Seingatku, kami sudah berjalan sekitar 30 menit dari Pondokan. Jalan teramat pelan. Lutut gemetar. Perut keroncongan. Ditambah angin malam yang bisa-bisanya tahu celah sempit di balik pakaian untuk membuat tubuh menggigil. Desing hawa malam bercampur keringat adalah salah satu mutualisme gunung yang menguji kami dan memicu pertanyaan, “Kenapa tak kunjung sampai?”
Jun dan Lidia melesat di depan. Aku memang meminta Jun berjalan dahulu, agar ia mencari dan memastikan tempat berkemah di Lembah Kidang 2. Sebuah area dekat dengan sumber air dan lebih nyaman dibandingkan Lembah Kidang 1. Sementara di urutan ketiga adalah Satya, diikuti Aiman, aku, dan Indra.
Sampai di suatu pohon pinus besar di sisi kiri jalur, Satya berhenti. Ia taruh lengan kanan ke pohon itu untuk menopang kepalanya. Kami bertiga di belakangnya ikut mengerem langkah. Napas kami tersengal-sengal.
“Jun, berapa jauh lagi? Kita sudah 30 menit lebih ini jalan belum sampai-sampai!” Satya berseru.
Sayup-sayup kudengar Jun menjawab bahwa lokasi camp sudah sangat dekat. Beberapa menit lagi. Kemudian tak ada sahutan lagi. Satya tetap berdiri menyandarkan kepalanya pada pohon. Aiman terduduk di atas semak-semak. Aku dan Indra mengikutinya. Kami berempat sejenak terjala keheningan.
Aku mulai menata napas. Aku harus mengakui perkiraanku meleset, tapi aku hanya bisa terdiam. Aku juga teramat lelah sambil menahan efek suhu rendah menggerayangi bagian kakiku yang terbuka. Dari lutut hingga betis. Sambil berharap kami ada cukup tenaga untuk kembali berjalan ke tempat camp, yang kata Jun tinggal sedikit lagi.
Malam itu memang rasanya campur aduk. Lapar, dingin, dan lelah berbaur menjadi satu. Berpadu menjadi kombinasi serius dan menyebabkan kami tidak fokus berjalan. Aiman sudah merasakannya bahkan saat baru berjalan sepelemparan batu dari Pos 3 tadi.
BACA TULISAN SEBELUMNYA:
Senyawa Alas Lali Jiwo: Taklimat-Taklimat yang Perlu Dicatat (2)
*
Aku agak lupa di kilometer berapa. Lebih tepatnya benar-benar tidak ingat dan alpa mencatat lokasi persisnya. Yang jelas di sebuah tikungan menanjak ke kiri, kemiringan sekitar 20-30 derajat, kami berhenti. Sepertinya belum separuh perjalanan ke Kokopan. Tentu saja masih di atas batu-batu beragam ukuran. Vegetasi di sekitar kami sedang-sedang saja. Tidak terlalu rapat, tidak terlalu terbuka.
Ada satu potensi masalah. Tidak seperti pemakainya, salah satu sepatu Aiman mulai menunjukkan tanda-tanda kehabisan napas. Bagian midsole, kerangka utama sepatu, mulai terbuka agak lebar. Padahal perjalanan masih sangat jauh.
Indra sudah menurunkan tasnya. Ia mengambil sepasang sandal gunung hitam pekat miliknya. “Kamu pakai punyaku saja,” tawarnya.
“Nanti saja, Mas.” Ia akan mencoba jalan perlahan. Indra pun menyelipkan sandal itu di bagian tas yang mudah diambil dengan cepat. Aiman memang tidak membawa alas kaki cadangan yang sepadan. Hanya sandal jepit, yang mungkin saat itu hanya orang sekaliber Gipong—kerabat Totok—yang sanggup melibas makadam dengan sandal karet bermerek entah “menelan” atau “jalan langit” itu.

