Senyawa Alas Lali Jiwo: Pamit (11—habis)

Perjalanan turun seharusnya lebih cepat dibanding sebaliknya. Namun tak berlaku bagi kami saat ini. Kupikir kami tidak capek-capek amat. Memang sengaja ingin berjalan santai. Tidak terlalu ngoyo. Bahkan sempat berhenti agak lama demi bernyanyi 1-2 lagu. Atau saling curhat. Demi mencairkan suasana.

Hari beranjak terik di Alas Lali Jiwo. Tapi masih banyak pendaki lain yang baru naik ke puncak. Kami berpapasan dengan kelompok pencinta alam dari suatu kampus. Mereka sudah berpengalaman dan terbiasa mendaki gunung ini.

Ada juga rombongan lain yang sama sekali belum pernah ke sini. Tampak dari bekal minum yang minim. Peralatan yang seadanya. Raut wajah-wajah pasrah terhadap jalur terjal berdebu ini. “Berapa jauh lagi, Mas?” tanya salah satu di antaranya.

Masih jauh banget, kata Eko. Jangan dipaksakan kalau sudah tidak kuat, apalagi minumnya terbatas, kata Eko lagi. Aku lupa kalimat persisnya, tapi kurang lebih maksudnya demikian.

Kabut tipis dan mega menggelayuti langit Alas Lali Jiwo di sela-sela sengatan matahari. Beberapa meter sebelum pertigaan jalur Cangar-Tretes, kami berhenti lagi. Satya, Bartian, dan Eko memanfaatkan waktu untuk memotret. Aku duduk lalu merebahkan diri. Ingin tidur sejenak. Kulihat Indra juga sama.

Sesaat dalam terpejamnya mata, kuberdoa untuk mendiang Faiqus Syamsi. Pelajar SMKN 5 Surabaya yang meninggal di gunung ini Desember 2018 lalu. Jenazahnya baru ditemukan awal April 2019 dalam kondisi memprihatinkan.[1] Juga doa untuk pendaki-pendaki lain yang menutup perjalanannya di sini. Semoga kedamaian menyertai kepulangan mereka menuju Sang Pencipta.

Menikmati perjalanan turun ke Lembah Kidang

BACA TULISAN SEBELUMNYA:
Senyawa Alas Lali Jiwo: Arjuno, yang Kesekian Kalinya (10)

*

Ibarat tebing Arjuno yang merengkuh Lembah Kidang, begitu pun Alas Lali Jiwo. Kerumunan rimbanya mendekap erat dalam berbagai suasana. Tergantung penafsiran para tamu yang melintas dan singgah. Tak terkecuali Duncan de Clonie MacLennan. Pedagang dan pemburu ulung asal Skotlandia.

Dalam catatan Bert Immerzeel,[2] penulis blog Java Post, pekerja perusahaan dagang Fraser Eaton itu mulanya membangun rumah di sekitar Prigen dan Tretes. Kawasan perdesaan nan sejuk. Ia terhitung sebagai salah satu orang Eropa pertama yang punya hunian di sana. Laiknya penduduk Batavia (Jakarta) yang “melarikan diri” ke Buitenzorg (Bogor), orang Surabaya pergi ke wilayah kaki Gunung Welirang dan Arjuno untuk mencari udara pegunungan.

Bersama istrinya, Anna Kovacic, seorang penari asal Austria, MacLennan berkebun dan menanam berbagai macam tanaman. Ia mulanya hanya singgah saat musim kemarau, namun akhirnya menjadi penghuni permanen setelah pensiun.

Tak hanya berdagang dan berkebun. Kegemarannya berburu membawa MacLennan masuk jauh ke lereng Gunung Arjuno. Bahkan membangun sebuah pondok berburu di ketinggian sekitar 2.500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Supaya bisa bermalam dengan layak dekat wilayah berburunya.

MacLennan menamai pondoknya “Lali Dijwo”. Lupakan jiwamu. Nama yang terinspirasi dari keindahan alam sekitar. Maksudnya adalah pesona rimba gunung Arjuno bisa melenakan dan membuat orang lupa diri untuk pulang.

  • Pengunjung Pondok Lali Djiwo Gunung Arjuno
  • Pengunjung Pondok Lali Djiwo Gunung Arjuno
  • Pondok Lali Djiwo Gunung Arjuno
  • Perjalanan ke Pondok Lali Djiwo Gunung Arjuno
  • Perjalanan ke Puncak Arjuno
  • Pondok Lali Djiwo Gunung Arjuno

Lambat laun, karena promosi MacLennan pula, bangunan yang dibangun di atas sabana itu kian populer. Terutama bagi masyarakat kulit putih yang bekerja dan tinggal di Surabaya, atau sudah menetap di Prigen dan Tretes. Baik pergi berburu maupun sekadar berwisata alam untuk 1-2 hari. Periode sekitar 1870-an memang menjadi masa populer bagi warga kota Surabaya untuk berlibur ke daerah yang masuk Kabupaten Pasuruan tersebut.

Pada masa-masa itu, sepeninggal MacLennan, pengunjung pondok semakin banyak. Sambil membawa kamera dan bekal makanan cukup maupun perlengkapan penunjang (selimut, pakaian ganti hangat, hingga panci). Mereka umumnya akan menyewa kuli angkut, terutama bagi pelancong yang tidak membawa kuda.

Biayanya relatif kecil. Mereka hanya perlu beberapa jam berjalan menuju pondok. Kemudian selanjutnya meneruskan perjalanan ke kawah Welirang atau puncak Arjuno. Lali Djiwo benar-benar menjadi sebuah resor pegunungan yang sangat memikat.

Kemasyhuran Lali Djiwo juga membawa dampak lain yang tidak diinginkan. Antara lain bocornya rencana membangun jalan raya menuju gubuk tersebut. Tujuannya memudahkan akses transportasi. Wacana ini ditentang banyak orang. Termasuk seorang pembaca media The Indische Courant yang memberikan reaksi keras:

“Siapa pun yang mengetahui tempat yang sangat menyenangkan ini, dan dapat merasakan kesan alam, akan setuju dengan saya bahwa Lalidjiwo bukan lagi Lalidjiwo begitu bisa sampai ke sana dengan mobil. Nama tempat ini, yang paling menyenangkan, yang pernah saya lihat dalam perjalanan gunung saya, tidak mengatakan apa-apa kepada mereka yang tidak mengetahuinya. Siapa pun yang pernah ke sana, sebagai pecinta alam, tahu apa arti nama ini, dan tidak ada nama yang lebih baik. Mungkinkah tempat ini masih bisa disebut ‘Jiwa yang Terlupakan’, jika suasana hening yang berat, tepatnya ciri khasnya, disingkirkan oleh klakson mobil? ‘Resor gunung yang sepi kemudian akan dibebaskan dari keterasingannya’ tulis laporan Anda. Tidak, satu-satunya nilai dari resor pegunungan itu, keterasingannya, akan hilang, dan bersamanya segala sesuatu yang membuat tempat itu begitu menarik.”

Untung saja rencana tersebut urung terlaksana. Meskipun belakangan oleh warga setempat tetap dibangun jalan makadam dari Tretes hingga Pondokan. Untuk memudahkan akses jip pengangkut belerang—yang sudah dimodifikasi.

Namun tak jelas kapan waktu persisnya MacLennan membangun pondok Lali Djiwo. Pun tak ada catatan pasti kapan ia meninggal. Sang istri dan ahli warisnya tetap tinggal di Prigen sampai wafat pada 1929. Setelah itu muncul upaya-upaya oleh pers Austria untuk mencari ahli waris berikutnya. Tapi hasilnya nihil. Tak ada jejak jelas. Immerzeel berasumsi bahwa mungkin saja pondok sudah dijual kepada pemerintah Hindia Belanda semasa hidup janda MacLennan.

Lembah Kidang kini. Tak ada satu pun jejak Pondok Lali Djiwo yang tersisa.Foto oleh Aliko Sunawang (Blog – Instagram)

Pada tahun-tahun setelahnya tidak ada catatan tertulis mengenai nasib pondok tersebut. Pada tahun 1960-an, beberapa orang sempat menulis tentang Lali Djiwo, namun belum pernah terbukti benar-benar berkunjung langsung. Yang jelas sejak pertama mendaki pada 2013, aku tidak menemukannya. Tak ada pula jejak-jejak pondasi atau puing bangunan yang tersisa.

Misterius. Tidak ada kesaksian tertulis soal lenyapnya peninggalan MacLennan. Apakah murni rusak secara alami dan tertimbun, atau dihancurkan dengan sengaja.

Apa pun itu, Pondok Lali Djiwo pernah menjadi bagian dari sejarah. Berangsur namanya semakin melekat pada hutan dan sabana indah di kaki tebing Arjuno yang cadas dan kekar. Sebuah label yang pas pula untuk ditafsirkan secara spiritual, bahwa pendaki harus datang ke gunung ini dengan niat yang baik. Sebuah kearifan lokal untuk menjaga kelestarian hutan.

*

Usai makan siang yang disiapkan Jun, Lidia, dan Aiman, kami rehat sebentar lalu mencicil berkemas. Segala perlengkapan mulai dirapikan. Sampai tersisa tenda Bartian dan barang-barangku yang tinggal dimasukkan tas.

Aku sendiri tiba-tiba merasa bingung bagaimana mengelola peralatan tersebut. Mana yang ada di bagian bawah, mana yang ditaruh paling atas. Tuhan sepertinya menjawab gejolak batinku. Mungkin juga mendengar doa kami semua, yang agak ragu untuk turun petang itu juga.

Tuhan memberikan hujan deras dan kabut yang menerjang Lembah Kidang. Sontak kami bergegas membeber flysheet selebar hampir empat meter milik Indra. Keempat sudutnya kami ikat tali yang dicantolkan ke pohon dan kayu bekas. Kami kumpulkan tas-tas maupun barang lainnya dan ditumpuk di satu tempat. Di tengahnya kami dirikan trekking pole untuk menopang kain tahan air tersebut.

