Menilik Masa Depan Tawangargo, Calon Desa Agrowisata di Kaki Gunung Arjuno

Sebuah pesan baru masuk di fitur direct message akun Instagram saya. Sekitar dua minggu lalu. Namanya tak asing. Lebih-lebih foto profil berbingkai bundar menampakkan wajah dengan jelas.

Sosok familiar yang membawa ingatan saya bernostalgia. Melambung kira-kira selama kurun waktu tujuh tahun ke belakang. Seorang perempuan yang sudah menganggap saya sebagai anak kandungnya.

Begitu pun sebaliknya. Tatiek Koerniawati, S.P., M.P., dosen jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB), sudah seperti ibu saya sendiri. Dari yang dianggap biasa saja, menjadi istimewa sampai akhir kuliah.

Bukan spesial karena IPK cumlaude, bukan. Melainkan studi sarjana saya yang akhirnya tuntas benar-benar tepat pada waktunya. Memenuhi 14 kolom stempel semester di bagian belakang kartu tanda mahasiswa. Karena inilah saya menjadi salah satu mahasiswa bimbingan beliau yang paling diingat.

Tidak terhitung Bu Tatiek, baik lewat SMS maupun WhatsApp, begitu keras—bahkan nyaris jemu—mengingatkan progres tugas akhir saya. Tak terkecuali media sosial. Saya masih ingat beberapa tahun lalu, ketika mengunggah foto pemandangan puncak gunung di Facebook. Salah satu komentar yang muncul adalah dari beliau yang berbunyi, “Jangan cuma gunung saja yang didaki, skripsimu juga.”

“Tapi di balik hobinya kelayapan, saya tahu betul dia punya passion yang kuat di sana. Saya melihat konsistensinya menggeluti dunia perjalanan dan bisa menghasilkan sesuatu.” Bu Tatiek mengkonfirmasi kegemaran saya di depan para kepala dusun yang mewakili Desa Tawangargo, Malang, pagi itu (07/10/2021).

Dalam forum Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di UB Guest House tersebut, kami tidak sekadar reuni atau lepas kangen semata. Berawal dari pesan Instagram, Bu Tatiek mengajak saya untuk ikut membangun desa dari sektor pariwisata. Berkolaborasi dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat.

Bu Nimas Mayang Sabrina Sunyoto, S.TP., M.P., Ph.D, ketua tim sekaligus dosen Fakultas Teknologi Pertanian UB, menyampaikan paparan seputar program pengabdian yang akan dikerjakan

Tapi Bu Tatiek tidak sendirian. Turut serta para dosen lainnya, Akhmad Mufawik Soleh, S.Sos., M.Si. (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB), Ibnu Sam Widodo, S.H., M.H. (Fakultas Hukum UB), dan Fenti N. A. Islami. Mereka tergabung dalam tim Doktor Mengabdi yang diketuai Nimas Mayang Sabrina Sunyoto, S.TP., M.P., Ph.D (Fakultas Teknologi Pertanian UB). Tim membawa gagasan riset sekaligus pengabdian bertajuk “Desain Pengembangan Desa Mitra Model Kolaborasi UB-CSR Menuju Desa Mandiri Agro-Ecotourism di Tawangargo, Karangploso, Malang”. Program tersebut juga diikuti oleh para mahasiswa KKN Tematik UB dari berbagai fakultas.

Sebagai salah satu dari sekian program pengabdian yang didanai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UB, Bu Mayang dan tim sejatinya hendak meniti jalan yang tidak mudah. Seperti mendaki jalur terjal menuju puncak Arjuno, gunung yang kakinya menjadi sandaran kehidupan Desa Tawangargo.

Faktor utama yang bisa ditebak adalah anggaran yang tidak seberapa. Terlebih untuk merawat idealisme menjadikan Tawangargo sebagai desa mandiri di sektor pariwisata yang berbasis pertanian. Tidak heran Bu Tatiek menegaskan, “Hakikat dosen itu, ya, pengabdian. Hanya orang-orang gila yang mau mengerjakan ini.”

Bapak Dr. Ir. Susinggih Wijana, M.S. dari LPPM UB memberikan sambutan pembuka sekaligus semangat untuk tim dan perwakilan desa

Namun dukungan dari Bapak Dr. Ir. Susinggih Wijana, M.S., Ketua Kelompok Jabatan Fungsional Pengabdian LPPM UB, menjaga asa program ini. Dalam sambutan singkat, beliau menantang sekaligus membakar nyala api semangat tim agar program tersebut mampu terimplementasikan dengan baik.

Maka tujuan penyelenggaraan FGD, seperti disampaikan Bu Mayang dalam paparannya, selain sebagai rintisan kerja sama antara UB, masyarakat Desa Tawangargo, dan mitra Corporate Social Responsibility (CSR); juga dalam rangka mengetahui potensi dan memetakan kebutuhan Desa Tawangargo untuk bergerak secara serius di dunia pariwisata. FGD merupakan langkah awal yang sangat penting untuk tahapan selanjutnya, yaitu menyusun program-program usulan untuk ditawarkan kepada mitra CSR.

Menggali Potensi Desa Tawangargo

Ketika sesi inti FGD dimulai, mulanya Abdul Wahab, Kepala Urusan Tata Usaha dan Umum Desa Tawangargo, hanya berkata, “Potensi terbesar di desa kami adalah pertanian.” Baik berupa bahan pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan. Dan seluruh kepala dusun yang hadir dalam forum tersebut merupakan petani.

“Dari enam dusun yang ada di Tawangargo,” ia menambahkan, “masing-masing berada di ketinggian yang berbeda. Sehingga potensi pertaniannya berbeda pula.”

Kalimalang dan Suwaluhan memiliki potensi pertanian pangan seperti padi dan jagung. Leban dan Ngudi mempunyai potensi hortikultura (sayur-sayuran). Lasah dan Boro, dua dusun teratas, selain kopi umumnya ditanami komoditas buah-buahan seperti jeruk, apel, dan jambu, serta tanaman-tanaman rimpang (empon-empon).

Seolah belum puas, Bu Tatiek berusaha memancing para kepala dusun untuk menggali lebih dalam. Saya juga yakin bahwa daya tarik Desa Tawangargo lebih dari itu. Maka satu per satu, berurutan dari Boro hingga Kalimalang, potensi-potensi lainnya kian terkuak.

Bu Tatiek Koerniawati, S.P., M.P., memandu jalannya Focus Group Discussion dan menggali data potensi wisata dari masing-masing kepala dusun

Sebagai contoh di Lasah. Terletak di bawah Boro, Lasah rupanya memiliki keunggulan selain pertanian yang tak kalah menarik. Tawardani, kepala dusun Lasah, mengungkapkan bahwa kampungnya merupakan sentra dawet sagu. “Biasa juga disebut dawet Lasah. Diolah secara alami tanpa bahan pengawet. Pelaku usahanya ada sekitar 6-7 orang.”

Lain lagi di Ngudi. Selama ini dikenal sebagai salah satu penghasil sayur-mayur terbesar di Malang. “Di tempat kami masih ada produksi jamu gendong. Saat ini pembuatnya tersisa sekitar lima orang,” ungkap Imam Subaweh, kepala dusun Ngudi. Tak hanya itu. Dusun di ketinggian 600-700 meter di atas permukaan laut (mdpl) juga memiliki umbul (sumber air). “Sampai sekarang kami belum pernah menikmati, karena dikelola oleh PDAM dan dijadikan sebagai stok air untuk Kota Malang,” tambahnya.

Selanjutnya beranjak ke Leban, dusun yang terletak di tepi jalan poros Karangploso—Batu. Sebagai ibu kota desa, Leban menjadi sentra dari banyak aktivitas maupun usaha masyarakat. Industri kuliner, wisata edukasi sayuran, hingga pergelaran kegiatan kebudayaan macam ritual selamatan bersih desa, bantengan, dan pencak silat. “Di Leban sebenarnya ada perajin rengginang, tapi tinggal satu orang,” kata kepala dusun, Fakih Asrori.

Sementara di bagian paling selatan desa, baik Suwaluhan maupun Kalimalang, relatif berfokus sebagai sentra produksi padi, jagung manis, dan sebagian komoditas sayuran. Masrukin, kepala dusun Kalimalang, sempat mengungkapkan bahwa jagung manis memiliki prospek untuk diolah lebih lanjut. Entah sebagai bahan makanan maupun minuman.

