“Mbak, kami sudah naik bus dari Kampung Rambutan.” Begitu isi pesan Whatsapp saya ke Mbak Noe. Setelah itu, saya dan Muchlis bergantian merem-melek karena ngantuk. Pendingin udara bus Primajasa ini sukses membawa kami melayang ke alam mimpi. Walau hanya sesaat.
Saya sendiri, terbangun dari lelap sejenak hanya karena dua hal. Pertama, karena harus membalas pesan masuk ke gawai yang mendesak, membutuhkan jawaban. Kedua, karena terheran-heran dengan kondisi di mana bus berhenti di tepi lajur kiri (bahu) jalan tol, menurunkan penumpang di sana. Lalu penumpang tersebut terus berjalan menjauhi tol dan menaiki “tangga darurat” melewati pagar berduri untuk sampai di kampung. Para tukang ojek bersiap menawarkan jasa untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan yang sebenarnya.
Belum hilang keheranan, rupanya kami sudah hampir sampai di tempat tujuan. Monumen patung di pintu tol luar Serang Timur menjadi penanda. Di sebuah warung kopi yang dikerumuni tukang ojek dan angkot di tepi jalan, kami menunggu dan akhirnya bersua dengan keluarga kecil itu: Mbak Noe dan suaminya, Om Tio, beserta kedua anaknya, Daffa dan Abyan.
Sepasang suami istri tersebut kali pertama saya jumpa adalah saat di Makassar. Perjalanan yang tak terduga. Di atas jok motor saat dibonceng Om Tio ke Rumah Dunia, saya sampai sekarang masih merasa tak percaya tali silaturahmi di antara kami masih bertahan hingga sekarang. Inikah berkah dari sesama pejalan? Debu beterbangan dan haus menyarang di kerongkongan ketika kami menuju Rumah Dunia. Rumah Dunia, destinasi pencerah sebelum menuju tempat piknik utama. Rumah Dunia, berarti ini tentang Gol A Gong!
Terus terang, saya malah kurang sigap mengumpulkan informasi mengenai sejarah berdirinya Rumah Dunia. Saya mengenal Rumah Dunia setelah membaca buku Gong Traveling. Rumah Dunia, rumah bagi para penggiat literasi yang digelorakan Om Gol A Gong. Langkah mulia demi menggerakkan generasi yang suka membaca, khususnya di wilayah Banten dan sekitarnya, yang masih dirundung banyak masalah kemiskinan atau kesejahteraan setelah belasan tahun berdiri sebagai provinsi baru. Kini Rumah Dunia memang masih terus bertumbuh, membutuhkan dukungan donatur dan pencinta literasi. Asma Nadia, penulis banyak novel best-seller, termasuk salah satu nama besar yang ikut menyokong Rumah Dunia dari awal.
Mbak Noe melangkah cepat menghampiri sesosok laki-laki berkaus biru di depan gedung auditorium Surosowan Rumah Dunia. Setelah bercakap singkat, dia memanggil saya, Muchlis, dan Om Tio yang baru saja selesai sarapan. Akhirnya, sosok lelaki tangguh yang selama ini hanya saya lihat di halaman profil penulis buku Gong Traveling, kini ada di depan mata. Saya menjabat erat tangannya, yang dibalas lebih erat olehnya. Ada getaran semangat yang (sepertinya) tak pernah pudar saat kami bersalaman.

Perjalanan saya dan yang lain menciptakan pertemuan dengan sosok inspiratif di sini, di Rumah Dunia. Kesempatan yang tak setiap hari didapat ini kami abadikan dengan berfoto.
* * *
Om Gol A Gong tampak sibuk sekali saat itu, karena ada kelas yang harus dia hadiri. Cukup banyak orang yang menunggunya. Mbak Noe pun mengajak kami memasuki Gong Library yang terletak di dalam kompleks Rumah Dunia.

