Lagi-lagi aku terlalu percaya diri. Aku menyebut waktu tempuh ke puncak Welirang setidaknya 2,5-3 jam. Aku lupa mengukur diri. Pencapaian segitu adalah diriku sekitar lima tahun lalu. Saat ini bisa jadi lebih dari itu.
Tapi setidaknya aku bisa beralibi. Kali ini pendakianku jauh lebih santai. Mengikuti ritme teman-temanku, yang ternyata acapkali lebih cepat melangkah daripada aku.
Aku akui fisikku tidak terlalu prima. Walaupun tidak payah-payah amat. Namun sekarang memang lebih berasa menuruti bisikan untuk berhenti sejenak ketimbang berjalan konstan.
Jun atau Lidia mungkin telah menemukan penyebabnya: lemak di perutku. Sudah kelihatan membuncit memang dalam dua tahun belakangan. Dampak kerja kantoran yang dimanjakan dengan banyak makanan, tapi tidak diimbangi olahraga teratur.
Pantas saja. Ketika sejak awal mendaki dari Tretes langkahku seperti terganjal di bagian perut. Itu bagaikan sepeda yang berjalan dengan ban kempes.
“Ah, itu karena beban tas yang dibawa.” Aku berusaha membantah.
Tapi faktanya perasaan seperti itu sama saja ketika aku muncak ke Welirang hanya membawa selempang dry bag ringan. Isinya cuma air minum, kotak makan yang memuat potongan-potongan nanas dan pir, serta jas hujan.
Pada akhirnya estimasi yang kutetapkan telah meleset. Seberapa jauh? Lumayan.
BACA TULISAN SEBELUMNYA:
Senyawa Alas Lali Jiwo: Riang Pagi Lembah Kidang (5)
*

Seluruh hajat kami beres sekitar setengah sepuluh pagi. Aku bersama lima orang lain, Eko, Indra, Bartian, Satya, dan Aliko, lekas mempersiapkan diri. Membagi beban kelompok, terutama bekal makanan ringan dan persediaan air. Tetangga sebelah kami, yaitu Totok, akan ikut muncak.
Sementara si trio itu: Jun, Lidia, dan Aiman, tidak ikut ke Welirang. Mereka memilih tetap di tenda. Masing-masing memiliki alasan tersendiri. Jun sudah berulang kali ke Welirang sehingga merasa bosan. Lidia murni agak malas-malasan ke puncak alias mager. Aiman lebih sayang kakinya. Di luar itu, aku berterima kasih kepada mereka. Lidia dan kawan-kawan berbaik hati akan menyiapkan masakan untuk makan malam nanti.
Dari lubuk hati terdalam, aku sendiri juga menginginkan pilihan yang sama. Bisa tidur-tiduran di luar beralas matras. Siapa tahu semilir angin membelai pipi dan membawaku ke alam mimpi. Bermimpi menggembalakan hewan-hewan di lembah magis itu.
Tapi di sisi lain, sebuah panggilan besar mendorongku untuk melangkah ke puncak. Aku bukannya sok heroik. Kupikir, aku bisa berguna sebagai back up, meskipun sudah ada Eko dan Totok. Pertimbanganku adalah Indra, Bartian, Satya, dan Aliko, belum pernah ke puncak Welirang. Sehingga kurasa kami bisa saling mendukung. Terlepas mereka berempat merupakan pendaki berpengalaman.
Jadilah kami berenam berangkat menuju Welirang sekitar pukul 09.50 WIB. Jalur pada etape pertama, Lembah Kidang—Pos 3 Pondokan, sama seperti yang kami lewati kemarin malam. Rasa-rasanya dekat, tapi ternyata lumayan bikin pegel juga.
Totok dan Gipong bilang kalau sebenarnya ada trek pintas dari Lembah Kidang langsung tembus Lapangan Kotak. Sebuah kawasan berkemah di kaki Gunung Kembar 1 dan 2. Jaraknya mungkin tak sampai setengah jam berjalan dari Taman Edelweiss.
Namun, jalur tersebut sangat rimbun dan rawan bikin tersesat. Karena jarang dilewati. “Sudahlah, kita lewat jalur yang aman dan pasti saja,” cetus Totok nyengir.
*



