Judul Buku: Semesta Renjana
Penulis: Elisabeth Murni
Penerbit: Laksana (Yogyakarta)
Tahun Terbit: 2020, Cetakan Pertama
Tebal Buku: 192 halaman (14×21 cm)
ISBN: 978-602-407-782-2
Kategori: Parenting
*
Elisabeth Murni harus tahu ini: saya adalah orang yang sangat antusias ketika ia akan menerbitkan buku terbarunya. Tepat di hari yang sama ia menulis peluncuran buku di blog Ransel Hitam (ranselhitam.com), saya langsung menghubunginya dan memesan buku lewat WhatsApp.
Mengapa saya harus antusias? Barangkali ada satu jawaban. Sasha—panggilan akrabnya—adalah orang yang digambarkan persis seperti slogan di blognya: dream, journey, dan discover. Bersama keluarga kecilnya, ia adalah orang yang percaya pada kekuatan mimpi. Kemudian mewujudkannya dengan berjalan dan bertualang, serta menemukan banyak hal baru, yang seringkali tiada disangka-sangka. Bahkan di suatu tempat yang tak jauh dari rumah.
Semesta Renjana adalah salah satu bukti dan puncak kekuatan mimpi itu.
Sepanjang yang saya tahu, mimpi Sasha bikin buku dimulai sejak kuliah. Persisnya saat bergabung ke dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI, di salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Seperti yang ia impikan, keinginan menulis buku dengan nama sendiri tercetak di sampul depan, diterbitkan penerbit mayor lengkap dengan ISBN, terwujud saat buku pertamanya, Stop Stressing, Start Living, berhasil terbit pada 2018.
Kemudian setelah sempat meluncurkan Berani Resign (2019) yang ditulis bersama Aji Sukma, narablog di lagilibur.com yang juga penulis buku Bukan Speaking Biasa, Sasha akhirnya menelurkan Semesta Renjana sebagai karya solo keduanya. Buku ini juga menyisipkan latar belakang sang anak diberi nama Renjana Suluh Arcapada. Nama yang jika dilihat dari kacamata kekinian, memang terkesan sangat indie. Tapi sebetulnya lebih jauh dari itu, karena nama adalah doa.
Meskipun bukan termasuk kategori travel, tapi sejatinya buku ini justru mengajak kita seolah ikut berjalan ke mana sang ibu dan anak pergi. Sesuai subjudul pada sampul, Semesta Renjana adalah perjalanan mengenalkan Bre—panggilan akrab Renjana—pada jagat raya (dunia dan seisinya) untuk pertama kalinya.
*

Sasha membagi isi buku ini menjadi empat bagian utama. Setiap bagian memiliki sejumlah cerita dan daya tariknya masing-masing.
Bagian pertama, Renjana dan Gunung, terdapat lima judul yang menceritakan perkenalan Bre dengan gunung. Termasuk mengajaknya mendaki gunung-gunung pendek. Di ketinggian gunung, Sasha mengukir janji. “Kala itu, tatkala Ibu menikmati sinar pertama yang menghunjam bumi di Pasar Bubrah Merapi, Ibu berjanji kepada diri sendiri. Kelak, jika Ibu memiliki buah hati, Ibu akan mengajaknya mendaki dan menikmati pagi di tempat tinggi.” (hlm. 21)
Pengalaman lawas sang Ibu ditambah sang pacar yang akhirnya jadi suami, Chandra Cahyanto, pernah bergabung dalam organisasi pencinta alam di kampus, membuat bab pertama tersebut seperti mendapatkan tempat spesial dan ditaruh di tempat terdepan. Cerita-cerita di dalamnya adalah penebusan janji Sasha kepada Renjana untuk membawanya menghirup udara segar dari tempat yang lebih tinggi.
Dari gunung yang dingin, di bagian selanjutnya, Renjana dan Laut, Sasha mengajak Renjana berjalan dan sejajar dengan permukaan laut. Menikmati deburan ombak yang ganas hingga berlari-lari kecil di atas pasir.
Salah satu cerita yang membuat saya tergelak adalah Matahari yang Gagal Terbenam di Laut, penutup bab ini. Kita melihat perjuangan Sasha memberi penjelasan kepada Renjana tentang letak matahari terbenam. Matahari tidak selalu terlihat tenggelam di balik puncak gunung, tapi pasti akan menyentuh cakrawala di ufuk barat. Sang surya bisa juga tampak menghilang dari atap rumah, pantai, pepohonan, atau di balik awan. Setelah si bocah akhirnya memahami dan menerima pernyataan bahwa matahari terbenam di barat, ia tetap berkukuh bahwa matahari pagi akan terbit di gunung. (hlm. 78)
Selain mengenalkan gunung dan laut, Sasha juga berbagi kisah acak di bagian ketiga, Petualangan Renjana. Mulai dari naik bus pertama kali, blusukan ke pasar, melihat satwa di kebun binatang, hingga belajar olahraga panjat dinding.
