Semarang sore itu tidak menyambut saya dengan lumpia, tapi hujan yang tak putus mengguyur sejak Kota Magelang. Dan juga ucapan ‘selamat datang’; tertera pada gapura bagian dalam kompleks Akademi Kepolisian (Akpol) Indonesia. Selasar beraspal di depannya adalah tempat saya turun dari shuttle bus Joglosemar trayek Jogja—Semarang. Persis di seberang pom bensin yang biasa disebut ‘SPBU Akpol’.
Karena curahan dari langit tak kunjung reda, saya sebisa mungkin berteduh di bawah gapura luar akademi. Merapat ke pagar besi keemasan menjulang yang terkunci rapat.

Suara mengguntur tak kasat mata membersitkan rasa waswas sementara saya memesan ojek daring. Meskipun jarak ke hotel tujuan terbilang dekat (1,7 km), dekat jalan layang Jatingaleh, saya memilih memanjakan diri dengan menaiki ojek roda empat. Saya akui alasan keibaan supaya ojek motor tidak repot berhujan-hujan terkesan mengada-ada.
Ini hanyalah upaya kecil supaya saya tidak gampang masuk angin. Demi tubuh fit untuk rangkaian Ecotourism Master Class Batch V yang dimulai keesokan paginya (18/1/2022) di Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Semarang (LPPM Unnes).
Padahal bulan Januari memang musimnya hujan menunjukkan jati diri. Walaupun diperhitungkan sebagai faktor cuaca tak terprediksi dan tetap diantisipasi ketika beraktivitas di luar ruangan, hujan tidak tercipta sebagai alasan penghambat terbaik—dan kadang sering dibuat-buat—untuk orang-orang yang ingin hidupnya terus bertumbuh maju.
Bagi sekelompok orang, hujan adalah gairah tiada tara. Ia dibenci sekaligus dicintai, bahkan dirindukan kehadirannya. Sekalipun kedatangannya disertai badai dan genangan air setelahnya. Toh, seiring waktu akan surut perlahan-lahan.
Sebagian orang tadi, yang tetap melaju di tengah gemuruh hujan, ketika hari cerah mereka justru akan semakin melesat. Kelompok itu, salah satunya, adalah 17 orang (termasuk tim Indonesia Ecotourism Institute) dengan gairah besar terhadap dunia ekowisata; yang ‘kebetulan’ bertumbuk dalam ruang Roro Jonggrang LPPM Unnes selama empat hari berturut-turut hingga Jumat (21/1/2022).

Mungkin ‘kebetulan’ bukan bahasa yang tepat. Termasuk untuk urusan-urusan yang sepintas mendadak atau acapkali tak disangka-sangka. Konsep ‘kebetulan’ adalah bentuk keterbatasan di tengah kenikmatan berbahasa pada manusia, yang kadang belum mampu menerjemahkan maksud proses rangkaian hidup yang sebenarnya.
Mengumpulkan orang untuk bergerak bersama pada satu tujuan tidaklah mudah. Lebih-lebih menghidupkan gairah yang sama. Atau setidaknya mencoba saling melengkapi dengan latar belakang dan bidangnya masing-masing.
Hasrat harus dibentuk dan dimufakati dari diri sendiri. Dari lubuk hati terdalam. Dan ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Karena kala kita berencana lalu Tuhan menentukan, waktu dengan sendirinya sudah bekerja.
Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan, lahir maupun batin, pada saatnya akan saling terhubung di relung-relung masa yang tidak mengenal batas. Jembatan penghubung menuju hasil dan dampak terbaik yang diinginkan dalam rencana tersebut.
Jika ilmu “otak-atik gathuk” ala Jawa berlaku, saya boleh bilang bahwa kesediaan Bu Dr. Nana Kariada Tri Martuti, M.Si., Bu Dr. Margareta Rahayuningsih, M.Si., beserta peserta lain dari lintas bidang keilmuan hingga lembaga nirlaba Yayasan Akar Banir, yang haus akan hal-hal baru, khususnya ekowisata, sejatinya selaras dengan visi Unnes: Menjadi universitas berwawasan konservasi sekaligus bereputasi internasional.
Tak terkecuali Wahyudi, “local champion” dari Dusun Gunungsari, Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Sosok yang dengan tangan terbuka dan tanpa disangka-sangka juga berkeinginan kuat membangun iklim ekowisata di kampung halamannya yang terletak di kaki Gunung Ungaran itu.
Maka, lanjut dengan ilmu titen ala Jawa tadi, rasanya pas sekali dengan ucapan mendiang Prof. Dr. Retno Sriningsih Satmoko yang terpatri di dinding lobi LPPM Unnes, “Hidup selalu hidup jika kita selalu SRI (Sabar, Ridho, Ikhlas)”.
Ekowisata, adalah salah satu senjata terampuh dan jalan merawat pengabdian kepada masyarakat, yang hanya bisa ditempuh dengan resep SRI dari Ibunda Sri Mulyani tersebut.
Ecotourism Master Class Batch V, sebagai wadah interaksi ilmu ekowisata selama kurang lebih delapan jam per harinya, ibarat baru berada pada tahap kick off dalam istilah sepak bola. Di tengah waktu yang terus berjalan tak kenal lelah, masih banyak langkah yang harus dilalui agar tercipta setidaknya satu gol ke gawang lawan.
Siapakah lawannya?

Diri kita sendiri, yang kadang tersamar hasutan untuk bermain aman. Menciptakan skor kacamata dan memilih bergerak dalam zona nyaman.
Tapi saya menumbuhkan dan merawat keyakinan bahwa kemauan untuk menang itu ada.
Semangat dan hasrat yang menular selama kelas hari pertama, masih berlanjut di balik kemudi Bu Margareta yang mengantar saya, Pak Heri Agus, Pak Nurdin dan istri kembali ke hotel tempat kami menginap. Bicaranya gegas seperti laju mobil yang dikendalikan, namun terarah.
Saya sangat ingin meyakini ini juga dialami oleh kawan sejawat yang sore itu melakukan perjalanan serupa ke arah pulang.
Karena belajar, seperti halnya berdoa, adalah kegiatan yang tak akan pernah selesai. Tiada kata akhir untuk menjadi berguna bagi semua makhluk.
(Foto sampul: kawasan kampus Universitas Negeri Semarang, Gunungpati, Kota Semarang)
Tinggalkan Balasan