Kiri: Aliko beristirahat di tengah pendakian menuju Puncak Welirang
Tengah: Merekam Totok di jalur yang sempat memanjakan kaki
Kanan: Peralihan jalur tanah kembali berganti menjadi makadam yang terus menanjak hingga Taman Edelweiss
Suasana Pos 3 Pondokan pagi itu masih riuh seperti semalam kami tiba di sini. Pendaki datang silih berganti. Ada yang sudah turun dari puncak maupun baru datang dari arah Tretes.
Kami rehat cukup lama di “dusun penambang” tersebut. Tak lain karena Satya bertemu dengan sejumlah pendaki dan ngobrol di depan sebuah warung. Melihat itu Bartian sampai guyon, “Tuh kan, siapa yang nggak kenal Satya? Banyak orang tahu dia.”
Aku tergelak. Betul juga. Kemarin siang dia disapa juniornya, Vito, di Kokopan. Sama-sama dari kelompok mahasiswa pencinta alam (mapala) di almamater yang sama. Belakangan aku baru menyadari—tepatnya ketika sudah pulang—kalau aku juga punya hubungan dengan pria berkacamata itu. Rupanya kami sudah lama saling follow di Instagram dan blog.
Eh, Vito. Tahu gitu aku ikut kalian turun dan lanjut ngobrol sambil ngopi saja di Tretes. Eh…
Mungkin sekitar belasan menit kemudian kami melanjutkan pendakian. Menempuh etape kedua: Pos 3 Pondokan—Taman Edelweiss. Kali ini aku berinisiatif mengambil posisi terdepan. Aku sangat ingat rupa trek setelah Pondokan. Masih berupa makadam yang batu-batunya jauh lebih besar dan tak beraturan. Lumayan menanjak hingga habis dan bertemu jalur tanah di antara pepohonan cemara.
Di titik itulah aku berhenti dan mengatur napas yang menggos-menggos. Padahal tadi sudah sangat bertenaga saat berjalan di tanjakan.
Aku tidak ingat di kilometer berapa, kami kembali istirahat cukup lama. Kali ini Indra, yang sepertinya akan melanjutkan “hajat” yang tertunda di Lembah Kidang. Aku sempatkan merem sejenak. Mencoba tidur meskipun tidak nyenyak.
Kalau toh terlelap pun tak jadi soal buatku. Tertidur di tengah jalur pendakian merupakan salah satu kenikmatan lain di gunung.
*
Jalur pendakian yang memanjakan kaki ternyata tidak terlalu panjang. Makadam kembali menyambut dengan tanjakan-tanjakan pemeras keringat jelang batas hutan cemara.
Di sini rombongan kembali berjarak. Totok, Satya, Eko, dan Indra, tentu saja melesat di depan. Sementara aku memilih mendampingi Bartian dan Aliko. Pelan-pelan meniti batu-batu yang kuat dipijak. Sedikit-sedikit berhenti dan mengaso.
Bahkan kami terkesima dengan pohon cantigi gunung yang banyak tumbuh setinggi tubuh kami. Pohon ini mulai ditemui di akhir-akhir tanjakan menjelang Taman Edelweiss. Tidak ada batas tegas atau kontras perubahan vegetasi dari cemara ke cantigi.

Kami asyik memetik buahnya yang masih berkerabat dengan blueberry atau sejenisnya. Bergilir dari satu pohon ke pohon yang lain. Sebagian dimakan langsung di tempat, sisanya dikantongi untuk diberikan kepada teman-teman.
Maka setibanya di Taman Edelweiss, seingatku sekitar pukul 12.45, atau setelah tiga jam perjalanan, aku menghampiri Eko dan kawan-kawan. Mereka sudah beristirahat di dekat pohon cantigi berukuran besar. Dahannya tumbuh melebar, sehingga daun-daun rimbun menaungi kami di bawahnya.
Aku bergegas mengeluarkan kotak plastik dari dalam dry bag. Membuka tutup dan menawarkan isinya ke teman-teman. Bekal di dalamnya berupa potongan nanas yang diiris Bartian. Ditambah sebagian buah pir dan apel yang kupotong sendiri saat itu juga.
Indra juga mengambil bekal lain. Makanan ringan sejenis biskuit persegi berlumur keju. Aku tambahi di atasnya potongan nanas. Memberikan sensasi segar dan renyah yang berpadu.
Tempat kami melepas lelah merupakan sebuah persimpangan besar. Pertemuan jalur utama antara Tretes dan Cangar (Batu). Eko menjelaskan, “Kalau ke kiri (dari arah Tretes), tujuannya ke Gunung Kembar 1, Lembah Lengkehan, dan Gunung Kembar 2. Jalur tersebut tembus ke Lapangan Kotak, kemudian akan bertemu dengan percabangan lagi: dari Lembah Kijang dan ke puncak Arjuno.”
Membayangkan jalurnya membuat keputusan kami semakin bulat. Seketika kami sepakat menghapus kedua Gunung Kembar dan Lembah Lengkehan dari jadwal. Untuk saat ini, Welirang dan Arjuno dirasa lebih dari cukup. Dan juga Lembah Kidang, yang tak ingin kami nikmati dalam kondisi terlalu lelah.

Percabangan jalan yang kami singgahi itu memang disebut Taman Edelweiss. Namun cantigi tumbuh tak kalah banyak di sini. Bagiku sudah selayaknya Taman Cantigi bisa menjadi nama lain yang sepadan.
Lagi pula edelweiss tidak sedang mekar hari itu. Tidak mungkin pula dipetik apalagi dimakan bulat-bulat. Sedangkan cantigi menumbuhkan buah-buah mungil yang asam namun bikin ketagihan. Memberikan energi tambahan bagi kami selain nanas, apel, dan pir yang kubawa.
Sementara langit masih menampakkan birunya di tengah awan-awan berarak. Situasi yang diharapkan awet hingga kami tiba di puncak tertinggi Welirang.
Tapi cuaca bukan kuasa kami. Sekarang cerah nanti berubah, siapa yang tahu?
Foto oleh Bartian Rachmat (Blog – Instagram)
Tinggalkan Balasan