Tak dinyana masing-masing dusun memiliki keragaman daya tarik yang memikat. Tidak kalah dengan desa-desa wisata lain yang sudah terlebih dahulu berkembang dan populer. Bahkan berpotensi melebihi, jika bersama-sama dikelola dengan baik.

Selain potensi wisata, kami juga menghimpun beberapa masalah yang perlu dicarikan solusinya. Termasuk ketersediaan air, terutama di kawasan hutan di atas Dusun Boro. Adimas Setra, kepala dusun Boro, berujar bahwa air menjadi kendala terbesar ketika dahulu sempat berencana membuka wisata hutan pinus.

“Aksesibilitas juga menjadi kendala. Apabila ada rombongan banyak pakai bus besar maka tidak bisa masuk kampung,” ia menambahkan. Kendala-kendala tersebut kemudian kami data sebagai bahan catatan.

Kiri—kanan: Masrukin (kepala dusun Kalimalang), Fakih Asrori (kepala dusun Leban), Sujito (kepala dusun Suwaluhan), Tawardani (kepala dusun Lasah), Dr. Ir. Susinggih Wijana, M.S. (LPPM UB), Imam Subaweh (kepala dusun Ngudi), Adimas Setra (kepala dusun Boro), dan Abdul Wahab (Kaur TU dan Umum Desa Tawangargo)

Kunci Membangun Desa adalah Kolaborasi

Sebelum sesi inti FGD, saya diberi kesempatan Bu Tatiek untuk tampil di depan. Tepatnya bukan memberikan materi, melainkan bercerita dan berbagi pengalaman. Dari perjalanan saya yang sejatinya masih sekelumit itu, saya berharap dapat memberikan inspirasi atau pandangan baru.

“Di setiap perjalanan, ke mana pun, saya berusaha menyempatkan diri untuk mampir ke suatu desa. Melihat wisatanya dan ngobrol bersama orang-orang lokal,” kata saya.

Saya bercerita tentang kondisi alam dan tradisi di desa-desa yang pernah saya kunjungi. Saya tampilkan satu foto besar dan berbagi pengalaman ketika di sana. Sebut saja Rammang-Rammang (Sulawesi Selatan), Komodo dan Wae Rebo (Nusa Tenggara Timur), Pulau Buaya dan Takpala (Alor), Maitara dan Gurabunga (Tidore).

Kemudian Senaru (Rinjani), Dedawang (Bawean), Penglipuran (Bali), Kedungasri (Tegaldlimo), Wonorejo (Situbondo), hingga desa-desa wisata populer di Yogyakarta seperti Pentingsari, Nglanggeran, Kebonagung, Malangan, Nglinggo, dan Pancoh.

Setiap desa memiliki karakteristiknya sendiri dan unik. Sebagian sudah didaulat resmi sebagai desa wisata, sisanya berupa desa yang memiliki daya tarik wisata. Masing-masing tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Tinggal bagaimana mengelolanya.

Saya berbagi kisah dan menceritakan potensi wisata desa-desa yang saya kunjungi saat melakukan perjalanan di Jawa maupun luar Jawa

Salah satu cara yang perlu dipertimbangkan adalah mempertahankan lokalitas yang dimiliki. Cerita-cerita rakyat, mitologi, kepercayaan, hingga kebudayaan yang telah melekat di Desa Tawangargo justru akan menjadi bumbu menarik dalam mengemas paket wisata nantinya. Storytelling sangat penting dalam sajian wisata, sehingga perlu adanya kesekapatan untuk hal tersebut.

“Yang tak kalah penting lagi adalah pariwisata tidak serta-merta menghapus pekerjaan utama warga. Untuk saat ini jangan terlalu bergantung pada pariwisata sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Yang selama ini bertani, beternak, menjadi pedagang, dan lain-lain, maka tetaplah demikian. Namun ketika diberdayakan untuk mengelola wisata desa, kita tetap siap. Berkesinambungan dan berkelanjutan,” kata saya.

