Ditahbiskan sebagai yang terbaik di bidang teknologi dalam ajang Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2020 seperti menjadi puncak pencapaian I Gede Merta Yoga Pratama. Namun ketika dijumpai di kantornya, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kabupaten Badung (24/12/2020), mimik wajah dan nada bicara pria kelahiran Gobleg, Buleleng, 23 September 1996 itu memberi kesan tentang rasa tak ingin berpuas diri.
“Kami harus terus berimprovisasi. Itu tantangan kami,” tegasnya.
Dari balik masker, mata Yoga–sapaan akrabnya–nyalang memandang saya. Ia kembali membuka labirin memori. Mundur lima tahun ke belakang. Menguak lika-liku perjuangan demi niat mulia: membuat nelayan tradisional lebih sejahtera.
Berangkat dari Keresahan
“Saya melihat ketimpangan di sana,” kata putra pertama dari pasangan Made Tunjung dan Luh Suryantini itu. Jemarinya menelunjuk ke arah selatan dari tempat kami duduk. Arah yang ia tunjuk adalah pesisir Badung yang terdapat belasan permukiman nelayan.
Pada satu semester di tahun 2016, dalam sebuah tugas mata kuliah yang membahas perekonomian masyarakat pesisir, Yoga dan teman-temannya melakukan riset. Mereka memetakan kondisi warga beserta potensi kelautan dan perikanan sepanjang garis pantai di Kabupaten Badung. Teknologi pemetaan atau modelling merupakan konsentrasi yang dipilih saat itu.
Dalam sebuah kesempatan menyisir pesisir sekaligus survei sampah, Yoga dan tim menyaksikan langsung sebuah pemandangan yang kontras. Di balik gemerlap hotel hingga restoran kelas atas yang semakin menjamur, terlihat kondisi kampung nelayan yang membuat trenyuh.
“Nelayan di sana banyak yang kurang mampu,” ucapnya getir.
Di sejumlah titik pesisir Kabupaten Badung, umumnya merupakan kelompok nelayan tradisional. Mencakup nelayan ikan jaring dan pancing. Dalam satu jukung berkapasitas 15 PK, hanya ada satu-dua orang yang bekerja. Mereka menggunakan metode one day fishing dengan jangkauan rute yang tidak bisa terlalu jauh.
Berbeda dengan kelompok nelayan di Tanjung Benoa, salah satu sentra tuna di Bali. Kapal di sana lebih besar–rata-rata berisi 20 orang–dan mampu melaut selama berbulan-bulan. Nelayan tradisional di pesisir Badung seperti Kelan, Kedonganan, maupun Jimbaran (ketiganya di sisi selatan Bandara I Gusti Ngurah Rai) belum mampu seperti itu. Kalah jauh.
Saya mencoba untuk pergi ke salah satu kawasan kampung nelayan di selatan bandara. Sesuai arahan Yoga, saya menemui Nyoman Sudiarta (foto kanan) di Pantai Kelan, Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta. Pria berusia 55 tahun tersebut merupakan ketua kelompok nelayan Baruna Samanjaya dengan 15 anggota aktif.
Sekali saja Nyoman sempat berkata bahwa cukup sering dalam sehari tidak memperoleh ikan sama sekali, saat itu pula saya turut merasakan kegetiran. Tak kuat rasanya membayangkan, betapa banyak energi dan sumber daya yang terbuang namun tidak memperoleh hasil sepadan.
“Karena ikan itu selalu bergerak ikut arus laut, sementara kita belum tentu tahu di mana lokasi ikan yang tepat. Kami hanya bisa mengira-ngira saja saat melaut,” tutur Nyoman.
Dapat ikan 50-100 kilogram pun masih terhitung rugi. Padahal sudah melaut lebih dari delapan jam. Tak akan cukup hasilnya untuk membalikkan modal bahan bakar, upah kuli panggul kapal maupun tukang ambil ikan.

“Banyak nelayan yang kapal dan jaringnya itu sewaan. Kalau hasilnya tak seberapa, ia harus berutang ke tengkulak untuk menutup utang sewa ke pemilik kapal dan jaring,” tambah Nyoman.
Berutang untuk menutup utang lainnya adalah kondisi yang lazim terjadi di sana. Keadaan demikian tentu membuat keinginan untuk sejahtera bagaikan pungguk merindukan bulan.

