masyarakat Kampung Pitu percaya, akan muncul mala yang menimpa jika ketentuan tersebut dilanggar. Sejauh ini, belum pernah terjadi kasus jumlah kepala keluarga berkurang. Yang pernah terjadi adalah kelebihan kepala keluarga menjadi delapan. Akibatnya, terjadi peristiwa-peristiwa gaib yang mengganggu ketenteraman kampung.
Saya pikir, kepercayaan tersebut sejatinya merupakan bentuk pesan agar menghormati leluhur. Begitu pula bagi siapa pun yang akan berkunjung ke Kampung Pitu, harus bertingkah laku dengan sopan. Sebuah keharusan bagi para tamu, termasuk kami, menyempatkan bertamu ke rumah Mbah Redjo Dimulyo untuk meminta izin.
“Kebanyakan orang zaman sekarang hanya memikirkan sandang. Uang banyak, sepeda motor bagus, tapi tidak punya sopan santun,” tutur Mbah Redjo Dimulyo.
* * *

Dari rumah Mbah Redjo Dimulyo, kami berjalan menuju Tlogo Guyangan. Saat diskusi usai makan malam di pendopo desa wisata Nglanggeran, Heru sempat mengisahkan keberadaan telaga (tlogo) tersebut.
Tlogo Guyangan dulunya merupakan telaga yang di dalamnya terdapat sumber mata air. Namun, kini telaga tersebut tertutup lumpur dan menjadi persawahan yang digarap warga. Akan tetapi, mata airnya masih tetap ada dan dilindungi dalam sumur, dan tak pernah kering sepanjang tahun.
Heru juga berkisah, jika telaga ini dulunya menjadi tempat pemandian kuda Sembrani (sejenis kuda terbang). “Mitosnya, setiap hendak dimandikan, kuda tersebut akan menapak di batu dan jejaknya akan membekas,” tuturnya. Bahkan, warga meyakini ada satu jejak tersisa yang membekas di bebatuan di samping telaga.
Di luar kisah spiritual yang membungkusnya, kehidupan Kampung Pitu sejatinya tidak seprimitif yang dibayangkan. Listrik sudah masuk. Bahkan beberapa rumah sudah ada sentuhan modernisasi.

Meskipun demikian, harus menjadi kuat dan sabar jika tinggal di Kampung Pitu. Karena lokasi yang cukup sulit dijangkau (berada di ketinggian sekitar 740 meter dari permukaan laut), untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga harus turun ke desa terdekat yang berada di bawah Kampung Pitu.
Karena keteguhan memegang tradisi leluhur, Kampung Pitu pernah diundang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI pada acara Gelar Tradisi Komunitas Adat di Semarang, pada 6-10 Agustus 2015. Dalam acara atraksi budaya tersebut, terdapat enam komunitas adat yang diundang selain Kampung Pitu, yaitu Kota Gede dan Pakualaman (Yogyakarta), Samin (Blora), Jalawastu (Brebes), Adipada (Banyumas), dan Tionghoa (Semarang).
Salah satu tradisi yang masih dipegang teguh bagi masyarakat Kampung Pitu adalah prosesi Tingalan. Dalam zaman modern seperti sekarang, prosesi tersebut serupa dengan perayaan ulang tahun kelahiran seseorang. “Bedanya, tradisi di Kampung Pitu menggunakan penanggalan kalender pasaran Jawa,” kata Heru.
Ia memberi contoh. Misal, ada yang lahir di hari Selasa Pahing di bulan Rajab, maka perayaan Tingalan dilakukan pada hari dan bulan yang sama, dan dilakukan satu kali dalam setahun. Tradisi yang masih dilestarikan –terutama oleh keturunan Kyai Tir– ini, dirayakan dengan kemasan kenduri dan disisipkan ubo rampe sebagai sesaji.
* * *

Kami kembali ke penginapan lewat jalur yang berbeda. Melalui jalan rabat yang membelah pematang sawah di kaki gunung api purba Nglanggeran. Sesekali menyapa para petani yang sedang menanam padi.
Kampung Pitu, agaknya memang membiarkan sebagian labirin kisahnya tertutup rapat. Selayaknya gunung yang berada di belakang kami, yang masih menyimpan sudut-sudut tersembunyi. Seperti yang Heru sampaikan saat diskusi semalam di Nglanggeran. Bagi suami Nuryanita itu, tidak semua harus kami ketahui. Tabir itu, biarkan tetap pada tempatnya.
Yang kami tahu, inilah tempat di mana keluhuran budi pekerti dan tradisi dipegang teguh. Seperti wejangan yang disampaikan Mbah Redjo Dimulyo, bahwa orang yang baik akan menuai hasilnya, begitu pula sebaliknya. “Yang Maha Kuasa tak hanya dapat mengubah wujud manusia, tapi juga wujud alam semesta,” ujar kakek 16 anak dan 27 cucu itu menutup obrolan, (*)
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Travel Blogger Eksplor Desa-Kampung Wisata Jogja Istimewa” bertema #EksplorDeswitaJogja yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi (Forkom) Desa Wisata D. I. Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tulisan bloger yang lain tentang #EksplorDeswitaJogja dapat dilihat di masing-masing blog berikut ini:
- Hannif Andy – insanwisata.com
- Nasirullah Sitam – www.nasirullahsitam.com
- Aya – www.cewealpukat.com
- Halim Santoso – jejakbocahilang.wordpress.com
- Rizka Nidy – www.missnidy.com
- Aji Sukma – www.lagilibur.com
- Dwi Susanti – www.relunglangit.com
- Alid Abdul – www.alidabdul.com
Untuk keperluan wisata di Desa Wisata Nglanggeran, Gunungkidul, Anda dapat menghubungi Sugeng Handoko (081802606050) atau Aris Budiyono (081804138610).
Website: www.gunungapipurba.com
Facebook: Gunung Api Purba Nglanggeran
Twitter dan Instagram: @gunungapipurba
Foto sampul:
Pemandangan matahari terbit dari puncak Gunung Bantal, 750 mdpl. Di lereng ini bermukim 25 jiwa penduduk Dusun Tlogo, atau yang kini dikenal dengan sebutan Kampung Pitu.
Tinggalkan Balasan