Saya terkesan saat membaca lembar demi lembar disertasi berbahasa Inggris –yang juga dibukukan– karya almarhum Muridan Satriyo Widjojo. Tesis doktoral peneliti LIPI yang diuji pada 2007 di hadapan para promotor Universitas Leiden, Belanda itu, begitu sangat-sangat (saya sengaja menekankan) membuka relung wawasan baru –selain tebal, tentu saja (lebih dari 300 halaman). Karya ilmiah setebal itu berisi riset yang menampilkan satu sosok utama, Sultan Nuku, yang mana terlibat dalam kebangkitan Kesultanan Tidore.
Ada atribusi khusus yang membuat Sultan Nuku begitu dikenal dan dikenang, yaitu jejak Revolusi Tidore. Ada di bagian keempat dalam disertasi tersebut.
Sultan Nuku bukanlah yang pertama dalam tahta Kesultanan Tidore. Tapi lewat Revolusi Tidore-lah, namanya melambung. Ia seakan ditakdirkan Tuhan untuk membuka mata dunia, bahwa Tidore tak bisa dipandang sebelah mata.
Tidore, olehnya dibuat seakan mengabarkan adagium. Boleh kita terbuai dengan kekayaan alam dan budayanya, tapi harus diiringi penghormatan sejarah pada para pendahulu. Pada jasa-jasa atas kemerdekaan Tidore dari Belanda, hingga kemudian secara administratif bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.

Mengenal Tidore, Mengenang Sultan Nuku
Tidore tidak akan bisa lepas dari sejarah kesultanannya. Negeri para sultan, begitu saya menyebutnya. Setiap sultan dalam periodenya masing-masing memiliki kisah kepemimpinan tersendiri yang menarik untuk disimak. Tak terkecuali, Muhammad Amiruddin, yang lebih dikenal dengan Sultan Nuku.
Tonggak kejayaan Tidore, bagi saya bukan semata berupa keindahan alamnya. Tapi terletak pada sosok sultan Tidore ke-30 yang bergelar Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Djehah Muhammad El Mabus Amiruddin Sjah Kaitjil Paparangan Jou Barakati itu.
Dan, Sultan Nuku merupakan sosok yang menonjol dalam sejarah kesultanan Tidore. Revolusi Tidore yang ia kobarkan, demi cita-cita mengembalikan martabat dan kejayaan Tidore dari cengkeraman kebijakan politik pecah belah ala VOC.
Tidore adalah tipikal daerah kepulauan seperti pada umumnya. Bersandar gunung, menghadap laut. Dengan kondisi geografis yang demikian, jelas akan menjadi primadona pada masanya. Bersama dengan daerah lainnya dalam naungan Moloku Kie Raha –Ternate, Bacan, Jailolo– berserak rempah-rempah incaran kolonial, khususnya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau United East India Company). Target mereka adalah untuk memenuhi salah satu dari tiga ‘G’, yaitu Gold. Memburu kekayaan.
Gejolak revolusi Tidore bermula dari dihapuskannya perjanjian lama pada masa kepemimpinan Sultan Saifuddin di tahun 1667, yang isinya menolak orang-orang Spanyol. Perjanjian baru yang dibuat (secara paksa) antara Sultan Patra Alam dan Gubernur Cornabe di Fort Oranje, pada 17 Juli 1780. Dengan perjanjian baru tersebut, VOC resmi mengubah seluruh status hubungannya dengan Kesultanan Tidore, dari sekutu menjadi pengikut. Status yang sama diterapkan pada Kesultanan Ternate sebelumnya.
Isi perjanjian baru itu sangat merugikan Tidore. Sultan harus menyampaikan upeti tahunan –di antaranya adalah empat budak dan sepuluh burung kakaktua–ke Gubernur Jenderal di Batavia. Kesultanan bahkan wajib menyerahkan inventarisasi semua perhiasan, emas, dan perak yang dimilikinya.
Sebagian besar otoritas politiknya diambil alih total. Sultan tidak lagi diizinkan untuk berkomunikasi lebih jauh dengan luar negeri atau negara-negara tetangga tanpa izin sebelumnya dari VOC. Kesultanan juga tidak boleh membangun benteng atau konstruksi bangunan lain tanpa persetujuan VOC. Terakhir, hak Sultan untuk menjalankan kekuasaan atas sengketa atau kejahatan dalam keluarga kerajaan, juga dirampas.
* * *