“Badung itu kaya karena sumbangsih pariwisata, tapi para nelayan di sini masih belum sejahtera,” cetus Yoga.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Badung dalam Statistik Daerah Kabupaten Badung Tahun 2020, dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) 4,83 triliun pada tahun 2019, hampir 87 persen disumbangkan oleh pajak daerah berupa pajak hotel dan restoran. Pariwisata menjadi denyut nadi terbesar kabupaten terkaya di Provinsi Bali ini.
Keresahan Yoga kian meruak dan memenuhi pikirannya. Seiring waktu berjalan, ia masih mencari jalan terbaik untuk membantu nelayan tradisional mentas dari jerat kemiskinan.
Jalan itu mulai terbuka tatkala Yoga magang di Balai Riset dan Observasi Laut, Jembrana, pada Januari 2017. Selama sebulan penuh, ia mengasah keilmuan tentang teknologi pemetaan di lembaga yang bernaung langsung di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tersebut.
Bersama teman-temannya, ia mendapat proyek pemetaan biota atau sumber daya laut menggunakan teknologi remote sensing (pengindraan jauh). Objek yang dipetakan antara lain mangrove, lamun, dan terumbu karang. Hasil pemetaan dimuat dan dianalisis dalam sebuah laporan akhir proyek.
Tak ingin laporan tersebut berhenti dan teronggok di lemari arsip begitu saja, Yoga berinisiatif untuk mengembangkan lebih jauh. Ia mengajak dua temannya, Anak Agung Gede Aditya Putra dan I Nyoman Januarta Triska Putra untuk menggunakan teknologi dan metode serupa dalam memetakan posisi ikan agar lebih mudah dijangkau para nelayan tradisional. Ide tersebut kemudian dituangkan ke dalam sebuah karya tulis ilmiah.
“Keresahan di kampung-kampung nelayan di pesisir Badung jadi latar belakang proyek kami,” ujar Yoga.
Pada tahun yang sama, demam Pokémon GO turut bergaung di Bali. Permainan realitas berimbuh (augmented reality) tersebut digandrungi anak-anak muda yang memiliki gawai. Di aplikasi tersebut, pemain bisa menangkap, melatih, menukar, dan mempertarungkan setiap karakter Pokémon yang ada. Karakter yang populer antara lain Pikachu, Bulbasaur, Mewtwo, Charmander, Squirtle, dan masih banyak lagi.
Yoga dan dua temannya termasuk yang ikut bermain. Salah satu lokasi favorit adalah Beachwalk. Di sekitar pusat perbelanjaan yang berada di kawasan Pantai Kuta itu tersebar hewan-hewan virtual untuk ditangkap.
Saat asyik berburu, tiba-tiba Yoga tersentak. Seolah labirin yang selama ini terkunci di dalam otak mendadak terbuka.
“Kalau game ini dipakai nelayan-nelayan buat tangkap ikan, keren, nih!” celetuknya kala itu.
Dua temannya sempat merespon dengan tawa. Mereka anggap Yoga hanya bercanda. Namun, rupanya itu candaan yang serius.
Hari itu karya tulis yang disusun Yoga dan tim mendapat namanya: FishGO.

Innovation Festival 2017: Titik Balik FishGO
Yoga dan kedua temannya sedang berada di Jepang, saat karya tulisnya diumumkan sebagai juara pertama lomba Innovation Festival (Innofest) 2017 yang diselenggarakan Balitbang Kabupaten Badung. Mereka tengah mengikuti program pertukaran pelajar untuk belajar biologi kelautan di Kwansei Gakuin University, Nishinomiya selama sembilan hari. Penerimaan hadiah berupa pendanaan sebesar 10 juta akhirnya diwakili oleh dosen pembimbingnya dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana.
“Padahal saat itu bentuk produk, prototipe, dan mockup baru sebatas tertuang dalam karya tulis. Belum ada wujud fisiknya,” kenang Yoga.
Sepulang dari Jepang, Yoga bersama dua temannya bertekad mewujudkan hasil karya tulisnya menjadi lebih nyata. Bermodal hadiah uang dari lomba, ia membangun sebuah situs web. Salah satu konten utama yang dimuat adalah peta berbasis penginderaan jauh mengenai potensi perikanan di pesisir Kabupaten Badung.