Bangunan sederhana itu berpintu dan berdinding bambu. Namun, saat saya melepas sandal dan memasukinya, saya seakan tidak sedang berada di Banten. Rumah Dunia, melalui Gong Library seolah sesuai namanya. Pintu bambu tadi seperti pintu menuju lorong waktu. Saya seperti diajak menjelajah dunia bersama jejak-jejak Gol A Gong yang kasat mata.

Di dalam perpustakaan yang tidak terlalu luas ini, bau-bau debu nyaris mengisi di penjuru ruangan. Jejak-jejak dengan berbagai macam rupa yang sekilas lusuh sebenarnya bernilai tinggi. Betapa, kita dapat merasakan panjangnya lika-liku perjalanan Gol A Gong. Perjalanan hidup yang disarikan dalam petualangan ke negeri-negeri yang baru baginya.

Jejak-jejak itu tidak berupa langkah kaki yang membekas di tanah. Jejak-jejak itu bermacam-macam. Ransel legendaris, penuh dengan tempelan badge negara-negara yang pernah disinggahi; karcis-karcis tiket bus atau kereta; kliping-kliping koran yang mengulas tentang rekam jejak petualangannya. Sebagian dibiarkan tak terlindungi agar kita dapat memegangnya, mengelusnya, sembari membayangkan kenangan perjalanannya. Sebagian terlindung di balik etalase kaca atau pigura, yang hanya melihatnya pun juga dapat terbayangkan betapa serunya perjalanan di masa lalu: penuh suka-duka.
* * *
Malu, sungguh saya malu. Tertampar. Di saat teknologi saat itu belum secanggih era kini, Gol A Gong menunjukkan produktivitas tinggi. Dia sungguh sangat berhasil membuktikan, bahwa keterbatasan adalah senjata (motivasi) terkuat untuk terus berkarya dan berprestasi. Hanya dengan bekal pengalaman, mesin ketik sederhana, kemampuan berolah kata, ditambah semangat nan tinggi, jadilah karya-karya itu tercipta. Balada Si Roy, Gong Traveling, beberapa naskah film, dan banyak lagi. Lalu siapa sangka jika hanya dengan satu tangan bisa menjadi juara bulutangkis tingkat nasional dan Asia Pasifik?

“Aku lahir di Purwakarta, 15 Agustus 1963. Umur 2 tahun, Bapak dikirim sebagai guru SPGN Serang. Kata Aki, kami pulang ke tanah leluhur. Kakek Emak berasal dari kampung Caringin, Labuan, Pandeglang, Banten. Ketika aku diamputasi, Bapak dan Emak memberiku buku dan raket badminton. Kata mereka, itu akan membuat saya menghadapi perlakuan diskriminasi dari masyarakat sebagai orang cacat. Terbukti, dengan buku dan raket aku jadi kuat.”
Hati saya bergetar hebat, serasa ada anak panah yang menghunjam di dada. Berada di tempat ini bukanlah kekeliuran, melainkan mungkin memang saya harus ke sini untuk belajar, berguru, dan berintrospeksi. Saya masih harus berjuang keras, menyematkan sentuhan-sentuhan makna perjalanan sesungguhnya di tengah kungkungan dunia digital.
Perjalanan dirancang untuk menciptakan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang di luar sana. Teknologi adalah materi, media yang membantu memudahkan perjalanan. Sebatas itu, seberguna itu. Penting, namun bukan yang utama. Dari Gol A Gong, saya belajar bagaimana menjadi pejalan yang memanusiakan manusia.
* * *
Perjalanan berikutnya telah menunggu, semakin ke barat Di gerbang Rumah Dunia, di depan kamera, tangan saya mengepal erat. Muchlis pun mengacungkan jempol. Kami sudah siap kembali melanjutkan perjalanan. Ada tambahan semangat yang nilainya tiada tara. Keluarga kecil Om Tio, Mbak Noe, Daffa, dan Abyan pun seperti sudah siap menjanjikan sajian pengalaman baru ke barat. Pengalaman baru yang akan menghapus dahaga dan kucuran keringat di tengah teriknya Banten, The Sunset of Java.
Tinggalkan Balasan