Garis pantainya cukup panjang. Namun tak sepanjang Pulau Merah di Banyuwangi. Air laut bergradasi warna biru gelap dan tosca semakin berombak. Hendak pasang. Tak bosan menerjang pesisir yang berpasir putih. Padahal langit biru di angkasa tenang-tenang saja. Seperti Pulau Sempu di sisi barat yang diam dan tegar.
Tak hanya ombak yang riuh. Keriuhan juga datang dari hilir mudik pengunjung yang datang dan pulang. Ada yang berkelompok besar, berniat berkemah semalam. Hingga yang berpasangan, hanya sekadar menikmati pantai berdua. Saya dan Akbar juga berdua. Tapi hanya berstatus teman perjalanan. Tak lebih.
Sejumlah ayunan sederhana yang digantungkan pada batang pohon besar menjadi pemanis. Banyak yang duduk di atasnya, lalu dipotret dari belakang dengan latar pantai. Sayang, koleksi foto saya hanya berupa ayunan dengan latar yang sama, tapi tanpa seseorang di atasnya.

Sejatinya ada satu lagi yang mengusik benak. Tak hanya ayunan dan permainan warna laut. Sebuah papan nama dari kayu terpaku di batang pohon. Menunjuk ke arah timur pantai. “Singo Lelono”, hanya itu yang tertulis.
“Itu makam seorang pertapa pendatang,” terang Reno, petugas pos pengecekan karcis dan sampah. Dia menambahkan, “Konon, dia lelaku (lelono) di sana sampai mati. Sudah puluhan tahun yang lalu makam itu ada.”
Makam di bukit timur pantai itu rupanya bukan satu-satunya “potensi” yang menghiasi Sendiki. Singo Lelono seolah pintu gerbang yang masih terkunci. Reno menguak potensi-potensi lain yang kelak membuat Sendiki tak sendiri menjamu pelancong.
* * *
Mulanya jalan beraspal mulus sejak gapura masuk kawasan Pantai Tamban Indah, Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Gapura ini akan terlihat di sisi kiri jalan sekitar 5 km sebelum Pantai Sendang Biru. Setelah melaju di atas jalan yang menurun, kami menjumpai pertigaan. Untuk menuju ke Sendiki, kami diarahkan ke kiri oleh sebuah petunjuk dari papan kayu. Melewati bangunan gereja yang saat itu sedang ada ibadah kebaktian Minggu. Kalau ke kanan, akan menuju Pantai Tamban Indah, kampung nelayan yang berdekatan dengan Pulau Sempu.
Lalu jalan aspal mulai menampakkan bopengnya selepas gereja. Dan berganti total berupa jalan makadam tanah diselingi bebatuan. Beberapa saat kemudian saya menghentikan motor. “Mas, sepertinya sampean harus turun dulu,” pinta saya ke Akbar, ketika dihadapkan jalan berlumpur sepanjang 100 meter di antara persawahan. Saya melajukan motor secara perlahan, dibantu kedua kaki menjejak di atas lumpur. Sedangkan Akbar jalan kaki sejauh jalan berlumpur ini.

Akbar kembali membonceng saya ketika jalan selebar truk pasir ini mulai mendingan. Sesekali bergantian dengan rombongan pengunjung yang sedang dalam arah pulang.
Saya merasa lega ketika menjumpai pos retribusi. Dan tempat parkir motor setelahnya. Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya sampai juga. Akhirnya ada waktu menyeka keringat yang bercucuran. Ada waktu meregangkan otot yang mengejan menahan keseimbangan motor.
Ada dua pos yang harus kami lewati sebelum benar-benar menginjakkan kaki di Sendiki. Pertama adalah pos retribusi yang berdekatan dengan tempat parkir. Yang kedua adalah pos yang terletak agak tinggi setelah menaiki jalan berlapis cor, dengan warung di kanan dan kiri. Pos yang dijaga Reno dan Sulisno ini sebagai tempat pemantauan karcis masuk dan sampah. Tak bosan mereka berdua senantiasa mengingatkan pengunjung agar bertanggungjawab dengan bekal dan sampah yang dihasilkan.
Dari pos kedua tersebut, jalan kembali menurun beralas tanah. Dilengkapi pagar sederhana sebagai pengaman. Debur ombak kian jelas terdengar. Wujud Pantai Sendiki tampak jelas di mata.
Saya bersyukur, pantai ini tak sepadat yang saya khawatirkan.
* * *
Penamaan pantai ini bermula saat nenek moyang warga Tambakrejo babat alas. “Dulu, leluhur kami sempat bingung cari tanah yang cocok untuk jalan dan perkampungan,” tutur Reno. Karena bingung, di antara mereka saling bersahutan dan bertanya-tanya: sing endi iki? (yang mana ini). “Makanya disingkat jadi Sendiki,” jelas Reno.
Berbeda dengan Pantai Tamban yang sudah dikenal sejak lama, Pantai Sendiki baru 8 bulan dibuka untuk umum. Itu setelah melalui proses hampir dua tahun untuk pembukaan akses jalan dan pembangunan fasilitas umum. Tapi, progresnya cukup cepat. Pemkab Malang lewat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menggelontor ratusan juta untuk pengembangan Pantai Sendiki. Hingga kini, bersama Perhutani dan LMDH, tim panitia pengelola masih terus berupaya membenahi Sendiki. Selain memperbaiki akses jalan, juga berupaya memperbanyak fasilitas umum seperti toilet yang masih terbatas.