Semangat yang menggebu-gebu khas anak muda membuat Yoga dan tim langsung memamerkan situs web tersebut ke nelayan. Menjelaskan teori dan cara bekerja dari peta yang telah dibuat. Namun rupanya tak semudah yang dibayangkan.
Nyoman Sudiarta dan rekan sesama nelayan lainnya, ketika disodori situs web FishGO, cenderung skeptis. Mereka lebih memilih untuk meluangkan waktunya dengan istirahat atau menyibukkan diri dengan hal lain. Terlalu merepotkan apabila harus membuka situs web di gawai. Bahkan memantau cuaca terkini pun harus membuka aplikasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Terlalu banyak yang harus dibuka, nelayan jadi malas. Kasih saja info kepada kami, di mana lokasi ikannya?” tanggapan Nyoman waktu itu.
Niat baik Yoga dan teman-teman bertepuk sebelah tangan. Dia sempat kecewa, namun akhirnya memaklumi. Membuka beberapa aplikasi atau program secara bersamaan memang tidak efisien.
“Saya malah sempat disindir, memangnya kamu pernah melaut dan tahu posisi ikan begitu saja?” Yoga tergelak.

Tim FishGO tak putus harapan. Gayung akhirnya bersambut kala Maret 2018. Kepala Balitbang Badung, I Wayan Suambara, memanggil Yoga dan kawan-kawan ke kantor. Saat itu pula dipastikan bahwa FishGO sebagai teknologi tepat guna mendapatkan dana riset untuk uji coba implementasi program selama tiga bulan.
Langkah ini merupakan tindak lanjut Innofest 2017 dan dukungan nyata pemerintah daerah. Sebuah apresiasi besar terhadap inovasi dari mahasiswa, karena ada potensi untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan nelayan tradisional di Badung.
Menurut Ni Made Aquarini, Kepala Subbidang Inovasi dan Teknologi, Bidang Inovasi dan Teknologi, Balitbang Kabupaten Badung, pengembangan aplikasi FishGO sudah menjadi nomenklatur program tersendiri dan penganggarannya bersumber dari Dana Insentif Daerah (DID).
Belanja anggaran yang telah dikucurkan salah satunya untuk merekrut seorang tenaga ahli. Ia didapuk sebagai Chief Technology Officer (CTO), yang bertanggung jawab terhadap pembuatan situs web dan pengembangan aplikasi. Meskipun berbasis di Jakarta, sistem kerja masih bisa berjalan secara remote (jarak jauh).
Raihan prestasi di Innofest 2017 rupanya benar-benar menjadi titik balik FishGO. Setelah didukung pemerintah daerah, FishGO kemudian dibawa lagi ke lomba demi lomba.
Pada Juli 2018, FishGO menjadi pemenang utama dalam lomba proposal bisnis The NextDev 2018 yang diselenggarakan Telkomsel di tingkat Provinsi Bali. Hadiah sebesar 10 juta kembali diterima dan digunakan sebagai modal pendanaan proyek aplikasi tersebut.
Keran prestasi tak kunjung berhenti. Saat FishGO dibawa ke The NextDev pada tahun yang sama di tingkat nasional, perjuangan Yoga dan kawan-kawan lagi-lagi berbuah manis. Mereka berhasil membawa pulang salah satu dari tiga titel Best of the Best NextDev Talent Scouting 2018. FishGO dinilai memiliki kemampuan untuk memberikan dampak sosial terbesar dan mampu memberikan solusi bagi masalah-masalah yang ada di tengah masyarakat maupun lingkungannya.
Selain uang 100 juta, tim FishGO mendapatkan tambahan berharga lainnya berupa mentoring, pengetahuan, pemasaran, hingga publikasi media.
“Setelah menang di nasional, kami bisa langsung tancap gas lebih kencang,” tegas Yoga.
Ia bersama kedua temannya langsung mengurus legalitas dan membentuk perusahaan. Saat itu pula bentuk fisik prototipe dan mockup dapat diwujudkan. Berbagai uji coba juga dilakukan.
Di tengah upaya untuk terus mengembangkan dan memperbaiki kinerja aplikasi, apresiasi-apresiasi tertinggi masih terus mengguyur Yoga dan teman-temannya. Pada 2019, aplikasi FishGO di bawah naungan Balitbang, Pemerintah Kabupaten Badung memperoleh penghargaan Top 45 Inovasi Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan-RB RI).
