Perkiraanku meleset. Jarak dari Pos 3 Pondokan menuju Lembah Kidang, tempat kami akan berkemah, menjadi dua kali lipat dari semestinya.
Jalan setapak yang tipis dan dirungkup semak-semak setinggi perut mendadak seperti kurang bersahabat. Tanah yang seharusnya enak dipijak, tiba-tiba terasa mengeras dan menyakitkan sendi-sendi lutut seperti makadam abadi sepanjang Pos 1 Perizinan Tretes hingga Pondokan. Belum lagi batu-batu atau akar pohon yang (kuanggap) seenaknya mencuat di atas permukaan jalur. Tak terhitung kaki terantuk cukup keras. Untung saja tidak sampai njlungup.
“Sial!” desisku sambil berjalan gontai. Astagfirullah…
Sosok yang khatam jalur Tretes seperti Totok dan Gipong saja, menggeleng heran. “Perasaanku dari Pondokan ke Lembah Kidang itu dekat dan datar. Kok, semalam rasanya malah banyak nanjak-nya,” katanya mengikik saat keesokan pagi di depan tenda.
Aku juga berpikir seperti itu. Sampai-sampai Satya, srikandi serba bisa dari Sibolga, kesal kepadaku. Walau sebetulnya aku berniat bilang bahwa waktu tempuh 15 menit itu kalau pas hari terang. Bila jalan kaki ketika sudah malam tentu akan lebih lama. Tapi kuurungkan niat memberi penjelasan. Kutakut malah membuatnya kesal.
Padahal jalur Tretes memang sudah menyebalkan dari awal. Kalau saja aku baru pertama kali mendaki lewat situ, ingin kulempar tas ransel ke tanah. Tangan kanan mengusap muka, tangan kiri berkacak pinggang lalu mengumpat, “Duh! Jalur macem opo iki!”
Astagfirullah…
* * *

Rencana semula mendaki dengan jumlah 14 orang berubah seiring waktu berjalan. Pada hari keberangkatan, personel tersisa delapan orang. Wacana program pendakian 4 hari 3 malam pun harus disesuaikan, karena UPT Tahura Raden Soerjo baru mengizinkan maksimal 3 hari 2 malam saja. Maka angan-angan memburu empat puncak (Welirang-Kembar 1-Kembar 2-Arjuno) seperti—meminjam guyonan Srimulat—hil yang mustahal, meski tercantum dalam rancangan perjalanan.
Bisa saja, sih, tapi akan terlalu memforsir diri. Daripada kepayahan malah tidak bisa pulang. Kami bukanlah serombongan Samson Betawi yang perkasa. Ah, bahkan Samson pun mungkin tetap sambat dan kehilangan kekuatan kalau bulu ketiaknya habis tercukur. Dirontokkan keringat atau tercerabut paksa oleh ranting berduri.
Dampak dari aturan tersebut adalah waktu menjadi terbatas, sehingga puncak Welirang dan Arjuno lebih realistis untuk digapai. Namun di sisi lain aku tersadar. Ada faktor utama yang bisa mengacaukan rencana kami, yaitu cuaca.
Setali tiga uang dengan pengalaman Jun maupun Eko, kabut putih tebal dan hujan yang datang mendadak adalah ciri khas gunung ini. Ditambah angin yang bisa saja tiba-tiba berembus sangat kencang. Tak peduli di mana pun kami melangkah. Di jalur pendakian, di tempat berkemah, lebih-lebih di puncak. Keadaan alam dapat berubah dalam sekejap.
Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah kita bisa dapat sunrise di puncak” atau “apakah cuaca akan cerah seperti prakiraan di aplikasi”, lebih baik dijawab singkat: “kita lihat nanti”. Jejak jalan yang sangat basah saat aku dan Eko mendaftarkan diri ke Pos 1 Perizinan Tretes, tidak membuat kami kaget. Doni, petugas jaga malam itu (28/05/2021) menerangkan bahwa sejak siang hingga sore sudah turun hujan.
“Kalau dua hari sebelumnya cerah, Mas,” katanya. Entah apakah pernyataannya tersebut sekadar untuk menenangkan atau malah membuat hati kami waswas.
Usai registrasi, kami bergegas balik ke penginapan milik Totok. Di sebuah kamar luas di lantai dua, tempat kami berkumpul dan berkemas, aku mengabarkan beberapa berita dengan napas termengah-mengah. Pertama, tim kami sudah memperoleh tiket masuk pendakian resmi. Kedua, hujan sempat mengguyur deras jalur pendakian sejak siang hingga sore.
Syukurlah reaksi teman-teman baik dan menerima kenyataan tersebut. Tidak tampak kaget. Sedari awal buat grup koordinasi, aku sudah mewanti-wanti bahwa hujan, kabut, dan angin adalah sifat asli sang gunung yang tak terprediksi.
Urusan kami belum selesai malam itu. Barang bawaan kelompok sangat banyak dan harus dibagi rata. Terutama menu konsumsi yang lumayan mewah untuk disantap di gunung seberat Arjuno-Welirang. Perut harus dimanjakan dengan asupan berlimpah—dan semoga bergizi—agar daya tahan tubuh terjaga. Tak perlu khawatir mulas kekenyangan. Jika waktunya sisa hasil pencernaan harus dikeluarkan, ya dibuang saja.
Catat ini: salah satu kenikmatan di gunung adalah buang hajat di tengah belantara sunyi. Aktivitas mengejan terasa syahdu sambil ditemani kicauan burung atau embusan angin yang menubruk dahan-dahan pepohonan. Maka sebuah sekop kecil sengaja kubawa agar kawan-kawan bisa menggali dan menutup lubang pembuangan dengan leluasa.
Lembah Kidang, target camp kami, telah memenuhi syarat sebagai tempat berkemah ideal. Dekat sumber air yang melimpah, beralaskan rumput dan tanah empuk, serta dinaungi pepohonan teduh sehingga lebih terlindung dari angin. Titik-titik mendirikan tenda sangat luas sehingga tidak akan sepadat Pos 3 Pondokan. Walau kami tahu, untuk menuju kenyamanan tersebut harus diraih dengan perjuangan yang meneteskan keringat, mengeringkan air liur, maupun nyeri otot di sekujur tubuh.
“Waduh, lewat Tanjakan Asu pula nanti!” seru Jun yang membuat kami tertawa. Lebih menertawakan dan mengasihani diri sendiri karena tanjakan keji itu mau tidak mau akan dilalui.

