Pada saatnya, saya termasuk sekelompok orang yang rela menahan kantuk, dingin, dan bersusah payah demi matahari terbit dari puncak gunung. Meninggalkan kehangatan tidur untuk sebuah pengalaman, yang saya harus jujur, tidak akan terlupakan seumur hidup.
Bahkan rela jauh dari kenyamanan rumah. Memasuki zona bahaya yang tak terprediksi.
Sementara situasi terkini yang telah mengglobal, memaksa kita untuk menahan diri dari hasrat bertualang. Menjelajah alam. Mencumbu rimba. Saya ingin berbagi sedikit visual, tentang apa yang saya lihat kala pagi dari puncak-puncak gunung tertinggi.
Ini bukan hanya untuk yang rindu mendaki, tapi juga teman-teman yang ingin merasakan pengalaman pertamanya.
Gunung Rinjani, Jalur Sembalun, Lombok
Kami berempat mendaki ke puncak dari kawasan perkemahan Plawangan Sembalun. Butuh hampir 4,5 jam perjalanan menuju titik tertinggi Gunung Rinjani (3.726 mdpl). Trek penuh batu dan pasir. Cukup terjal.
Kami menikmati pemandangan pagi dari lereng curam sebelum puncak. Mengabadikan sekian jepretan foto. Sembari menahan tubuh dari embusan angin yang cukup kencang.
Sejak Gempa Lombok pada 2018 lalu, pendakian gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia itu dibatasi hanya sampai Plawangan. Jalur ke puncak dan Segara Anak masih rawan longsor, sehingga pendaki dilarang melaju lebih jauh. Namun, dari Plawangan pun, tetap terlihat jelas pemandangan Danau Segara Anak dan Gunung Barujari.
Gunung Slamet, Jalur Bambangan, Purbalingga
Bulan Desember sejatinya bukan waktu yang pas untuk mendaki Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah. Tapi sepertinya niat dan tekad kami bersepuluh sangat kuat saat itu. Kami tetap berupaya mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Dari puncak Gunung Slamet (3.428 mdpl), terlihat kawah aktif yang mengepulkan asap belerang. Ke arah barat, terlihat Gunung Ciremai. Sementara dari latar terbitnya matahari, kami bisa melihat dua tetangga, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Meskipun di puncak cerah berawan, kami dihajar hujan saat berangkat dan pulang. Hujan deras mengguyur sepanjang perjalanan dari Pos 3 Cemara hingga Pos 5 Mata Air. Sempat reda dan gerimis lagi kala naik ke tempat berkemah di Pos 7 Samyang Jampang. Perjalanan turun ke basecamp pun tak kalah melelahkan. Hujan deras membuat jalur pendakian berlumpur dan licin.
Gunung Arjuno, Jalur Tretes, Pasuruan
Saat itu kami bertiga dalam misi mendaki tiga gunung dalam waktu empat hari tiga malam. Welirang, Arjuno, dan Penanggungan. Tak muluk-muluk, hanya ingin menguji sejauh mana batas kami.
Arjuno adalah gunung kedua yang dituju setelah Welirang sehari sebelumnya. Kami tiba di puncak Ogal-Agil (3.339 mdpl) setelah hampir 4,5 jam berjalan dari tenda kami di Lembah Kijang. Angin berembus cukup kencang, bahkan beberapa kali terhadang kabut dan sempat nyasar saat menuju puncak.
Dari puncak Gunung Arjuno, kami melihat banyak gunung dari segala penjuru. Welirang di utara, Semeru di timur, hingga Gunung Kawi dan Butak di barat laut. Sayang sekali, puncak Arjuno ternoda oleh coretan-coretan vandalisme di batu-batu besarnya.
Gunung Semeru, Jalur Ranu Pani, Lumajang
Pendakian kali ini, kami berempat, memang khusus membawa misi menyambut sekaligus merekam momen matahari terbit dari puncak Gunung Semeru (3.676 mdpl). Sebuah misi yang menguras fisik dan mental. Kami agak ngebut dalam program pendakian tiga hari dua malam kala itu.
Perjalanan ke puncak dari Kalimati kami tempuh lima jam. Tiba di puncak sekitar pukul 03.30, suasana sangat gelap dan angin berembus kencang. Kami memilih sedikit turun dan sempat tidur di sebuah cerukan kecil di bawah puncak.
Sejam kemudian kami kembali ke puncak Mahameru. Dan seperti itu rasanya berdiri di puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa kala fajar. Tak terkatakan betapa luar biasa lukisan langit pagi. Gunung Argopuro, Lemongan, Bromo, Arjuno-Welirang, Kawi-Butak, dan laut selatan terlihat dari puncak berbatu dan berdebu ini.
Gunung Welirang, Jalur Tretes, Pasuruan
Dari Pos 3 Pondokan, jalur Tretes, terdapat persimpangan trek pendakian. Ke kiri menuju Lembah Kijang dan puncak Gunung Arjuno, sedangkan lurus ke puncak Welirang. Saat itu kami menempuh waktu 2,5 jam ke puncak Welirang. Sekitar 1,5-2 jam lebih cepat ketimbang menuju puncak Arjuno.
Trek ke puncak Welirang dari Pondokan mulanya berupa makadam. Terus menanjak hingga batas vegetasi, berganti dari hutan cemara gunung menjadi pepohonan cantigi dan edelweiss. Aroma belerang mulai menyengat dan bisa bikin pusing, sehingga kami harus sedia masker kain yang dibasahi air.
Di puncak Welirang (3.156 mdpl), terdapat sebuah kawah besar yang aktif mengepulkan asap. Dari sanalah para penambang menggali belerang untuk dijual. Pos 3 Pondokan merupakan tempat transit dan penampungan belerang sementara, sebelum diangkut jip menuju basecamp.
Gunung Butak, Jalur Toyomerto, Batu
Kami berempat kala itu, mendaki Gunung Butak via jalur Toyomerto. Sebuah dusun di kaki Gunung Panderman, Kota Batu. Sebuah perjalanan untuk merayakan kelulusan sarjana, yang dihabiskan dalam waktu tiga hari dua malam di kawasan berkemah sabana Sendang, sekitar 30 menit sebelum puncak Gunung Butak.
Karena jarak yang dekat dari tempat berkemah dan longgarnya waktu, kami sampai dua kali mendaki puncak Butak. Masing-masing memberikan suasana alam yang berbeda. Pada kesempatan pertama diselimuti kabut, sedangkan yang kedua kalinya pemandangan tersibak jelas.
Kami bisa melihat Gunung Semeru ke arah timur, Arjuno-Welirang bak kembar dempet di utara. Dan tampak pula puncak Gunung Kelud yang lancip di barat, dikelilingi pegunungan-pegunungan yang berselimut kabut.
* * *
Semoga, catatan jurnal pendakian saya bisa bertambah dengan nama-nama seperti Kerinci, Marapi, Singgalang, Argopuro, Tambora, Latimojong, atau gunung-gunung eksotis di Nusa Tenggara Timur.
Atau bahkan cukup dengan mengulang lagi perjalanan sebelumnya. Setiap pendaki, pasti memiliki gunung ternyaman untuk bertamu dan menghirup udaranya.
Setelah ini selesai, ayo, ke mana lagi kita? (*)
Tinggalkan Balasan