Barangkali salah satu puncaknya adalah raihan sebagai yang terbaik di SATU Indonesia Awards 2020. Sebuah ajang yang mengapresiasi perjuangan generasi muda dan tak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat di seluruh penjuru tanah air. Dialah orang pertama dari Bali yang akhirnya memenangkan even tahunan itu setelah 10 tahun. Lewat FishGO yang menjadi pemenang di kategori teknologi, Yoga dinilai mampu menerjemahkan semangat sumpah pemuda dan spirit #KitaSATUIndonesia untuk memajukan Indonesia.

FishGO berhasil melewati “ujian terbuka” dari para dewan juri yang kredibel, yaitu Prof. Nila Moeloek (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Prof. Emil Salim (Dosen Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Indonesia), Prof. Fasli Jalal (Rektor Universitas YARSI dan Guru Besar Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta), Ir. Tri Mumpuni (Pendiri Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan-IBEKA), Onno W. Purbo, Ph.D (Pakar Teknologi Informasi).
Kemudian ada Toriq Hadad (Direktur Utama Tempo), Riza Deliansyah (Chief of Corporate Affairs Astra), Boy Kelana Soebroto (Head of Corporate Communications Astra), Dian Sastrowardoyo (Pegiat Seni), dan Billy Boen (Pendiri Young On Top).
Capaian-capaian tersebut seolah menghapus lelah dan jerih payah Yoga beserta tim sejak 2016 lalu. Saya mencoba bercanda padanya, “Bli Yoga barangkali tidak akan seperti ini kalau tidak kuliah di ilmu kelautan.”
Ia tergelak lalu menyahut, “Kuliah di ilmu kelautan sebenarnya tak pernah terbayang dalam benak saya.”
Tak heran ia kerap merenung dan bahkan merasa sulit memercayai pencapaiannya sejauh ini. Bagaimana mungkin seorang yang gampang mabuk laut sepertinya, berani menantang gelombang demi mengikis gejolak hati yang menguar lama di benaknya?

Melahirkan Nelayan Berdasi
Pada pertengahan tahun 2019, tiga kelompok nelayan menjadi sasaran uji coba aplikasi FishGo secara penuh. Kelompok nelayan ikan jaring Baruna Samanjaya di Pantai Kelan (sisi selatan bandara), kemudian Tanjungsari dan Putra Bali (sisi selatan bandara) yang merupakan kelompok nelayan ikan pancing. Walaupun lazim terdapat kendala teknis, tapi dampak dari aplikasi tersebut perlahan membuahkan hasil.
Nyoman Sudiarta, ketua kelompok Baruna Samanjaya, mengakui bahwa mulanya ia sempat ragu terhadap aplikasi FishGO. Sistem pengindraan jauh dan basis navigasi dengan citra satelit yang dibenamkan tidak serta-merta membuatnya yakin.
“Pikiran saya waktu itu, bisa jadi kalau objek yang tertangkap radar adalah sampah. Siapa yang tahu pasti itu adalah ikan?”
Ada dua titik uji coba kala itu di Pantai Kelan. Lokasi yang biasa menjadi habitat ikan tongkol dan lemuru (biasa untuk sarden).
Meskipun sempat terjadi kendala teknis, misalnya lokasi agak meleset dari perkiraan aplikasi–karena ikan terus bergerak tergantung arus laut–namun hasilnya cukup menggembirakan. Dalam waktu yang relatif singkat–umunya tiga sampai empat jam–Nyoman berhasil menjaring 400 kilogram campuran tongkol dan lemuru. Hampir setengah ton.
“Ternyata di lokasi saya tebar jaring, ikannya bergerombol di situ,” kenangnya semringah sampai kelihatan semua giginya.
Beberapa hari lalu, Nyoman berhasil memperoleh dua ton ikan. Sebagian besar juga berupa tongkol dan lemuru. Di saat musim panen ikan–biasanya April-November–harga rata-rata per kilogram adalah Rp 15.000 (tongkol) dan Rp 10.000 (lemuru). Tinggal dikalikan saja dengan jumlah tangkapan, maka dapat diperkirakan berapa pendapatan yang diterima Nyoman dalam sehari melaut. Tangkapan segitu didapat dengan melaut sejauh 13-15 kilometer dalam durasi paling cepat 3-4 jam saja menebar jaring.
“Ini testimoni jujur. Sejak pakai aplikasi, setidaknya saya dapat paling sedikit 400 kilogram,” kata Nyoman tertawa. Nelayan-nelayan anggota di kelompoknya juga meraih jumlah hasil tangkapan yang tidak jauh berbeda.
Bagi nelayan tradisional di pesisir Badung, khususnya Pantai Kelan, spesies ikan yang paling dinanti-nanti adalah cumi dan layur. Dapat layur atau cumi 200 kilogram saja, dengan harga Rp 50.000 per kilogram di tingkat pengepul, sudah lebih dari cukup untuk balik modal harian. Biaya pengeluaran harian yang harus dicukupi nelayan setempat antara lain kuli panggul jukung sebesar Rp 50.000 per kelompok (naik-turun) dan kelompok tukang angkat ikan sebesar Rp 60.000 per kuintal. Seorang nelayan tak akan sanggup mengurus hulu-hilirnya sendirian.
Seperti dikatakan Yoga, ada tiga alat ukur aplikasi FishGO: jumlah tangkapan, waktu penangkapan, dan rute penangkapan. Di dalam FishGO, durasi waktu prediksi kemunculan ikan dipasang pada periode pukul 6 sore hingga 6 pagi. Jenis spesies ikan yang telah direkam selain tongkol dan lemuru, antara lain kenyar dan layur.

Algoritma pengindraan jauh yang ditanam di aplikasi sudah diatur sedemikian rupa dan mengutamakan keselamatan nelayan. Fitur penting lain yang baru dikembangkan adalah prakiraan cuaca, info pasang surut dan tinggi gelombang, kecepatan angin, pemantauan pengguna aplikasi, hingga tombol “SOS” (lihat infografik di samping yang diolah penulis). Fitur terakhir akan menghubungkan nelayan langsung dengan Badan Penyelamat Wisata Tirta (Balawista) dan Basarnas Bali.
“Kami pikir tiga tolok ukur tersebut sementara cukup dan bisa dihitung. Kami tak mungkin mengukur seberapa besar indeks kebahagiaan nelayan. Target kami sederhana, setidaknya sekali melaut nelayan dapat ikan. Itu saja dulu,” terang Yoga.
Nyoman juga mengakui efisiensi biaya yang ia keluarkan. Sekali melaut, setidaknya ia harus menyiapkan anggaran sebesar 150.000 rupiah untuk bahan bakar dan oli. Di luar biaya upah awak kapal, kelompok kuli panggul, dan tukang angkat ikan. Bagi nelayan yang kapal dan jaringnya sewa, tentu harus berupaya mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak. Di sinilah, kata Nyoman, aplikasi FishGO berperan sangat penting.
Sejalan dengan cita-cita Yoga dan tim terhadap aplikasi FishGO. Slogan “Nelayan Berdasi” ia harapkan tak sekadar kata-kata atau teori semata.
“Yang boleh berdasi bukan hanya orang kantoran. Nelayan pun bisa. Nelayan berdasi berarti mampu memanfaatkan teknologi, memanfaatkan peluang, dan bangkit ekonominya,” jelasnya.
Dengan demikian, nelayan tradisional sudah semestinya turut menjadi roh pembangunan di tengah ingar-bingar pariwisata Kabupaten Badung. Kehidupan khas pesisir harus menjadi bagian aset penting ekonomi kerakyatan yang tidak boleh diabaikan, sehingga nelayan menjadi lebih mandiri dan taraf hidupnya berkelanjutan.
Tantangan dan Harapan
Sampai dengan hari ini, jumlah nelayan atau pengguna aktif aplikasi sebanyak 191 orang dari total 701 akun yang sudah terverifikasi. Seluruhnya merupakan nelayan tradisional, dengan salah satu kategori spesifik antara lain menggunakan jukung berkapasitas 15 PK.
“Kalau nelayan-nelayan besar tidak akan kami verifikasi di FishGO. Mereka tidak perlu dibantu,” tegas Yoga.
Ketegasan tersebut sebagai bentuk untuk mencegah penangkapan ikan yang berlebihan di satu kawasan (over fishing). Pembatasan jangkauan rute sejauh maksimal 20 mil dari tepi pantai juga akan menghindarkan “bentrok” antara nelayan kecil dan besar.
