Di blog ini, aku pernah bercerita betapa puitisnya Lembah Kidang. Pada suatu pagi dalam pendakian yang terjadi Maret 2016. Ketika sebagian teman pergi ke puncak Arjuno, aku bersama Rizky dan Kurniawan memilih tetap singgah di tenda.
Kami menikmati pagi di lembah yang hijau dan damai. Maklum saja. Kami bertiga baru tiba di Lembah Kidang sudah larut malam saat itu.
Begitu pun kali ini. Hanya berbeda urutan agenda saja. Tujuan pendakian kami di hari kedua, Minggu, 30 Mei 2021, bukanlah Arjuno. Melainkan Welirang terlebih dahulu.
Itu juga harus mundur dari jadwal yang direncanakan. Dari yang semestinya muncak sekitar pukul 2-3 dini hari, terpaksa harus molor beberapa jam. Setidaknya sesuai keinginan Satya. Ia mau pergi ke puncak setelah pukul enam pagi.
Dan memang kami akan berangkat jika sudah benar-benar siap; usai melakukan sejumlah kegiatan pagi yang biasanya penuh hajat. Hajat memenuhi isi perut, menyeduh minuman hangat, membasuh muka, olahraga ringan, sampai dengan “hajat” yang harus dibuang.
Khusus hajat yang disebut terakhir, mau tidak mau, tidak boleh ditahan-tahan. Kondisi perut harus dibuat nyaman selama pendakian. Nikmat mana lagi yang kami dustakan, ketika menuntaskan “hajat” berselimut semak berembun dan dikelilingi pohon cemara menjulang?

Apalagi bila perut senantiasa dimanjakan dengan banyak makanan dan minuman. Memasak menu bergizi dan mengenyangkan adalah sebuah cara menghargai tubuh sendiri ketika mendaki gunung. Tentu dengan prasyarat utama: ketersediaan sumber air yang melimpah.
BACA TULISAN SEBELUMNYA:
Senyawa Alas Lali Jiwo: Terjala Gulita (4)
*
Pada momen seperti ini, Lembah Kidang adalah sebuah mahakarya. Seperti yang kubilang sebelumnya. Lembah eksotis di kaki tebing cadas Ogal-Agil itu adalah susuk pemikat gunung ini. Ia mengajak untuk mencoba bersahabat dengan waktu dan tubuh kami sendiri.
Aku mungkin berlebihan. Tapi setidaknya kami tak ingin seperti Si Budi Kecil. Sosok dalam lagu Iwan Fals, “Sore Tugu Pancoran”, yang tak sempat nikmati waktu karena berkelahi dengan penguasa masa untuk mengejar mimpi.

Foto oleh Bartian Rachmat (Blog – Instagram)
Puncak tertinggi di setiap gunung lumrah menjadi impian banyak orang. Lazim ketika seorang pendaki ingin mengejar eksistensi dan berdiri di sana. Ada kebanggaan, euforia, rasa syukur, dan yang terpenting melihat hasil sejauh mana kemampuan kita menguji diri sendiri. Sampai sebatas apa ketahanan fisik dan mental yang dimiliki.
Negeri ini disesaki gunung-gunung magis. Setiap rimba memiliki karakteristik, histori, dan kemegahannya sendiri. KIta memiliki puncak-puncak gunung berapi yang bisa disebut sebagai paket lengkap. Mengingat keanekaragaman bentang alam yang disajikan. Sebut saja Kerinci, atap Sumatra; Rinjani, puncak Dewi Anjani; atau Mahameru, puncak abadi para dewa.

Ini belum bicara tentang gunung-gunung lain yang seolah tak masuk radar. Terutama karena jalur pendakian yang berat, bujet jumbo, transportasi dan akomodasi yang terbatas, atau bisa jadi alur registrasi yang rumit. Namun bagi yang menyukai tantangan, hal itu akan sepadan. Carstenz di Papua, Binaiya di Maluku, Leuser di Aceh, Bukit Raya di Kalimantan, dan lain-lain.
Oh, ya. Kita juga tidak boleh menganggap remeh bukit atau gunung yang dibilang tidak terlalu tinggi. Baik itu di bawah seribu, dua ribu, atau tiga ribu meter di atas permukaan laut. Sifat meremehkan adalah penyakit hati yang bisa memberi konsekuensi tak diinginkan. Situasi pendakian yang semula aman dan nyaman, bisa berbalik membahayakan pendaki. Sebagai tamu yang datang atau menumpang bermalam, ada tata krama dan aturan-aturan setempat yang harus dijaga.
Maka kami berupaya menjaga ego dan ambisi. Puncak gunung tak semata dikejar dan diinjak tanahnya. Aku berpikir bahwa seorang pendaki harus membersamai langkahnya dengan kerendahan hati. Ketika Satya menerbangkan drone miliknya, lalu merekam polah kami dari ketinggian beberapa puluh meter di atas kepala, saat itulah aku kembali disadarkan.
Betapa kecil kita di alam ini.
*