Menunggu sejenak sebelum berada pada keputusan untuk lanjut turun atau menambah semalam lagi. —Foto oleh Aliko Sunawang (Blog – Instagram)

Mulanya aku optimis hujan segera reda dan kami bisa lanjut turun. Siap berjalan dan tiba di Tretes selarut apa pun. Aku kepikiran keluarga di rumah, masa sewa mobil yang hari ini habis, dan izin pendakian yang melebihi batas waktu.

Namun aku akhirnya menyadari sesuatu. Kami bukan siapa-siapa untuk melawan kehendak alam. Sampai lewat magrib hujan masih mengguyur. Kabut semakin tebal. Ingin rasanya kami pindah dari tenda ke pondok Lali Djiwo yang pernah melegenda itu. Lebih luas dan hangat. Tapi bangunan itu sudah lama hilang. Lenyap tak berbekas, sementara sang gunung kian menua.

Maka kami mufakat pada satu keputusan. Kami akan menginap semalam lagi dan turun esok pagi.

Aku seharusnya bersyukur karena manfaatnya jauh lebih besar. Sisa bahan makanan masih memadai untuk malam ini dan menu sarapan besok, sehingga beban berkurang. Fisik dapat dipulihkan karena cukup istirahat. Tentang hal-hal yang membuat kepikiran, kami yakin akan sangat bisa dipahami.

Kami menerima kenyataan ini dengan sangat gembira. Terlebih Satya, Bartian, dan mungkin teman-teman yang lain, telah terkabul doanya untuk memungkasi pendakian secara ideal. Total empat hari tiga malam di Lembah Kidang. Lengkap dengan cerita-cerita seru yang terekam. Tak terkecuali babi hutan yang sempat menunjukkan eksistensinya.

Menikmati malam terakhir di Lembah Kidang. — Foto oleh Bartian Rachmat (Blog – Instagram)

Terima kasih, Alas Lali Jiwo. Hutan-hutan yang mengikat kabut. Pucuk-pucuk pepohonan yang selalu bahagia dirisak angin. Tanah-tanah terjal sejauh yang mampu kami pijak. Pun pelbagai tanaman, rerumputan, perdu, cantigi, serta edelweiss yang tumbuh tangguh di segala kondisi; dibasahi embun setiap pagi maupun dilipur debu bertaburan. Sejarah dan keberadaanmu adalah senyawa gunung ini.

Terima kasih pula untuk Lembah Kidang. Padang terbuka yang penuh kidung-kidung kehidupan. Tempat yang kelak, entah kapan, ingin kudatangi kembali. Sekalipun harus terseok-seok dan bertemu muka dengan Tanjakan Asu itu lagi.

(Selesai)


Foto sampul oleh Bartian Rachmat (Blog – Instagram)

[1] Basarnas, Faiqus Syamsi yang Hilang di Gunung Arjuno Akhirnya Ditemukan, diakses dari https://basarnas.go.id/artikel/faiqus-syamsi-yang-hilang-di-gunung-arjuno-akhirnya-ditemukan, diakses 23 Agustus 2021 — (kembali ke atas)

[2] Bert Immerzeel, Lali Djiwo: Vergeet Uw Ziel, https://javapost.nl/2012/11/16/lali-djiwo-vergeet-uw-ziel/, diakses 23 Agustus 2021 — (kembali ke atas)

7 tanggapan untuk “Senyawa Alas Lali Jiwo: Pamit (11—habis)”

  1. Sedih, akhirnya kisah ini harus berakhir. Rasanya masih ingin menikmati keseruan demi keseruan di hari-hari itu. Bahkan rasanya malam terakhir di Lembah Kidang pun ingin kujalani kembali. Apa ya, malam yang mengakrabkan kita semua.

    O iya, dari artikel terakhir ini aku baru tau lho kalau di situ pernah ada Pondok Lalie Djiwo. Dan melihat dokumentasinya, sepertinya letaknya kok di Lembah Kidang itu ya? Menarik untuk ditelusuri ini.

    Kalau ada niatan kembali ke Arjuno Welirang via Tretes aku dikabari ya Qy. Dan kali itu aku akan memilih untuk santai-santai saja di Lembah Kidang hahaha

    Disukai oleh 1 orang

    1. Mengenai Pondok Lali Djiwo, sepertinya memang sudah raib, Mas. Tidak ada lagi catatan tertulis nasibnya terkini.

      Pasti akan berkabar, Mas 🙂

      Disukai oleh 1 orang

  2. Agenda berikutnya berarti gak cuma wawancara penambang belerang nih, tapi juga pencarian Pondok Lali Djiwo. Ceritanya biar kayak pencarian Arcopodo di Semeru, hahaha :))

    Btw puas banget bacanya, Mas. Ini kayaknya catper terpanjang sampean ya gak sih? Mantap!

    Disukai oleh 1 orang

    1. Nah, iya juga. Setidaknya ada sisa-sisa bongkahan bangunannya hahaha.

      Iya sih, kayaknya hahaha. Makasih ya sudah mampir 🙂

      Disukai oleh 1 orang

      1. Selalu mampirrr manakala sempat hahahaa

        Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: