Cantigi gunung punya nama lain: Manisrejo. Karena memang banyak ditemui hampir di seluruh gunung di Pulau Jawa. Mampu tumbuh dalam kondisi ekstrem di ketinggian, biasanya bersamaan dengan edelweiss. Paling mudah ditemui di sekitar area kawah pegunungan berapi.
Manisrejo adalah tanaman idola pendaki. Selain tampilan yang menarik, baik daun maupun buahnya bisa dikonsumsi. Menjadi salah satu tanaman yang dijadikan bahan untuk bertahan hidup (survival) jika tersesat.
Berarti tempat yang kami singgahi sebentar ini boleh juga disebut Taman Manisrejo. Jadinya kan berasa Jawa banget. Apalagi pos-pos di jalur Tretes juga diberi nama Jawa. Pet Bocor, Kopkopan, dan Pondokan.
Selain soal nama dan jenis vegetasi yang tumbuh, ada satu lagi yang mencolok di sini. Bau belerang yang sangat khas dan menyengat. Sebenarnya sejak dari Pondokan sudah ditemui serpihan-serpihan belerang di tanah. Biasanya karena tumpah tak sengaja ketika diangkut penambang.
Kini baunya semakin terasa. Etape ketiga, Taman Edelweiss—Puncak Welirang, bisa ditempuh paling lama satu jam. Treknya relatif santai dan sudah tidak terlalu menanjak. Kami hanya harus berhati-hati dan fokus di dua titik. Pertama, ketika melipir tebing yang kirinya adalah jurang. Kedua, percabangan yang memisahkan jalur penambang ke Kawah Plupuh dan jalur pendakian ke puncak.
Seingatku hanya ada satu petunjuk arah kecil dari kayu yang menempel di batang manisrejo. Tidak terlalu jauh dari persimpangan tadi. Tertulis “Jalur Penambang”. Kalau keasyikan jalan tanpa memerhatikan petunjuk, bisa bablas ke kawah. Akan sangat repot dan capek sekali untuk balik arah. Eko pernah mengalaminya beberapa tahun silam.

“Waktu itu kami terpaksa potong kompas dan memilih memanjat batu-batuan terjal. Belum lagi bau belerang yang bikin mata perih dan napas sesak. Untung saja ketemu lagi sama jalur pendakian yang sebenarnya,” kisahnya dalam bahasa Jawa.
Kami tak ingin kejadian Eko di masa lalu terulang. Situasi cukup mendukung untuk berjalan sesuai jalurnya. Pandangan masih sangat jelas. Kami jalan berdekatan. Supaya bisa saling mengingatkan jika ada teman yang melenceng dari jalur.
Sementara kami tetap mewaspadai cuaca yang setiap saat dapat berubah. Dalam kurun waktu sejam dari tempat istirahat hingga puncak, kabut sudah turun dan lumayan tebal. Padahal tadi di Taman Edelweiss masih kelihatan langit biru.
Gua Sriti yang besar dan gelap terlihat di sisi kanan jalur pendakian. Tandanya kawasan puncak semakin dekat.

BACA TULISAN SEBELUMNYA:
Senyawa Alas Lali Jiwo: Energi Cantigi (6)
*
Kalau tidak salah ingat, Juli lalu aku sempat ngobrol singkat dengan Vito, juniornya Satya, lewat WhatsApp. Tiba-tiba saja langsung kepikiran mengajak kolaborasi. Kami sama-sama punya ide untuk bikin reportase penambang lirang (belerang) di Welirang.
Rencana tersebut mengharuskan kami berada di tengah hutan beberapa hari. Menyewa pemandu setempat untuk mendampingi kami melihat aktivitas penambang. Dari Pondokan hingga kawah dan sebaliknya. Aku sendiri juga ingin melihat sudut pandang dari sopir jip yang membawa belerang dari Pondokan. Vito dan kawan-kawan sudah merasakannya saat pendakian kemarin. Sayang waktu itu para penambang sedang libur.
Karenanya ketika ide itu muncul, yang tentu saja membuat kami harus kembali mendaki jalur makadam tanpa ampun itu, kami seketika kompak berkata sambil tertawa, “Naik ke Pondokan pakai jip saja!

Namun setidaknya aku telah mendapatkan pengamatan awal untuk mewujudkan rencana tersebut. Aku melihat tengara yang sangat jelas di sekitar kawah maupun puncak. Tengara yang kumaksud mengecualikan plakat “Welirang 3.153 mdpl” dan tiang bendera merah putih di puncak tertingginya.
Tengaranya tak lain adalah belerang itu sendiri. Unsur nonlogam alami yang menjadi salah satu faktor pembentuk panas bumi di komplek Gunung Arjuno-Welirang. Kami berada di tempat yang menjadi sumber penghidupan maupun ladang ilmu pengetahuan bagi banyak orang. Badan Geologi Kementerian ESDM menyebut sumber daya alam potensial yang dapat digali adalah belerang di dua kawah utama, yaitu kawah Plupuh dan kawah Jero.[1]
Kalau hidup itu memang dijalani dengan keras dan berat, salah satunya mungkin terjadi di sini. Berjalan sehari-hari di balik selubung keindahan panorama puncak gunung. Terserak di atas lapangan fumarol dengan solfatara-solfatara yang berbau busuk dan pekat.
*
Belerang bak dua sisi mata pisau. Ketika diasah, bisa memberi manfaat besar sekaligus membahayakan. Berkelindan. Tak dapat dipisahkan.
Belerang bisa diolah dalam pelbagai bentuk, seperti batu/bongkahan utuh, bubuk, maupun lempengan. Unsur kimia dengan nomor atom 16 itu bisa digunakan untuk banyak hal. Jadi bahan dasar pupuk, pestisida, bubuk mesiu, bahan baku kosmetik, kesehatan, sabun, bahkan korek api.[2]
Di balik manfaat yang dihasilkan, belerang juga menimbulkan kerentanan kerja dan risiko kesehatan serius bagi para penambang dan kuli angkutnya. Mereka adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dengan maut. Berjuang dan bertahan hidup demi bongkahan-bongkahan belerang di tengah cuaca tak menentu. Dalam konsentrasi tinggi, gas-gas oksida belerang tersebut dapat berbahaya baik bagi manusia maupun hewan.

Berdasarkan riset yang dilakukan Wulandari (2019), para penambang belerang (termasuk kuli angkut) merupakan bagian dari lingkaran jaringan sosial pertambangan belerang. Antara lain mencakup penimbang, sopir jip pengangkut belerang, koperasi/industri kerajinan belerang, tengkulak, hingga perusahaan-perusahaan (pabrik) pengguna belerang. Lebih lanjut dalam penelitiannya, para penambang dan kuli angkut menghadapi sejumlah tantangan berat saat bekerja.[3]
Pertama, medan yang terjal. Aku yang jalan tanpa membawa beban berat saja ngos-ngosan. Apalagi mengangkut 1,5 kuintal bongkahan belerang. Entah dipanggul atau didorong dengan gerobak. Jamak ditemukan gerobak diletakkan begitu saja di jalur pendakian, karena as roda patah atau rodanya sendiri yang bocor kena batuan tajam.
Kedua, cuaca yang tidak menentu. Hujan deras bisa menyebabkan jalur pendakian licin. Kuli angkut harus mengurangi sepertiga hingga separuh dari total muatan normal. Namun apabila terjadi hujan atau badai terus-menerus, para penambang dan kuli angkut terpaksa tidak bekerja seharian. Hal ini berdampak pada perubahan target dan penghasilan.
Ketiga, toksisitas belerang. Uap belerang yang dihirup berpotensi menyebabkan keracunan, gangguan pernapasan, iritasi kulit, dan korosi gigi. Tidak semua penambang menggunakan masker filter khusus. Umumnya hanya berupa kain kecil dari sobekan baju atau lainnya untuk menutupi mulut. Ritme menambang pun harus diatur. Jika napas dirasa mulai sesak, mereka akan berhenti sejenak dan menjauh dari pusat tambang. Menghirup udara segar beberapa saat.


Keempat, kondisi fisik. Tidak setiap saat tubuh para penambang dan kuli angkut berada dalam keadaan prima. Jika sampai sakit, maka harus istirahat dari menambang. Itu pun kadang diobati seadanya.
Kelima, kebutuhan belerang meningkat tapi harga jualnya menurun. Upah hasil menambang belerang cenderung fluktuatif, berkisar Rp1.000—1.500 per kilogram. Tatkala belerang tak lagi memadai untuk digali, ditambah kebutuhan pokok keluarga yang semakin mendesak, sebagian penambang dan kuli angkut harus mencari sumber tambahan penghasilan lain. Misalnya menjadi porter pendaki, tukang ojek, atau bertani. Hal serupa terjadi di Kawah Ijen, Banyuwangi. Sebagian sudah ada yang beralih menjadi tukang ojek troli wisata, dengan ongkos Rp500.000—700.000 sekali jalan.
Keenam, regenerasi penambang. Tidak banyak anak muda yang mau meneruskan profesi sulit ini. Kebanyakan adalah penambang lama yang sudah bekerja di kubangan fumarol sejak belasan bahkan puluhan tahun lalu. Akibatnya hasil belerang yang digali menjadi lebih sedikit meskipun ketersediaan bahan baku melimpah.
Segala faktor berkaitan itu dapat berdampak pada produktivitas penambang dan kuli angkut. Seperti dikatakan Rachmanto (2014), unsur fisik yang melemah karena kelelahan dan efek toksitisas belerang bisa menyebabkan pekerja tersebut tetap berkubang dalam kemiskinan. Belum lagi faktor usia yang turut mengurangi kemampuan bekerja.[4]
Ia juga menyatakan bahwa penambang dan kuli angkut termasuk dalam kelompok buruh yang paling tereksploitasi. Indikasinya adalah jam kerja yang melebihi standar (bisa disebabkan faktor cuaca), upah yang tidak sepadan dengan tenaga dan risiko kerja, hingga kurangnya jaminan kesehatan. Keterbatasan akses transparansi kontrak kerja juga bisa membuat penambang maupun kuli angkut semakin rentan secara fisik, psikis, dan ekonomi.
*
Satya bersiap menerbangkan drone ketika kabut
mulai sedikit terbukaFoto bersama di puncak Gunung Welirang Kawah Jero di puncak Welirang Saya (tengah) sibuk mengupas buah sementara
Satya mengoperasikan drone
Foto-foto oleh Bartian Rachmat (Blog – Instagram)
Puncak Welirang, 3.156 meter di atas permukaan laut. Pukul 14.00 WIB. Empat jam perjalanan super santai dari Lembah Kidang.
Langit biru sesekali menampakkan diri. Tapi enggan beradu dengan kabut yang betah bergelayut lebih rendah. Arjuno saja tidak kelihatan. Asap-asap solfatara tak mau kalah. Membumbung dengan warna kuning khas dan bau semerbak menusuk indra penciuman. Kawah Jero dengan air kecoklatan terlihat begitu terjal dan curam.
Mengedarkan pandangan ke arah Tretes, aku masih bisa melihat beberapa manisrejo bertebaran. Masih mampu tumbuh tegar di lingkungan seekstrem ini meskipun kerdil. Bersaing dengan batu-batu yang berserakan.
Di kawasan pelataran puncak ini kami tetap harus berhati-hati. Jangan sampai salah langkah ke kawah-kawah berjurang dalam itu. Sangat tidak lucu euforia harus lenyap seketika, dengan konsekuensi menyedihkan akibat jatuh ke kawah.
Sementara Satya tampak menunggu sesuatu. Berdoa meminta “sang ibu” alam berbaik hati. Satya ingin kabut tebal untuk mengalah sejenak, agar dia bisa menerbangkan drone di atas puncak. Merekam lanskap Welirang yang sebenarnya sangat menakjubkan.
Aku keluarkan lagi sisa buah pir dan apel dari dry bag. Buat menambah asupan perut di sela-sela asyik berfoto secara bergantian.

Pencapaian kami di puncak sungguh tak seberapa dibandingkan pemburu-pemburu lirang itu. Pendakian kami dari Tretes yang sudah sepayah itu, belum ada apa-apanya. Esensi perjalanan yang dilakukan memang berbeda. Kami naik gunung untuk berlibur dan merayakan kebersamaan; sedangkan mereka berkutat dengan bahaya racun sulfur untuk bekerja dan bertahan hidup.
Tapi aku percaya satu hal. Kami juga mendaki agar bisa banyak belajar. Dari alamnya, dari pengorbanan orang-orang yang bergantung padanya. Pada tengara-tengara kehidupan yang tersirat di antara kepulan solfatara.
Tiba-tiba Satya berseru. Drone mungil itu berhasil diterbangkan. Ia meminta kami bergaya. Hasil foto dan video tersebut bisa langsung kami lihat di ponselnya saat itu juga. Jelas saja kami sangat kompak mengekspresikan diri.
Memandang gambar-gambar itu, aku terpekur. Kami begitu kecil. Kecil sekali.
Foto sampul oleh Bartian Rachmat (Blog – Instagram)
[1] Badan Geologi, “Gunung Arjuno-Welirang”, https://vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/544-g-arjuno-welirang, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI. — (kembali ke atas)
[2] CV Welirang Mas, “Manfaat Belerang (Sulfur), welirangmas.com (5 Januari 2018). — (kembali ke atas)
[3] Suci Wulandari, “Mekanisme Bertahan Hidup Penambang Belerang di Gunung Welirang”, Repository Universitas Airlangga, 2019. — (kembali ke atas)
[4] Sofiyan Rachmanto, “Eksploitasi Buruh Pengangkut Belerang di Gunung Welirang (Studi Deskriptif tentang Relasi Antara Pengepul Belerang Koperasi Raksa dan Buruh Pengangkut Belerang di Gunung Welirang)”, Jurnal Komunitas Universitas Airlangga, Vol. 3 No. 3 (September 2014), hal. 1-11. — (kembali ke atas)
Tinggalkan Balasan