Tak terima dengan perjanjian tersebut, Sultan Nuku memberontak. Serangan ke Toloa pada tahun 1780 –juga tahun di mana Patra Alam naik tahta– mengawali Revolusi Tidore.
Berbeda dengan sosok protagonis lainnya, Sultan Nuku memiliki strategi yang lebih luwes tapi tetap tanpa kompromi. Sultan Nuku mengerti bahwa ia hidup di dunia yang terus berubah. Daripada sibuk mengatur strategi hanya untuk kepentingan diri sendiri, ia sering berpindah tempat. Melintas dari perairan satu ke perairan lainnya. Menyusun strategi sebelum terjun ke medan perang, berbekal kecakapan bela diri dan jiwa kepemimpinannya.
Sultan Nuku memiliki kemampuan untuk mempersatukan banyak golongan yang bicara dalam bahasa yang berbeda. Tidak sekadar berkomunikasi, ia juga mengulurkan tangan dengan dunia yang lebih luas untuk membantu perjuangannya. Kehadiran Inggris dimanfaatkannya untuk berdiplomasi.
Kemampuan suami dari Geboca –satu-satunya istri Sultan Nuku– itu dianggap Muridan melampaui tradisi alami Tidore dalam urusan menghimpun kekuatan massa. Bahkan ia disebut memiliki kekuatan supranatural, yang mampu merangsang orang-orang Maluku untuk memberikan dukungan kepadanya secara total. Seorang pribumi Makassar yang pernah ditemuinya, bahkan menyebut bahwa ketakutan terbesar Sultan Nuku sebenarnya bukan penjajah, melainkan dirinya sendiri.
Perjuangan tanpa lelah bertahun-tahun itu membuahkan hasil. Perlahan, iklim berbangsa yang tidak sehat antara Tidore, Ternate, Seram Bagian Timur, daerah Gamrange, hingga Raja Ampat, dipulihkan kerjasama dan komunikasinya oleh Sultan Nuku. Bisa dibilang perjuangannya nyaris sempurna, karena selama puluhan tahun memimpin revolusi, hampir tidak ada laporan tentang konflik internal dalam pasukannya. Kecuali, keributan sesaat akibat ia mengusir segelintir pasukannya yang terpengaruh oleh tekanan dan bujuk rayu Belanda.
Kemenangannya atas Bacan dan menduduki Tidore pada 1797 –tahun di mana dia naik tahta– menjadi titik balik kebangkitan Tidore. Momen di mana perpecahan yang merajalela di Maluku hingga Papua –akibat politik divide et impera yang sukses di periode sebelumnya– berhasil diatasi.
Barangkali, Sultan Nuku adalah satu dari sedikit ‘pemberontak’ yang sulit ditaklukkan, tidak pernah menyatakan menyerah, tidak kalah, bahkan tidak pernah ditahan selama masa revolusi dan kepemimpinannya. Gelar jou barakati yang melekat padanya bermakna lebih dari sebatas panglima perang. Tapi juga ia mampu mempertahankan independensi politik Tidore selama pendudukan Belanda dan Inggris.
Sekitar seperempat abad akhir dalam hidupnya, dihabiskan Sultan Nuku dengan berperang demi pembebasan rakyat dari cengkeraman penjajahan. Bahkan saat sudah menduduki kursi kesultanan hingga kematiannya pada 14 November 1805 karena sakit. Sejarah mencatat perjuangan itu untuk dikenang dan diteladani.
Tak salah jika Haga (yang disebut Muridan dalam disertasinya), sejarawan asal Belanda dan penulis jurnal Nederlandsch-Nieuw Guinea en de Papoesche Eilanden: Historische Bijdrage, 1500-1883, menilai sosok Sultan Nuku lebih dari seorang pangeran atau petualang biasa. Bagi Haga, Sultan Nuku adalah seorang negarawan yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk kebesaran dan kemerdekaan tanah Maluku, terutama Moloku Kie Raha (Maluku Utara).

Paji Nyili-Nyili
Tajuk Visit Tidore Island yang kian digaungkan oleh pemerintah daerah Kota Tidore Kepulauan, sejatinya mengandung pesan tersirat. Di dalamnya ada rayuan bak lambaian nyiur untuk mengenal kota yang luas wilayahnya sepertiga dari Pulau Madura itu lebih jauh.
Berbicara tentang Tidore, tak terbantahkan jika kekayaan alamnya tak ternilai keindahannya. Tak akan berujung kosakata demi menggambarkan lukisan alamnya. Dengan bingkai berupa bentang alam yang memukau, Tidore memiliki kekayaan histori dan kearifan lokal yang khas.
Saya menyebutnya sebagai harmoni. Harmoni tersebutlah yang ingin saya kenal lebih dalam. Menarik sekali mempelajari Tidore Kepulauan secara utuh, meski sementara ini hanya sebatas dari literatur baik cetak atau non-cetak.
Paji Nyili-nyili (Obor Negeri-negeri) adalah salah satu bagian dari harmoni itu. Kegiatan adat ini merupakan simbol untuk mengenang dan menghayati perjuangan Sultan Nuku kala merebut Tidore pada 12 April 1797.
Tradisi yang menjadi suguhan utama setiap peringatan Hari Jadi Tidore (HJT) itu merupakan prosesi sakral dan khidmat, namun meriah. Prosesi ini menapaktilasi rute perjuangan Sultan Nuku yang terkonsentrasi di Akelamo, Pulau Mare, dan Pulau Tidore. Arak-arakan ini nantinya berujung ke Kadaton Kie, Istana Kesultanan Tidore.
Dengan prosesi Paji Nyili-Nyili atau Obor Negeri, Tidore ingin menunjukkan kejayaan mereka di masa lampau, yang semangatnya masih diresapi hingga saat ini. Tidore seakan memberi penegasan, bahwa akan sia-sia kekayaan alam yang merupakan keniscayaan, jika tak ada bentuk penghormatan kepada perjuangan pahlawan mereka pada masa kolonial.
Saya sendiri memiliki harapan sederhana. Saya berharap, jangan sampai konflik internal seperti terjadi pasca wafatnya Sultan Achmad Kawiyuddin Alting pada 1906 terulang. Konflik tersebut berujung pada penghancuran Kadato Kie dan vakumnya kekuasaan selama 40 tahun di kursi kesultanan.
Bersama dengan Kadaton Kie, Husain Sjah –sultan Tidore yang sekarang– dan sultan-sultan setelahnya adalah simbol pemersatu Tidore. Dan hal itu menjadi layak, untuk dijadikan alasan mengapa Paji Nyili-nyili dan tradisi budaya khas Tidore lainnya harus dilestarikan.
* * *

Barangkali, sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat Tidore sehari-hari, jelas menjadi hal yang luar biasa sekaligus baru bagi saya.
Misalnya, duduk santai kala sore di tepi Pelabuhan Rum Tidore. Diawali dengan melahap sagu kasbi, pisang coe, hingga sajian ikan cakalang bakar sambil memandang Pulau Maitara. Kopi rempah hangat menjadi minuman pamungkas.
Tapi saya ingin lebih dari itu. Dari Tidore, saya ingin menjadi bagian penting bangsa seperti yang Sukarno bilang, yang besar karena menghargai jasa pahlawannya.
Keinginan yang begitu tinggi, tapi saya yakin sesederhana itu. Ketika itu terwujud dan sampai tiba waktunya, ingin rasanya saya bergegas bersimpuh sejenak di samping pusara Sultan Nuku di Tidore. Tak lupa memanjatkan setangkup ucapan syukur dofu dan menghela napas panjang. To ado re… Aku telah sampai, Sultan… (*)

Sumber Pustaka:
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tidore Kepulauan. 2016. Explore the Enchanting Tidore.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku Utara. 2013. Database Pariwisata Tidore Kepulauan. Diakses melalui http://disbudpar.malutprov.go.id/.
Muridan Satriyo Widjojo. 2007. Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistance in Maluku during the Revolt of Prince Nuku, c. 1780-1810. Tesis doktoral, diuji 12 September 2007 di Universitas Leiden. Diakses melalui https://openaccess.leidenuniv.nl/
Foto sampul:
Ilustrasi potret Sultan Nuku (Sumber: learningfromdisasters.wordpress.com)
Tinggalkan Balasan