Senyawa Alas Lali Jiwo: Kembali ke Peraduan (8)

Aku pernah berkata kabut adalah teman sejati di Arjuno dan Welirang. Tak peduli cerah sekalipun. Lebih-lebih saat musim hujan. Tak pandang tempat rendah atau tinggi.

Saking seringnya kabut turun, pendaki sampai tidak perlu khawatir. Pendaki yang paling tahu kapan bisa terus berjalan atau harus berhenti. Berupaya tetap tenang di segala situasi.

Dan bukan kali ini saja aku berkejaran dengan kabut. Pada pendakian ke Welirang sebelumnya, kadang kabut yang turun disusul dengan hujan lokal. Tetesan rinai yang dihasilkan kabut itu sendiri.

Maka setelah Satya menyatakan cukup dengan drone-nya, kami lekas balik. Biarpun kelihatannya langit biru kadang muncul sekelebat di balik awan. Lebih baik bergegas dan berusaha sampai di Lembah Kidang sebelum gelap datang.

Kabut yang turun, serta kondisi jalur pendakian yang sama menuju Pondokan dan Lembah Kidang. —Foto oleh Satya Winnie (Blog – Instagram)

BACA TULISAN SEBELUMNYA:
Senyawa Alas Lali Jiwo: Tengara di Antara Solfatara (7)

Perjalanan turun ke Pos 3 Pondokan hanya ditempuh satu jam saja. Ketika aku dan Indra tiba lebih dahulu pukul 16.40, kami tidak langsung menuju Lembah Kidang. Teman-teman di belakang berinisiatif mampir dulu di warung. Memesan minuman-minuman sari buah beraneka rasa. Tanpa es. Air dari sumber di pos ini sudah dingin.

Tak lupa gorengan. Tidak sehat memang.

Tapi sesekali bolehlah. Jangan sering-sering. Rawan bikin tenggorokan kering.

Kudapan dan minuman sesederhana itu, ternyata rasanya sangat nikmat. Kadang-kadang bukan soal menunya, melainkan dengan siapa dan di mana keduanya dinikmati.

Senyampang halimun yang mulai menyelimuti Pondokan, kami menyudahi waktu istirahat. Melanjutkan perjalanan ke Lembah Kidang.

Aku kembali berada di depan. Diikuti Indra, Bartian, dan Aliko. Ketika kami sudah di menyusuri jalur melipir di atas Pondokan, kulihat Satya masih di warung itu. Merekam beberapa gambar. Aku lanjutkan saja berjalan, karena sudah ada Eko yang akan memandunya balik ke tenda.

Lalu di mana Totok?

Pria berambut gimbal itu lebih dahulu turun ketika kami tiba di puncak Welirang. Sepertinya ia mengejar kelompok pendaki ultralight dan kebetulan ada yang menarik hati.

Ketika istirahat sebentar di salah satu warung di Pos 3 Pondokan, setelah ngebut dari Welirang. — Foto oleh Aliko Sunawang (Blog – Instagram)

*

Petang menutup waktunya di Lembah Kidang dengan manis. Langit semarak dengan guratan khas senja. Berarak di atap-atap gunung.

Pantas saja Satya begitu antusias. Aku kaget ketika ia berjalan cepat dan mendahului kami.

“Ayo, buruan! Mumpung langitnya bagus!” ujarnya cepat. Langkahnya gegas. Sangat kontras dibanding semalam. Kami berlima jadi ikut buru-buru.

Kami sedikit menyimpang dari jalur pendakian ke puncak. Belok kiri menurun menuju sabana yang lembut bak karpet. Rumput-rumputnya siap kembali dibasahi embun sampai pagi.

Tak jauh di hadapan kami tentu saja sang mahagunung di komplek Alas Lali Jiwo. Dinding tebing yang mulai tampak gelap dan menyeramkan. Imajiku kembali menguar liar.

Aku seolah-olah melihat dua sorot mata di puncak lancip itu. Sementara kedua lengannya meregang di kanan dan kiri. Seperti hendak membekap Lembah Kidang yang sebentar lagi kehilangan terang. Bukan memeluk untuk memberi hangat. Ia memerangkap angin. Menyebarkan suhu lebih rendah dan membuat penghuni-penghuninya kedinginan.

Kami berbondong-bondong mendatangi tempat berkemah Totok dan Gipong. Lokasinya di kawasan hutan sisi timur Lembah Kidang.

Tenda mereka diletakkan di dekat pohon. Yang tergantung di pohon tersebut tidak hanya hammock. Tapi juga barang-barang yang disimpan dalam kantung plastik besar. “Jaga-jaga kalau ada celeng lewat,” kata Gipong.

Kegiatan singkat pengujung petang di Lembah Kidang, sebelum balik ke tenda. — Foto-foto oleh Bartian Rachmat (Blog – Instagram)

Di balik keheningannya, Lembah Kidang juga merupakan salah satu habitat babi hutan. Kami sempat melihatnya mendekati tenda kemarin. Bahkan malam ini bisa jadi satwa tersebut akan datang lagi. Maka kami harus serapi dan sebersih mungkin saat mengumpulkan sampah hingga peralatan-peralatan di luar tenda.

Saya jadi teringat peristiwa di Gunung Sumbing jalur Sipetung, Temanggung, Oktober tahun lalu. Kami berkemah di Pos 2 Bidoblang, yang menjadi pertemuan dengan jalur Batursari. Dua dari empat tenda diseruduk celeng saat kami tinggal ke puncak. Seisi tenda porak-poranda dan meninggalkan sobekan panjang pada lapisan dalamnya.

Tidak ingin terulang, kami sepakat mengikuti langkah Totok dan Gipong nanti malam. Menggantungkan sekarung sampah di ranting pohon. Berusaha tidak meninggalkan jejak makanan di mana pun. Menutup rapat sisa-sisa makanan yang kami simpan di dalam tenda.

Sebelum itu, kami masih menunggu Satya bermain-main dengan drone. Suara putaran baling-baling meraung di atas Lembah Kidang. Dari gerak-geriknya, kulihat raut gembira karena melihat langit sore itu. Sepertinya menjadi obat terbaik setelah kabut merundung puncak Welirang siang tadi.

“Ini, Qy. Coba lihat langitnya. Tinggal dipoles sedikit saja hasilnya bakal keren,” kata Satya.

Penutup yang manis dari sang petang. — Foto oleh Satya Winnie (Blog – Instagram)

Mata kamera memang berbeda dengan mata manusia. Tapi gambar yang Satya rekam harus kuapresiasi. Kami jadi berkata, kayaknya tidak perlu mendaki ke gunung. Demi melihat bentang alam lebih tinggi dari pijakan kaki. Menyaksikan apa yang juga dilihat mata burung-burung yang terbang. Memandang bumi bak gelombang air berwarna-warni.

Lagi-lagi aku mengamati sejumlah foto dan video itu. Betapa beruntungnya kita yang kecil ini, hidup berdampingan dengan alam semesta di sekitar kita.

*

Malam itu aku sedang ingin manja di tempat camp. Ajakan Satya memotret langit berbintang kutolak.

Sejatinya aku suka melihat gugusan bintang. Tapi aku beralibi memilih masak saja. Membantu teman-teman yang lain menyiapkan makan malam. Padahal sebenarnya lebih karena malas menahan dingin. Suara angin yang terdengar saja sudah cukup memperkuat alasanku.

Aku bilang, “Nanti lihat hasil fotomu saja.”

Tentu saja dia setengah meledekku. Kami pun tertawa. Aku bahkan tertawa lebih kencang, karena di antara kami, hanya Eko yang (mau) menemaninya ke tengah sabana gelap-gelap. Mereka akan memotret di dekat tenda Totok dan Gipong.

Sisanya sibuk di dapur umum. Lidia, Aiman, dan Jun sudah menyiapkan sejumlah lauk-pauk. Aku bersama Indra dan Aliko berbagi tugas menanak nasi dan memasak sayur sop. Bartian siaga di luar tenda. Ia siap jadi divisi bersih-bersih. Mencuci peralatan kotor untuk dipakai kembali. Mengisi persediaan air. Juga menentukan tingkat kematangan masakan kami.

Salah satu hasil jepretan Satya malam itu. Aku mungkin sudah kedinginan jika ada di posisi seperti Gipong dalam foto. — Foto oleh Satya Winnie (Blog – Instagram)

Malam itu kami harus makan cukup. Bahkan kenyang sekalian. Terutama yang akan pergi ke puncak Arjuno esok dini hari. Rencana ini kami bahas di sela-sela makan.

Si trio kembali memutuskan menunggu di tenda. Mereka sangat berbaik hati akan menyiapkan makan setibanya kami dari Arjuno.

Aliko setali tiga uang. Selain kondisi fisik, sepatunya kurang memadai untuk melanjutkan pendakian ke puncak. Ia memilih “menghemat energi” sepasang sepatu untuk perjalanan pulang yang masih panjang.

Satya dan Eko tentu saja akan berangkat. Indra dan Bartian masih pikir-pikir. “Lihat besok,” kata mereka.

Sementara aku malah sibuk menghitung waktu. Sedari awal memang kami tidak selalu sesuai jadwal yang direncanakan.

Aku mungkin terlalu banyak berpikir. Termasuk masa sewa mobil yang berakhir besok malam. Dan kepikiran keluarga di rumah, kalau-kalau kepulangan kami akan molor bahkan jika harus terpaksa memperpanjang hari pendakian. Situasi di gunung tak sedikit pun bisa kami duga.

Pikiran-pikiran itu akhirnya kutepikan sejenak. Yang penting kami tuntaskan dahulu makan dan lekas kembali ke peraduan. Waktu istirahat yang cukup akan berarti banyak untuk daya tahan tubuh kami.

Ketika sudah membalut diri dengan sleeping bag, di benakku cuma satu. Semoga saja saat muncak besok tidak masuk angin.

(Bersambung)


Foto sampul oleh Satya Winnie (Blog – Instagram)

6 tanggapan untuk “Senyawa Alas Lali Jiwo: Kembali ke Peraduan (8)”

  1. […] BACA TULISAN SEBELUMNYA:Senyawa Alas Lali Jiwo: Kembali ke Peraduan (8) […]

    Suka

  2. Dan sayur sop itu rasanya semakin nikmat ya ketika disantap di area kemah yang dingin seperti Lembah Kidang. Meskipun hanya berkaldu instan.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Iya, Mas. Sesederhana menu apa pun, pasti bakal nikmat.

      Disukai oleh 1 orang

  3. […] BACA TULISAN SEBELUMNYA:Senyawa Alas Lali Jiwo: Kembali ke Peraduan (8) […]

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: