[TULISAN SEBELUMNYA]
Menghidupkan Gairah: Catatan dari Ecotourism Master Class Batch V (bagian pertama)
Hari kedua dimulai lebih pagi. Saya, Pak Nurdin Razak beserta istri, tiba ketika petugas kebersihan masih mengepel teras dan menyapu taman LPPM Unnes. Sejam lebih awal daripada hari sebelumnya. Bulir-bulir embun pun masih menggelayut manja di pucuk-pucuk rerumputan.
Ini karena keinginan kami untuk keliling kompleks universitas bervisi konservasi itu. Gayung bersambut. Bu Eta—sapaan akrab Bu Margareta—dan Bu Nana menjadi pemandu tur kampus dadakan. Naik mobil listrik yang disopiri Fachrudin, seorang satpam Unnes.
Kami diperlihatkan gedung rektorat, fakultas-fakultas dan sejumlah fasilitas yang dimiliki Unnes. Termasuk “aset-aset” alami seperti pepohonan, penyebab teduhnya kampus. Bu Eta bilang, itu buah satu dasawarsa melakukan penghijauan besar-besaran. Dari gersang menjadi rindang.
Tur ditutup di hutan mini kampus Unnes. Bersebelahan dengan “rumah kedua” Bu Eta: laboratorium penangkaran kupu-kupu milik program studi Biologi-FMIPA. Sekelebat Pak Nurdin telah membayangkan potensi ekowisata diterapkan di sana. Salah satunya eco-healing di hutan mini tersebut.
Sebuah pencerahan baru tahu-tahu datang saat itu juga. Bahwa ekowisata sejatinya tidak melulu memandang fisik, tapi nilai dan dampak yang ditimbulkan dari segala potensi sekecil apa pun. Bekal wawasan penting untuk peserta Ecotourism Master Class Batch V di hari kedua ini.

Diakui atau tidak, bagi saya pribadi, tur singkat tersebut memberi energi baru. Saya masuk kelas dengan bekal tambahan di otak. Siap menerima “lebih mesra” sesi materi selanjutnya. Yang akan mengupas ekowisata secara intensif.
Pak Nurdin berkali-kali bilang, ekowisata sejatinya bentuk usaha tanpa modal. Nol rupiah. Kuncinya adalah pengetahuan (knowledge). Penguasaan terhadap produk ekowisata yang akan ditawarkan ke wisatawan.
Sebuah produk yang sederhana bahkan tampak sepele, justru bisa bernilai tinggi. Seorang eco-interpreter, sebuah istilah kepemanduan yang berbeda dengan pemandu (guide) pada umumnya, harus mampu memberi kemasan unik dan menarik dari produk-produk ekowisata.
Salah satu bentuk kemasannya adalah kemampuan bercerita (storytelling). Penceritaan yang apik lahir dari kedalaman pengetahuan yang dimiliki. Atau berasal dari pengalaman hidup nan panjang,Lugas dan logis. Luwes dan perlu.
Namun, storytelling tak cukup mandiri tanpa dukungan aspek-aspek lain.
Di antaranya pemberdayaan masyarakat setempat, pengembangan produk-produk itu sendiri, manajemen homestay dan destinasi, hingga tak kalah pentingnya mengelola “keramahtamahan”.

Wahyudi, si local champion, sempat bercerita tentang potensi terkini Dusun Gunungsari, kampung halamannya. Mulai dari kedai kopi Pucuk’e Kendal sampai dengan Curug Lawe Secepit. Sungguh beruntung tempat tinggalnya bersandar pada kekayaan alam Gunung Ungaran yang juga menjadi rumah bagi aneka ragam flora dan fauna endemik.
LPPM Unnes dan Yayasan Akar Banir berada di sisinya. Mungkin dengan instansi-instansi lain juga. Menyokong dan mendampingi dengan program-program berbasis lokal. Menemukan dan mengelola produk-produk unggulan desa.
Akan tetapi kita jangan cukup puas menjadi “lokalis”. Meski memiliki kekhasan, tapi lingkup pengetahuannya jangan hanya seluas daerahnya sendiri. Kita harus mempertajam seluruh indra ke segala penjuru mata angin. Menembus batas-batas geografis untuk memberi kontribusi nyata dan berkelanjutan terhadap tempat yang kita sebut rumah.
Satu Wahyudi mungkin akan terlampau berat untuk membangun lingkup terkecil. Setidaknya perlu segelintir Wahyudi-Wahyudi lain untuk selaras dan senapas dalam pengembangan ekowisata.
Oleh karena itu, ekowisata menyediakan ruang untuk berelaborasi dan berkolaborasi. Berjejaring. Saling mengisi peran kunci. Mencari dan menemukan mitra atau sasaran yang lebih bisa apresiatif pada karya-karya lokal namun berkelas dunia.
Dan kita sesungguhnya memiliki alat-alat canggih untuk mewujudkan itu. Internet memudahkan kita berinteraksi secara cepat dan—seharusnya—tepat. Kita mampu mengubah sesuatu, yang mungkin sudah “baik” menjadi jauh “lebih baik”.
Pertanyaannya, mau atau tidak? Karena jika terjadi kesenjangan antara kemampuan dan kemauan, itu bisa jadi soal.

Kita seperti berdiri di depan dua pintu. Pintu pertama menuju taman bermain dengan satu jalan mulus yang datar-datar saja tapi melenakan, dan tidak akan bisa ke mana-mana lagi. Pintu kedua menyajikan jalur penuh cabang, terjal, bahkan berliku, namun semuanya mengarah ke satu tujuan besar yang sama di puncak gunung, dengan kenikmatan yang membayar lunas semua peluh dan lelah.
Maka ekowisata sejatinya tidak melulu berbicara atau membangun produk-produk fisik. Aktor utama ekowisata adalah manusia itu sendiri.
Orang-orang yang memiliki hasrat dan ikatan kuat dengan sebenar-benarnya jiwa ekowisata. Orang-orang yang mau meminum bahan bakar beberapa kali lipat dibanding lainnya untuk satu tangki yang sama, demi menambah kecepatan mengejar peluang.
Mereka yang mampu menentukan ke mana layar kapal mengembang. Searah maupun melawan angin. Yang jauh mata memandang tahu pulau terindah dan terbaik untuk berlabuh. Kemudian membuka lembaran-lembaran anyar untuk mengisi waktu. Membangun rumah-rumah baru yang membumi. Menumbuhkan “aset-aset” konservasi yang bisa dinikmati oleh anak, cucu, hingga canggah, seperti halnya pepohonan yang mampu meneduhkan lintas generasi.
(Foto sampul: Pak Nurdin Razak bersama Fachrudin, satpam Unnes yang mengemudikan mobil listrik saat kami keliling kampus)
Tinggalkan Balasan