Yoga mengakui, tantangan yang dihadapi ke depan akan semakin terjal. Mulai yang berskala kecil atau besar. Sementara mengenai basis sistem operasi, FishGO masih tetap menggunakan Android karena belum ada nelayan tradisional pengguna iPhone OS (iOS).
“Pekerjaan rumah saya antara lain membuat seluruh nelayan agar aktif dan mau melaporkan hasil tangkapannya secara real time di aplikasi,” ujarnya.
Laporan tersebut akan menjadi timbal balik dan bahan evaluasi baginya untuk mengembangkan aplikasi FishGO menjadi lebih baik lagi. Selama ini, kebanyakan nelayan hanya lapor secara personal melalui WhatsApp seperti foto terakhir di slide berikut ini.
“Makanya kami buat sistem poin buat yang aktif lapor. Di akhir bulan, nelayan dengan poin terbanyak akan dapat imbalan jaring atau pulsa, misalnya.”
Di tengah harapan membuncah dari nelayan, Yoga beserta tim pengembang aplikasi FishGO harus terus berinovasi agar capaian yang telah diraih berkelanjutan di semua sektor. Dari segi aplikasi, sebagai sebuah perusahaan startup tentu tetap harus mencari keuntungan dari usahanya. Di sinilah Yoga dan tim dituntut kreatif.
“Sangat tidak mungkin kami mengambil keuntungan dari nelayan. Oleh karena itu, kami punya jalan lain ke arah sana,” terang Yoga.

Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, FishGO mulai memberdayakan kelompok ibu-ibu, khususnya para istri nelayan. Limbah ikan hasil tangkapan, terutama kulit tongkol, diolah menjadi keripik dalam kemasan 70 gram dan dijual dengan harga Rp 15.000.
Ide membuat keripik tersebut muncul karena banyaknya ikan hasil tangkapan nelayan yang tidak terbeli. Cukup banyak hotel yang sebelumnya menjadi pembeli tetap harus tutup karena pandemi.
Inovasi lain yang dilakukan adalah rencana penambahan perangkat baru berupa internet of things (IOT). Beserta tambahan fitur baru lainnya, perangkat tersebut diluncurkan dan diperkenalkan secara resmi dalam Diseminasi Inovasi Teknologi Penangkapan Ikan Berbasis Android (FishGO) dalam Mendukung Pemenuhan Kebutuhan Pariwisata, yang diselenggarakan Balitbang Kabupaten Badung pada 17-19 Desember 2020, di Kartika Plaza Hotel, Kuta. Sebanyak 18 kelompok nelayan aktif se-Kabupaten Bandung diundang dan hadir pada acara yang dikemas dalam bentuk pelatihan bimbingan teknis (bimtek) tersebut.

Konsep dari IOT adalah membuat sejenis fish finder atau pendeteksi biomassa di bawah air dengan sistem sonar tanpa kabel dan murni berbasis internet. Jangkauan kedalaman hingga 40 meter dengan radius 400 meter. Satu alat ini dapat digunakan bersama-sama oleh lima jukung, salah satunya sebagai sentral data. Hasil tangkapan sonar akan muncul secara real time di aplikasi masing-masing nelayan di setiap jukung.
Sistem IOT tersebut menjadi tambahan metode aplikasi FishGO, setelah sebelumnya menerapkan teknik modelling atau prediksi. Perangkat ini masih dalam pengembangan dan akan menjadi model bisnis FishGO di masa mendatang.
Inovasi berkelanjutan lainnya yang akan dikerjakan dalam jangka waktu lima tahun ke depan, Yoga berencana membuat e-commerce di aplikasi FishGO. Bersama timnya, ia akan memberikan wadah khusus yang menjual ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan dan produk-produk olahannya. Jargon semacam “ikan segar langsung turun dari kapal” atau “ikan segar langsung ke dapur Anda” sudah terekam di benak Yoga.
“Toko daring ini akan terintegrasi dengan laporan tangkapan ikan dari nelayan di aplikasi. Kami memfasilitasi kemasan dan penyimpanannya, lalu dikirim ke pelanggan,” jelas Yoga.
Dari sisi nelayan, harapan Nyoman mewakili kelompok Baruna Samanjaya sejatinya tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin aplikasi yang sudah digunakan tetap konsisten menjadi pemandunya saat melaut. Para nelayan tradisional hanya berharap agar ikan selalu ada di laut.