Kecuali Jun, Lidia, dan Aiman, aku bersama yang lain juga ingin menggapai puncak Welirang. Melihat dari dekat kawah-kawah dalam yang dikelilingi tanah tandus penuh batu dan bongkahan belerang.
Di sela-sela berbagi tugas kelompok, seperti memasak, menyiapkan minuman, membersihkan peralatan makan; aku dan Eko sejenak menjadi pemandu. Kami sedikit menjelaskan gambaran kondisi jalur pendakian ke Welirang.
Seperti penjelasan Junaedi dan bekal peta yang kami bawa, rute pendakian ke puncak Welirang relatif lebih bersahabat dibanding ke Arjuno. Secara garis besar alur dan estimasi waktunya seperti ini:
Lembah Kidang—Pos 3 Pondokan: 20 menit
Pos 3 Pondokan—Taman Edelweiss: 2-2,5 jam
Taman Edelweiss—Puncak Welirang: 1 jam
Tentu saja hitung-hitungan waktu tersebut bersifat perkiraan. Bisa lebih cepat atau meleset jauh. Kami sepakat akan mendaki dengan santai dan tidak terburu-buru.
Tapi itu soal nanti. Ketika semua hajat pagi tuntas. Termasuk melahap nasi dan setengah kilogram rendang yang dibawa Bartian. Kuliner terlezat dunia yang dimasak langsung berjam-jam oleh pria kelahiran Yogyakarta tersebut.
Setengah kilogram lagi akan dipakai untuk nanti malam. Begitu stok dari Bartian habis, masih ada 1,5 kilogram lagi bikinan Cecep di panci yang dibawa Aliko.
“Jangan lupa yang dari Cecep dihabiskan, loh,” celetuk Aliko. Tentu saja ia resah jika saat turun gunung rendang itu masih utuh. Tak ada beban bawaan yang berkurang seperti diharapkan.
Kami tertawa. “Aman, Mas. Tenang saja!”
*

Meskipun kami meluapkan keriangan, termasuk kelompok-kelompok pendaki lain di sejumlah titik, Lembah Kidang tetaplah terasa senyap. Pepohonan, rerumputan, dan tanaman berbunga yang tumbuh seperti menjadi peredam suara.
Terlebih tebing cadas yang menjulang di sisi selatan. Dinding raksasa yang membendung ego para pendaki. Puncak teratas yang lancip itu seakan menguji mental tamu-tamu yang melintas atau menginap di lembahnya.
Seperti cerita Junaedi di pos perizinan, pesohor seperti Fiersa Besari dan timnya saja menemui jalan buntu karena meniti jalur yang keliru. Mereka malah “menerjang” batu-batu dan semak berserakan yang tak berujung.
Seharusnya dari Lembah Kidang, mereka harus memutar ke barat terlebih dahulu dan menyusuri punggungan menuju puncak Arjuno. Memasuki kawasan Alas Lali Jiwo yang terjal dan senyap. Hanya terdengar gemuruh angin merisak daun dan ranting. Degup jantung dan napas yang memburu harus beradu dengan debu-debu tebal di permukaan tanah.
Di balik kesuramannya, Arjuno tetap menunjukkan sisi lembut. Tepat di kakinya, terhampar padang rumput bercakar cemara gunung yang rimbun.
Lembah Kidang adalah penawar terbaik bagi mental yang goyah. Lembah Kidang ialah jeda optimal di antara rencana pendakian yang terlalu ketat.
Alih-alih down, justru kami terdorong membesarkan hati. Bahkan aku sempat berkhayal memunculkan satwa-satwa di lembah ini. Membayangkan kijang, kuda, babi hutan, dan (amit-amit) macan berlarian ke sana kemari. Boleh juga ditambah kambing dan sapi. Biar rerumputan yang hijau itu tidak tumbuh percuma. Fantasiku bahkan sampai sejauh Brachiosaurus sedang menyantap daun-daun cemara di dahan tertinggi.
Imajinasi tersebut tentu saja keluar dari hati yang sedang riang. Lebih tepatnya puncak rasa syukur kami usai semalam tiba di tempat ini dengan sehat dan selamat. Pagi di Lembah Kidang terlampu berharga untuk dilewati begitu saja.
Tinggalkan Balasan