Tim panitia pengelola beranggotakan 20 orang yang diketuai kepala dusun setempat, termasuk Reno dan Sulisno di dalamnya, sempat diprotes warga pada awalnya. Khususnya petani yang sawahnya terkena proyek pelebaran jalan. Beruntung tak sampai berlarut. Petani terdampak mendapatkan ganti rugi berupa lapak untuk berjualan makanan-minuman di kawasan pantai. Selain itu, kata Reno, toh jika jalan lebih lebar dan mulus akan memudahkan pengangkutan hasil panen mereka. “Rencananya jalan sudah mulus setelah bulan Juni-Juli nanti,” tambahnya.
Kemudahan akses akan membuat Pantai Sendiki kian dipadati wisatawan. Risiko dari membeludaknya wisatawan ini adalah sampah. Sejauh ini, antisipasi pengelola adalah dengan keberadaan pos yang dijaga Reno dan Sulisno tadi. Mereka berdua memantau barang bawaan pengunjung yang berpotensi menjadi sampah. Pengelola juga menyediakan sejumlah rambu-rambu peringatan dan tempat sampah di beberapa titik di kawasan pantai. “Sampai sekarang kebanyakan pengunjung menanggapi positif. Jadinya kami merasa terbantu,” kata Reno.
Keberadaan Pantai Sendiki yang karakternya khas, membuat Kabupaten Malang kian banyak pilihan wisata pantai. Kelebihan Pantai Sendiki adalah keberadaan lahan datar yang cukup nyaman untuk berkemah. Meskipun memang tak seluas camping ground di Pantai Kondang Merak, Bantur, Malang. Pihak pengelola memasang tarif Rp 20 ribu bagi yang ingin berkemah dengan tenda sendiri. Tak perlu khawatir jika mendadak ingin berkemah tapi lupa membawa tenda. Reno dan kawan-kawan menyediakan sekitar 8 tenda untuk disewa seharga Rp 35 ribu, termasuk tiket masuk yang normalnya Rp 5 ribu per orang.

Melihat Akbar memanggul tas carrier berisi tenda dan perbekalan kemah, Reno bertanya kepada kami, “Kalian nanti camping di mana?” tanya Reno. Saya menjawab, “Di Batu Bengkung, Pak. Mau lihat sunset di sana, hehehe.”
Saya dan Akbar memang hanya sebentar di Sendiki. Meski Akbar sempat membentangkan hammock untuk bersantai.
Reno mengangguk, lalu berkata, “Kapan-kapan lagi camping di Sendiki, biar puas eksplor semuanya.” Lalu Reno menelunjuk ke arah timur pantai. Ke arah bukit, ke arah Singo Lelono.
* * *
Di balik bukit yang ditunjuk Reno, ternyata tersimpan tempat-tempat yang penuh potensi. Sendiki dan Singo Lelono rupanya tak sendiri sebagai pemilik potensi.
“Rencananya, tahun depan mau dibuka akses jalur untuk umum ke sana,” terang Reno. Katanya, saat ini sebenarnya bisa untuk menuju balik bukit itu. Tapi jalur masih sulit dan hutannya cukup rapat. Pengelola mengharuskan pengunjung menyewa pemandu setempat demi keamanan. “Masih banyak satwa liarnya,” tambahnya.

Tak cukup satu tempat di balik bukit Singo Lelono yang akan dikuak. Ibarat menunjuk peta tak kasat mata, Reno bagai guru geografi dadakan yang menerangkan kepada muridnya. Dia mengisyaratkan, bahwa dari balik bukit demi bukit, tersimpan bentang alam yang masih jarang terjamah. Tak hanya berpotensi mempermanis Pantai Sendiki, tapi juga Singo Lelono sebagai wisata religi.
Di timur bukit Singo Lelono, terdapat Kali Pringapus. Terpisahkan sebuah bukit, bersemayam Kletakan, sungai kecil yang airnya dikabarkan berwarna seputih susu. Kontras dengan sungai di sebelahnya lagi, yang dikabarkan berasa asam. “Terakhir,” kata Reno, “Ada semacam telaga yang banyak ikannya.”
Lewat tulisan ini, sepertinya saya harus menyarankan kepada pembaca. Bersabarlah menunggu tahun depan. Ketika kunci gerbang bukit Singo Lelono di timur Sendiki, sudah benar-benar “ikhlas” tersibak untuk khalayak. (*)
Foto sampul: Akbar berjalan di atas pasir putih Pantai Sendiki Malang
Tinggalkan Balasan