Tiba-tiba aku teringat pengalaman melahap jalur Tretes dengan sandal jepit. Waktu itu April 2015. Aku hanya membawa masing-masing sandal gunung dan sandal jepit. Kupakai sandal jepit untuk berjalan dari basecamp hingga Lembah Kidang. Sementara untuk ke puncak kupakai sandal gunung.
Berangkat sih adem ayem, tapi pulang remuk redam. Istilah Jawanya, njarem. Tentu kami berharap Aiman jangan sampai mengalami kondisi terburuk.
Pada sebuah tikungan yang kesekian kali, Totok dan Gipong menunggu kami sembari istirahat. Aku dan teman-teman lainnya ikut istirahat sejenak. Mumpung suasana teduh di bawah naungan pepohonan yang cukup rimbun. Ransel jumbo yang diangkut Gipong tergeletak begitu saja di atas makadam. Eko sempat mencoba mengangkatnya, tapi tak berdaya.
Di tempat istirahat itu, Jun mengajakku dan Indra mengikat bagian sol sepatu Aiman yang semakin menganga. Kami mencoba “menambal” dengan melilit tali prusik pada bagian yang mangap tersebut. Perbaikan sementara seperti ini tidak bisa kukatakan berapa persentase keberhasilannya.
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Belum terlalu jauh dari tempat rehat tadi, sepasang sepatu Aiman akhirnya menyerah. Inilah kesialan pertama Aiman. Dengan tetap berkaus kaki, ia harus membiasakan dan menyamankan diri berjalan dengan sandal gunung pinjaman Indra. Aku sudah bilang padanya, jikalau sandal Indra putus juga, sandalku siap dipakai.
Kami semua mencoba melipur nasib yang diterima Aiman. Meskipun Jun, sang kakak tingkat, tiada letihnya meledek lelaki kelahiran Bawean itu. Bagi Jun, itu adalah menyemangati Aiman dengan cara yang berbeda.

Maka hingga tiba di Pos 2 Kokopan sekitar pukul 12.45, Aiman menenteng sepatunya. Karena sudah tak bisa diharapkan lagi, atas saran Totok, dia harus rela meninggalkan sepatu yang “terluka” itu di Kokopan. Dicantolkan pada dinding kayu sisi utara warung Pak Tris. Kami akan mengambilnya lagi saat turun lusa. Dengan catatan: kalau tidak hilang.
Di pemberhentian ketiga yang sempat tersaput kabut dan gerimis, kami istirahat cukup lama. Memanfaatkan waktu untuk makan siang, beribadah, dan tidur sejenak. Oh ya, juga mengisi ulang persediaan minum di sumber air Kokopan yang mengalir deras sepanjang tahun.
Bekal nasi campur lauk telur yang saya bawa sudah tak berbentuk. Rembesan minyak nyaris menyelimuti kertas pembungkus. Tapi di gunung, tiada kata jijik. Bahkan jikalau harus bercampur tanah, kerikil, air hujan, atau debu, kami akan tetap makan dengan lahap. Toh, dengan begitu perut jadi lebih kenyang meskipun tak keruan rupanya.
*

“Camping di sini wae! Nyampe Lembah Kijang mau jam berapa? Pasti kemalaman!” Lukas menggoda kami. Ia dan rekan sependakiannya, Henny, baru saja turun dari Puncak Welirang dan Puncak Kembar 1. Mereka mendaki sehari lebih dahulu ketimbang kami.
Lukas datang dalam keadaan tertatih bukan karena letih atau luka, tapi sepatunya jebol sehingga harus setengah nyeker meniti makadam. Maksudku, ia mengenakan sepasang sepatu—entah milik siapa—yang ditemukan di tengah jalan.
Aku mengenal Lukas kali pertama saat mendaki Gunung Lawu via Candi Cetho, Karanganyar. Sejak saat itu kutahu bahwa langkah dan fisiknya tak tertandingi. Henny pun. Instruktur fitness di Surabaya itu tidak kalah gilanya. Bayangkan saja, hanya perlu waktu setengah hari dari Kokopan ke Puncak Welirang-Kembar 1 lalu balik lagi ke Kokopan. Sementara durasi waktu yang sama sepertinya akan kami tempuh dari Kokopan ke Lembah Kijang.
Tentu saja kami membalas ujaran Lukas tersebut dengan candaan. Bagaimanapun kami harus terus berjalan. Mau tiba di Lembah Kijang pukul berapa pun. Salah satu konsekuensi yang timbul ketika sampai kemalaman di tempat camp nantinya adalah kami tak akan bisa mengejar sunrise ke Welirang. Ada jadwal yang harus mundur atau disesuaikan.
Satu hal lain yang harus kami syukuri adalah cuaca yang cukup bersahabat. Sekitar pukul tiga sore, hujan seperti tertahan di balik awan mendung. Gerimis tadi hanya numpang sekelebat saja. Sekaligus sebuah tanda bahwa kami harus segera bergerak. Tentu saja tetap berjalan kaki. Kami abaikan raungan jip pengangkut belerang yang baru saja datang dari Pondokan. Kami cegah imajinasi dan pikiran berandai andai, “ah, seandainya tadi ikut naik jip ke atas…”
Kali ini aku dan Aiman mencoba memimpin pendakian. Asupan makan siang dan jeda istirahat yang cukup membantu memberikan energi lebih pada tubuh. Aku bisa berjalan lebih cepat daripada pendakian dari pos perizinan ke Kokopan. Kami berdua berjalan beriringan di depan dan sesekali berhenti. Mengambil napas dan menunggu jarak dengan teman-teman di belakang terpangkas. Satya menyusul cepat diikuti Jun, Lidia, dan Indra.