Jelang tengah malam, urusan bagi beban kelar. Tenda kelompok dibawa oleh Aiman dan Jun (masing-masing berkapasitas dua orang), Bartian (kapasitas satu orang), serta aku sendiri (kapasitas empat orang). Peralatan memasak disebar ke tasku, Aiman, Jun, Indra, dan Bartian.
Menu utama kami, rendang 1,5 kilogram bikinan Cecep—sayang ia urung ikut—terbungkus rapi di dalam dandang berukuran sedang yang dibawa Aliko dengan ikhlas. Bartian juga membawa 1 kg rendang buatannya. Sementara lauk-pauk cepat saji, bumbu-bumbu, dan buah terbagi adil di antara Eko, Indra, dan Lidia. Besok pagi, kami harus siap berletih-letih dahulu lapar kemudian. Rela mengangkut perlengkapan dan bahan-bahan makanan tersebut demi makan enak di Lembah Kidang.
Sepintas, mendaki gunung seperti kegiatan kurang kerjaan. Tapi aku harus buru-buru menyanggah. Naik gunung itu justru kegiatan yang banyak kerjaan.
* * *
Alhamdulillah. Sabtu subuh yang cerah. Selagi belanja sayur-mayur dan tambahan lauk bersama Eko di Pasar Prigen, aku meminta teman-teman di penginapan untuk bersiap. Sepanjang perjalanan, kami tak sempat menepi untuk menikmati pemandangan elok pagi itu. Hanya dari balik kaca mobil, Eko merekam Semeru dan Gunung Penanggungan berlatar langit keemasan.
Aku lekas melajukan mobil ke halaman pos perizinan Tretes yang lama. Eko hendak mengambil pesanan nasi bungkus yang sudah dipesan sebelumnya. Warung langganan itu terletak persis di depan kantor yang kini dijadikan sebagai pos jaga milik BBKSDA Provinsi Jawa Timur.
Pesanan kami terlambat 45 menit dari jadwal. Maklum sang ibu pemilik warung ternyata juga menerima banyak pesanan di hari yang sama. Dia hanya dibantu oleh seorang perempuan seusia dengannya, sehingga lumayan kewalahan. Namun bau masakannya seperti jaminan akan memanjakan dan mengenyangkan perut.
Aku dan sebagian teman, termasuk Eko, memesan dua bungkus untuk sarapan dan makan siang. Sisanya memesan sebungkus saja. Kecuali Jun, yang mendadak menjadi alergi nasi tatkala mendaki gunung. Ia memilih sangu roti gandum dan bahan-bahan makanan ringkas yang (sejatinya) tidak biasa dimakan saat di rumah.
Di penginapan Totok, teman-teman sudah siap berangkat. Hasil belanja di Pasar Prigen kuserahkan kepada Indra untuk dibawa. Awalnya dia akan membawa tenda berkapasitas tiga orang milik Bartian. Namun karena stok sudah cukup, tenda tersebut ditinggal di mobil.

Satu per satu tas ransel berbagai ukuran dimasukkan ke bagasi. Dua mobil yang kami kendarai akan dititipkan di tempat parkir belakang Hotel Surya. Sekitar dua kilometer dari penginapan. Pak Bandi, penjaga parkir, mematok tarif Rp30.000 per mobil. Berarti per hari sepuluh ribu rupiah.
Tempat parkir yang dikelola Pak Bandi adalah titik awal langkah kami. Hari pertama pendakian dengan target langsung menuju Lembah Kidang. Rencana perjalanan memang telah tercatat rapi. Molornya jam keberangkatan bukan berarti dengan mudah menggeser pula estimasi waktu yang akan ditempuh. Jika lebih cepat, itu tidak mungkin. Justru kami berpotensi berjalan lebih lama dari yang diperkirakan.
Ah, sudahlah. Pendakian itu seharusnya dinikmati. Semangat kami terlecut melihat Arjuno dan Welirang mengapit kedua Gunung Kembar yang mencakar langit biru nan bersih di kejauhan. Pagi yang ceria, seperti halnya kami yang masih segar melangkah dengan gelak tawa dan senyum.
Senyuman yang kami coba pertahankan sepanjang pendakian. Sebuah upaya terbaik untuk menerima situasi yang serba tak menentu di tengah gunung. Hari itu, kami mencoba bersahabat dengan waktu.
Tinggalkan Balasan