Oleh karena itu tanpa ragu saya berkata,”Saat ini adalah eranya kolaborasi. Kuncinya adalah harmonisasi lintas sektor, baik secara vertikal atau horizontal.” Maksudnya ada kerja sama yang baik antarwarga, antarlembaga, dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Maka dari FGD ini dan tahapan-tahapan selanjutnya, tim UB diharapkan akan menjadi jembatan antara desa dengan mitra CSR. Menjadi jalan tengah sekaligus kreator dalam menyusun program-program usulan berkelanjutan sesuai tujuan utama yang ditetapkan tim. Selain itu, Bu Tatiek juga memberikan informasi sejumlah peraturan perundang-undangan dan peraturan menteri tentang kepariwisataan sebagai bahan untuk dipelajari bersama.

Foto bersama KKJF Pengabdian LPPM UB, Dr. Ir. Susinggih Wijana, M.S., Tim Doktor Mengabdi, dan perwakilan Desa Tawangargo, Karangploso, Malang

Desa adalah Masa Depan

Seingat saya, hanya sekali saya pernah berkunjung ke Desa Tawangargo. Itu pun hanya di balai desa saja. Ada praktikum dari salah satu mata kuliah. Kegiatannya melakukan pertemuan dan menghimpun data desa dari warga saja. Tidak sampai mengeksplorasi desa lebih jauh.

Oleh karena itu saya masih buta medan. Ketika Bu Tatiek menelepon saya, beberapa hari sebelum FGD, saya belum bisa membayangkan sumber daya alam, kondisi warga, dan kebudayaan yang dimiliki Tawangargo.

Namun mendengar nada bicara beliau, tersirat antusiasme dan harapan besar dari orang yang dapat dibilang cukup idealis dalam bekerja maupun berkarya. Karakter yang pernah saya lihat dalam diri Bu Tatiek sejak menjadi mahasiswa bimbingannya. Dan sampai sekarang belum berubah.

Hingga tiba waktunya sebelum FGD resmi dibuka, situasinya masih sama. Sejauh yang kami tahu, Tawangargo adalah desa di kaki Gunung Arjuno. Potensi terbesarnya terletak di sektor pertanian. Dan mungkin ada tambahan informasi tentang percikan-percikan konflik sosial antara desa dengan pemilik kawasan hutan. Sebatas demikian.

Tapi ternyata lebih dari itu. Tawangargo rupanya bukan sekadar tempat berbudidaya bahan pangan, sayuran, buah, atau kopi. Desa yang dibelah jalan poros Karangploso—Batu tersebut memiliki potensi yang bisa jadi jauh lebih menarik dari pemandangan alamnya belaka. Para kepala dusun sudah bercerita cukup banyak.

Tak pelak kami perlu alokasikan waktu untuk berkunjung ke Tawangargo. Melihat kesesuaian data dari FGD dengan keadaan langsung di lapangan. Saya bahkan sempat menampilkan halaman situs resmi Desa Wisata Pentingsari, Sleman, Yogyakarta. Menunjukkan ke forum tentang profil, potensi, hingga paket-paket wisata yang dijual di desa yang dirintis oleh Ir. Doto Yogantoro itu. Sosok yang kemudian menjadi tolok ukur pengembangan desa-desa di daerah lain.

Saya pun berujar, “Ke depan kita pasti akan ke arah sana. Ketika ada turis domestik maupun mancanegara bertanya, ‘jika saya punya waktu lima hari, apa saja yang bisa saya lakukan di desa Anda? Apa saja yang bisa saya peroleh selama itu?’, kita sudah siap dengan tawaran paket-paket yang dimiliki.”

Tawangargo tidak boleh hanya menjadi tempat transit atau lintasan semata. Bukan cuma jadi alternatif wisata pendukung destinasi populer lainnya. Desa dan masyarakatnya adalah aktor utama. Dan atraksi wisata yang dimiliki harus berada di desa.

“Maka orientasinya bukan hanya tentang kuantitas atau jumlah kunjungan di desa. Melainkan berapa hari wisatawan akan mau tinggal lebih lama dan menikmati sajian wisata khas di desa itu,” pungkas saya.

Desa adalah masa depan. Desa adalah halaman depan dan belakang rumah kita. (*)


Foto-foto oleh Tim Doktor Mengabdi dan KKN Tematik Universitas Brawijaya

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: