Inti tulisan ini sebenarnya sudah jelas. Seperti termaktub pada judul di atas.
Tetapi, jika ingin mendengar saya bercerita, maka silakan melanjutkan membaca.
Tulisan ini, kalau boleh saya bilang, mudah-mudahan tidak akan berat. Layaknya sejawat saling bertukar kisah sehari-hari dan berteman kopi panas.
Karena topiknya melekat pada diri sendiri yang—mau tak mau—masih harus melanjutkan hidup. Masih harus mengencani waktu dari pagi ke siang, siang ke sore, sore ke malam, dan kembali menemui pagi.
Rupanya waktu bisa jadi tak akan jenuh dengan para penghayatnya. Ya, kita-kita inilah penghayat waktu dengan beraneka ragam polah. Kitalah yang, entah bagaimana caranya, menghiasi relung waktu kita sendiri atas keputusan hidup yang telah dipilih.
Dalam keyakinan saya, saya selalu mengupayakan setiap karsa maupun karya diiringi dengan doa. Doa yang dimohonkan kepada Sang Maha Pemurah.
Muara doa yang saya panjatkan berhulu pada sebuah riwayat:
“Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka).” (HR Al-Hakim)
Saya sadar betul, betapa tidak mudah menjadi beruntung. Maksud saya, keberuntungan itu pun tetap memerlukan jalan. Ia bisa jadi merupakan puncak eskalasi dari segala daya yang saling mengisi dari waktu ke waktu.
Atas dasar itulah saya berdoa yang terbaik. Meminta agar tubuh bisa berdiri lebih tegap, kaki bisa menopang lebih kuat, tangan bisa menggenggam lebih erat, dan otak bisa berpikir lebih tepat.
Demi tak ingin menjadi orang yang merugi, apalagi celaka. Jika pun harus merasakan terjatuh dua lompatan, maka saya mesti melompat berkali-kali lipat lebih tinggi. Lalu selanjutnya agar lebih berhati-hati.
Maka bagi saya, momentum itu sangat penting. Setiap saat adalah momentum. Kesempatan. Peluang. Yang direngkuh secara sadar atau tidak, terpenting tetap melaju. Meski satu langkah sekalipun.
Untuk buku Argopuro, untuk Trivadya, dan kiprah-kiprah lain yang saya harap dapat membawanya bertumbuh lebih jauh. Mengetuk pintu langit, menanam mimpi. (*)
Tinggalkan Balasan