Apa yang saya lakukan dalam kurun dua hari satu malam di Banyuwangi? Tak banyak, tetapi Tuhan mempertemukan dengan Romy Erzal. Rekan sesama pejalan asli Banyuwangi itu membantu mewujudkan keinginan saya. Dia berkenan dan sanggup menyediakan waktu untuk tujuan yang akan saya sentuh tanahnya dalam kurun waktu tersebut.
Berangkat Menuju Teluk Hijau
Kami berangkat dari kota Jember. Romy memegang kemudi motor matiknya dengan lihai. Membelah kerumunan yang beranjak dari lengang sepanjang Gunung Gumitir, hingga mulai ramai memasuki Kalibaru.
Saya baru menyadari perjalanan yang cukup jauh hingga tiba di rumah dinas orang tua Romy. Rumah yang sederhana beraksen tempo doeloe. Model rumah yang saya suka. Pagi itu, rumah sedang sepi. Sesepi jalan aspal yang membelah PTPN XII Sungailembu, Kecamatan Pesanggaran. Kedua orang tuanya sedang bekerja di kebun.
Kira-kira selang sejam setelah istirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Perjumpaan saya dengan aspal mulus tak lama. Menu jalan makadam harus kami santap sepanjang Sungailembu-Sarongan hingga tiba di gerbang Taman Nasional Meru Betiri. Semakin ke selatan, semakin kerontang.

Saya yang dibonceng cukup menderita dengan beban carrier 75+10 yang dibawa. Rasanya naik motor di makadam itu seperti bergejolak layaknya menaiki perahu di tengah ombak. Rasanya seperti lega ketika motor berhenti di tempat parkir.
Terpukau Teluk Hijau

Menuju Teluk Hijau dilanjutkan dengan berjalan kaki. Saya lupa berapa menit, mungkin tak sampai sejam. Saya sibuk menyeka keringat yang bercucuran deras karena panas menyengat. Trek yang awalnya landai lalu terus menurun bukan pertanda bagus. Pulangnya tentu lebih sengsara. Namun, Pantai Batu menghibur kami sejenak untuk melupakan masalah pulang.

Setelah terpapar matahari, kami kembali memasuki celah di antara pepohonan. Pertunjukan pertama sebentar lagi dimulai. Perkenankan saya menjadi master of ceremony (MC), maka inilah dia Teluk Hijau!
Aduhai…

Banyuwangi ternyata telah lama menyimpan mutiara yang kini semakin terasah. Selama pelancong bertanggung jawab seperti pesan yang diamanatkan pada papan kayu penunjuk lokasi, maka Teluk Hijau akan semakin berkilau.
Pasirnya jelas bersih dan lembut. Warnanya bergantung pada paparan langit. Langit cerah, pasirnya pun cerah. Langit mendung, pasirnya pun murung. Terseraknya batuan berukuran sedang-besar menjadi saksi ganasnya ombak laut selatan.

Ombak Teluk Hijau begitu bergemuruh. Gambaran saya tentang ombak di pantai ini seperti penggalan lirik sinema Kera Sakti yang rancak: Dia berubah, menerpa, menerjang segala apa yang ada, walau halangan rintangan semakin panjang membentang, tak jadi masalah dan tak kan jadi beban pikiran.

Lama kelamaan, matahari semakin beringas menyengat. Mengeringnya sumber air di sisi barat pantai yang biasa mengucur dari tebing, turut mendorong saya untuk segera meninggalkan tempat ini. Berat, tetapi waktu adalah penguasa momentum. Ia membatasi keinginan kami.

Ingatan saya tentang jalur pulang ke tempat parkir kembali terbayang. Siap-siap menahan sendi lutut. Maklum, sudah cukup lama saya absen naik gunung.
Senja Memang Memerah di Pulau Merah

Kami menemukan keteduhan ketika kembali di rumah Sungailembu. Melonjorkan kaki, meregangkan tubuh, dan bersantap makan siang. Mengisi ulang energi sebelum pergi ke destinasi penutup, sebuah pantai bernama Pulau Merah.

Sepanjang perjalanan menuju Pulau Merah, saya berekspektasi cukup tinggi. Namun terkadang saya rem agar tidak berujung kecewa. Selain waktu sebagai penguasa masa, alam juga tiada duanya bisa membuat waktu porak-poranda.

Setibanya di sana, saya sebenarnya sudah menduga. Pantai ini boleh dibilang biasa-biasa saja. Konturnya mirip dengan Teleng Ria di Pacitan. Garis pantai yang memanjang dan ombak yang ganas. Namun, ada satu yang menjadi daya tarik. Sebuah pulau karang yang mencolok perhatian berdiri tegar. Itu dia Pulau Merah.

Kami bersabar menunggu langit senja mulai meredup. Cukup lama menunggu. Untung sekaleng biskuit yang dibawa dari rumah Sungailembu membantu menghilangkan rasa lapar kami. Lalu kami beranjak dari tempat penantian menuju tepi pantai. Langit mulai menguning keemasan.

Ekspektasi saya tentang langit senja yang merah merona belum terwujud. Bahkan ketika kami memutuskan beranjak menuju warung pun langit belum berubah. Tiba-tiba seekor burung terbang sekelebat di atas kami. Saya memotretnya dan melihat layar display kamera. Langit sudah memerah. Memastikan lagi ke arah pantai, benar! Saya segera berlari menyambut senja!

Ah! Saya meloncat girang. Berlari senang. Saya berlari kencang dengan sedikit terseok menuju sisi timur pantai. Demi senja, demi senja.
Saya bergumam, “Nah, ini baru disebut Pulau Merah.”

Bukan pendapat yang mutlak benar, karena asal nama Pulau Merah adalah karena dulunya batu koral dan karang di dasar pulau itu berwarna merah. Jika ditilik secara seksama, saya bisa membayangkan pasir pantai ini juga berwarna agak kemerahan. Selain payung sewaan di pinggir pantai itu juga berwarna merah.

Puas dengan hasil yang didapat, saya segera kembali ke warung. Menemui Romy dan mengajak untuk segera mendirikan tenda. Kami akan menginap di sini semalam. Tentu dengan membayar uang keamanan kepada petugas sebesar 10 ribu rupiah keesokan harinya.
Menitip Rindu Untuk Banyuwangi
Ini hari kedua kami di Banyuwangi. Pagi yang cukup cerah. Sebagian payung masih tertutup. Belum terlihat peselancar yang akan menguji keganasan ombak Pulau Merah.

Entahlah, saya sudah terlanjur lama jatuh cinta dengan bumi Blambangan ini. Di segala penjuru kabupaten besar ini seperti puing surga. Tak akan pernah habis kesempatan bagi kami menjadi tamunya. Dalam rindu, saya memanjatkan harapan untuk Banyuwangi. Slogan “Sunrise of Java” bukan sekadar slogan. Semoga Banyuwangi semakin bersinar terang memulai hari-hari para penghuni Pulau Jawa.(*)
Foto sampul:
Seorang warga melintasi jalan di tengah kampung karyawan perkebunan Sungailembu, Banyuwangi
(Perjalanan ini dilakukan pada Oktober 2014. Ditulis dan dipos ulang karena foto sempat terhapus dari situs hosting sebelumnya)
Tinggalkan Balasan