Seingatku, selang sejam lebih berjalan, jarak kami berenam dengan lima orang di belakang semakin jauh. Bartian, Aliko, dan Eko, ditemani Totok dan Gipong semakin tak terlihat. Mungkin hanya sesekali teriakan kami bersahut. Ada suara tapi tak tampak rupa.
Untuk kesekian kalinya, pada sebuah hamparan batu besar atau tanah yang cukup datar, kami kembali berhenti. Istirahat sejenak mengatur napas yang semakin tersengal. Dari tempat kami duduk, terlihat jelas jalur pendakian yang miring alias menanjak. Elevasinya mungkin di atas 45 derajat.
Ketika bersiap melanjutkan perjalanan, tiba-tiba, plak! Suara telapak tangan Aiman menepuk batu yang ia duduki, diiringi suara mengaduh menahan sakit. Inilah kesialan kedua Aiman. Rupanya telapak tangan kirinya baru saja menghantam seekor ulat bulu hitam seukuran jempol tangan.
Sontak insiden itu membuat aku dan yang lainnya waspada pada batuan tempat kami istirahat. Memastikan jangan sampai menginjak atau bersentuhan dengan ulat bulu. Serangga berambut halus nan gatal itu memang banyak dijumpai di jalur Tretes. Terutama dari Kokopan ke Pondokan.
“Oke, Aiman. Tetap tenang. Santai saja,” ujarku. Waktu istirahat kami bertambah sembari menunggu Aiman selesai mencabuti satu per satu bulu halus yang tertinggal di telapak tangannya. Alih-alih bersedih atau mengeluarkan obat atau minyak tawon yang tak kami bawa, kami lebih memilih menyemangatinya dan memintanya bersabar.
Aku hanya berharap kesialannya tidak sampai menular ke rekan-rekan yang lain. “Semoga tetap tabah, Man.” Ketabahan itu juga kami butuhkan untuk mendaki sebuah tanjakan terjal yang cukup panjang di depan mata. Petang yang menyergap dan langit meredup seperti merupakan kombinasi suram yang melatari langkah kaki kami.
“Selamat datang di Tanjakan Asu!” seru Jun sambil tersenyum menyeringai. Bagi orang yang sudah pernah atau baru akan melewatinya, sabar dan pasrah adalah senjata nomor satu.
*

Sebenarnya tanjakan ini punya banyak nama. Salah satu yang terkenal adalah sebutan “Tanjakan Asu”. Atau “Tanjakan Setan”. Ia kondang karena para pendaki menyerapahinya.
Aku sendiri berusaha berbesar hati menyebutnya sebagai tanjakan “wow”. Saking mengagumkannya tanjakan ini, sampai-sampai kami tak bisa membalas perlakuannya kepada kami; yang menyebabkan napas ngos-ngosan dan lutut menjerit.
Maka seperti yang Jun lakukan, dihadapi dengan senyuman—dan kadang diiringi memaki-maki. Lagi-lagi pertanyaan “Kenapa aku harus lewat sini lagi?” harus muncul di lobus frontal otak yang sudah mendidih.
Padahal ujung tanjakan yang (maaf) “asu tenan” ini bukanlah sebuah akhir. Baru dua pertiga perjalanan untuk etape Kokopan-Pondokan. Masih ada sepertiga akhir, yang walaupun tak sekejam tanjakan barusan, rasanya akan teramat panjang. Stok “baterai tubuh” yang kami miliki sudah merengek minta diisi daya ulang. Seluruh bagian kaki, mulai dari pantat, lutut hingga betis berontak minta berselonjor.
Kami akhirnya melakukannya setiap beberapa ratus meter berjalan. Seketika menemui sepetak tanah lapang di pinggir jalur pendakian. Saat-saat seperti inilah mental bekerja keras. Di balik dinginnya malam, sorotan lampu senter ke pucuk-pucuk pohon yang gelap seakan enggan memberi harapan: bahwa seharusnya kami tak jauh lagi dengan Pondokan atau Lembah Kijang yang dituju malam itu.
Tinggalkan Balasan