Kalau saja boleh berangan, Nyoman mengharapkan beberapa hal. Pertama, regenerasi nelayan. Yoga juga mengamini persoalan ini. Dari 30 anggota kelompok Nyoman, hanya separuh yang aktif sebagai pengguna aplikasi sementara sisanya sudah lanjut usia dan jarang melaut.
“Banyak anak-anak nelayan yang tidak mau ikut melaut. Umumnya sambilan saja, karena lebih memilih bekerja di pariwisata. Jadi pemandu surfing, mengantar turis menyelam atau lihat matahari terbenam,” tutur Nyoman.
Di masa pandemi seperti saat ini, sejumlah sektor pariwisata yang dijalani para anak nelayan pun mati suri. Di antara mereka ada yang menganggur, sebagian ikut kembali melaut. Tidak menutup kemungkinan saat pariwisata sudah pulih, menjadi nelayan bukan pilihan utama lagi. Meskipun demikian, hadirnya sekelompok anak muda pada acara Bimtek beberapa hari lalu memercikkan nyala harapan.

Asa Nyoman berikutnya kepada FishGO adalah adanya penambahan titik-titik lokasi ikan dan penguatan jangkauan sinyal. Tentang bantuan modal jukung, jaring, hingga bahan bakar, menurutnya masih bisa dicari.
“Kan percuma saja kita tebar jaring, boros bensin untuk keliling, tapi ikannya tidak ada,” tegasnya. Baginya, teknologi terkini yang membantu dan memudahkan-lah yang diharapkan.
Tantangan memang akan selalu menerjang layaknya ombak bergulung di Selat Bali. Ia dihadapi bersama-sama oleh Yoga dan tim pengembang FishGO, serta para nelayan tradisional.
Dari sudut pandang Yoga, kunci inovasi yang berkelanjutan agar mampu melibas segala tantangan antara lain: (1) sebagai inovator harus berkomitmen pada produknya; (2) komitmen pemerintah daerah dalam memberikan dukungan terhadap inovasi baru dari anak-anak muda untuk menyejahterakan daerahnya; dan (3) masyarakat harus terlibat dalam implementasi teknologi tepat guna.
* * *
Kalau bukan karena titah sang kakek, Prof. Ir. Nengah Suparta, M.Si., pengajar pascasarjana di Universitas Pendidikan Ganesha, Buleleng, Yoga bisa jadi tidak akan meraih capaian sejauh ini. Tumbuh dan berkembang di keluarga petani atau pekebun, mengenyam pendidikan tinggi di ilmu kelautan merupakan langkah yang aneh.
Perlahan, dukungan kedua orangtuanya turut menguatkan langkah Yoga. Sempat malu berkuliah pada semester pertama, belakangan Yoga menyadari perkataan sang kakek bahwa prospeknya akan cerah. Sumber daya bahari di negeri ini sangat berlimpah dan harus dijaga.

“Kita ini memang bangsa maritim,” ucapnya.
Maka benar kata orang-orang, Tuhan selalu memiliki rencana yang terbaik untuk hamba-Nya. Sekalipun dirasa berat di awal, lambat laun Yoga akhirnya merasakan bahwa ia telah berada di jalur yang tepat untuk merecik Semangat Majukan Indonesia.
Berbagai jejak yang ditorehkan Yoga bersama 12 anggota tim lainnya yang berkantor di Balitbang Kabupaten Badung saat ini sudah suratan takdir. Tuhan seakan menggariskannya di jalur yang tak semua orang mampu mengembannya. Berenang mengikuti aliran gelombang saja tidak mudah, apalagi melawan arus.
Sore itu di Pantai Kelan, baskara bersinar cerah. Canda tawa para nelayan, pasir putih, dan laut biru menghibur kami. Secerah harapan Nyoman yang membuncah dan dituturkan dengan berapi-api.
“FishGO itu seperti segerombolan ikan layur yang pernah kami tangkap. Dia menjadi berkah bagi kami,” ujar Nyoman menutup obrolan. (*)
Tulisan ini diikutkan dalam lomba Anugerah Pewarta Astra 2020 dengan tema “Semangat Majukan Indonesia”
Tinggalkan Balasan