Jiwa sesungguhnya yang mewakili Semesta Renjana di bab tersebut, menurut saya adalah cerita “Pembaptisan” di Kalikuning. Sasha membiarkan Bre bermain air di Kalikuning sepuasnya. Dinginnya air sungai yang terasa menusuk tulang, nyatanya gagal mencegah si bocah yang tak henti mengoceh, berteriak, dan tertawa. Sang Ibu ingin membuat Renjana merasakan energi semesta seutuhnya. Ia seakan hendak mengajarkan agar menghormati keberadaan mata air dan sungai, yang telah memberikan kehidupan di sepanjang alirannya. (hlm. 119)
Cerita Ibu Renjana menjadi bagian penutup buku ini. Ini merupakan bab yang membuat saya membaca agak lama, karena juga ikut membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika kelak saya memiliki anak. Saya jadi kembali mengingat masa-masa kecil dahulu. Pengalaman pertama masuk sekolah, ditinggal orangtua pergi sehingga dititipkan ke kerabat terdekat untuk sementara, dan pengalaman-pengalaman lain yang penuh dengan didikan langsung dari bapak dan ibu saya.
Saya tercenung kala membaca Ibu Sasha, Jangan Paksakan Egomu!, cerita kedua di bab tersebut. Apa yang Renjana alami saat itu, sama halnya seperti yang saya rasakan semasa kecil bahkan hingga beranjak remaja. Betapa orangtua saya begitu banyak meminta saya agar menempuh langkah sesuai keinginan mereka, yang tatkala saya gagal, kadang mereka kecewa atau sedikit marah. Saya pun merasa sedih karena tidak berhasil memenuhi harapan mereka.
Tapi pada suatu titik tertentu—bahkan batasnya teramat tipis—keinginan yang mungkin sebenarnya baik untuk anak, bisa jadi hanya sebuah bungkus yang menyelimuti ego orangtua. Menurut Sasha, sebagai orangtua kadang tanpa sadar telah menuntut dan menaruh harapan terlalu tinggi kepada sang anak. Seolah ada impian-impian masa lampau yang belum sempat tergapai, kemudian melimpahkan atau “mewariskan” beban tersebut kepada anaknya. (hlm. 151-153).
Sekecil apa pun Renjana, baik tubuh maupun usia, ia tetaplah manusia yang perlu diperhatikan isi hati dan keinginannya. Pada akhirnya orangtua sebatas mengarahkan, menunjukkan rambu-rambu yang perlu dipedomani, serta memberikan doa dan restu. Sang anak sendirilah yang kelak akan menemukan jalannya dan bahagia dengan pilihan hidupnya.
*

Secara umum, buku ini menggunakan bahasa yang sangat ringan dan nyaman untuk dibaca. Serasa mendengar Sasha mendongeng. Alih-alih menggunakan “aku” atau “saya”, ia memilih “Ibu” sebagai pronomina persona. Seakan kita, sebagai pembaca, adalah anaknya sendiri. Meskipun ada beberapa kata yang salah ketik, atau repetisi kata dalam satu paragraf yang bisa saja dicarikan padanannya, tapi saya rasa tidak mengurangi kenikmatan membaca renyahnya petualangan seru antara ibu dan anak.
Satu hal lain yang layak diapresiasi adalah penggunaan bahasa seperti surat cinta kepada sang anak untuk mengisi prolog dan epilog dalam buku ini. Ibarat menyimpannya dalam sebuah kotak rahasia, yang hanya boleh dibuka ketika Renjana besar nanti. Sangat menyentuh hati.
Sekalipun dikategorikan sebagai buku parenting, Semesta Renjana bukanlah pedoman hidup mutlak bagi Anda yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Tapi Sasha cukup terbuka menuliskan sebagian pengalaman pribadi dan keluarga kecilnya, agar kita bisa memetik pelajaran dari perjalanan dan petualangan mereka. Kita patut menghargai keberanian Sasha menerbitkan buku ini dan akhirnya tidak hanya menjadi konsumsi pribadi, namun juga dibaca banyak orang.
Beruntunglah seorang Chandra memiliki istri dan anak yang ajaib. Sasha benar-benar ingin menciptakan semesta sendiri untuk Renjana, dan tentu juga bagi keluarga kecil pencinta alam ini. Mungkin saya dan istri akan mengalaminya kelak. Pun Anda, dengan semesta kehidupan masing-masing.
Sidoarjo, 25 Maret 2021
Tinggalkan Balasan