Dari segala pertemuan dengan langit sore, di mana pun, masing-masing menyurihkan kesan. Di gunung, pantai, jalan raya, sawah hingga atap rumah. Menyapanya sengaja maupun secara kebetulan. Menikmati dengan mudah atau harus bersusah-payah.


Tiga tahun lalu, seorang sahabat mengajak saya dan tiga teman mudik ke Bawean. Berlibur sekaligus merayakan hari raya kurban di sana. Bukan sebuah perjalanan yang cocok bagi pemburu liburan akhir pekan. Perlu waktu empat sampai lima jam dengan kapal cepat dari Pelabuhan Gresik ke pulau yang terletak di tengah Laut Jawa itu. Dengan catatan, cuaca dan ombak bersahabat.
Nun di pesisir barat Bawean, terbentang Dusun Dedawang. Sebuah kampung nelayan sekaligus sentra pengolahan pindang terbesar di pulau ini. Kami tak hanya diajak melihat proses produksi pindang, tapi juga berkeliling pulau seharian mengunjungi pusat budaya dan wisata alam. Dan burit adalah waktu yang paling dinanti.


Pada kesempatan pertama di suatu sore, menjelang malam takbiran Iduladha, kami ngabuburit di tepi pantai. Disuguhi kelapa muda untuk menu berbuka puasa Arafah. Namun, pemandangan di tempat seelok ini malah memburas saya untuk menunda berbuka sejenak. Sekalipun azan magrib sudah menggema. Kami sungguh tersihir oleh pendar baskara senja yang sedang gemulai melukis cakrawala.
Tampaknya, Bawean benar-benar membuat kami, untuk sesaat melupakan kapan kembali ke kota yang penuh polusi. Kami bisa saja tertahan berhari-hari, kalau gelombang laut terlampau berbahaya. Tapi kami kian terbiasa. Seperti halnya cerita saya di Ranu Kumbolo, di sini pun kami bisa mendekap sore lebih lama untuk menikmati senja yang jelita.


Esoknya lagi, setelah asar, sahabat saya mengajak kami dan teman-teman masa kecilnya menyeberang ke Pulau Cina. Konon dulunya menjadi tempat persinggahan pelaut atau pedagang Tiongkok, karena banyak ditemukan pecahan keramik khas negeri tirai bambu, seperti mangkok, alat makan, dan guci. Kami jalan kaki hampir sejam saat laut sedang surut.
Belakangan, sebagian dari kita mungkin sedang teramat sangat menggandrungi senja. Yang kadang diasosiasikan lekat dengan musik indie atau kopi. Tapi di sana, di pesisir pulau berkarang tajam kami tak sepuitis itu. Kami menikmati sore hanya dengan air mineral dan perasanan dalam tiga bahasa, Bawean-Jawa-Indonesia. Dan rana kamera yang rakus menangkap cahaya. Tanpa musik indie. Tanpa kopi.


Di tengah percakapan yang seronok, sahabat saya dan teman-temannya melihat pertanda alam. Air laut mulai pasang. Mengajak kami bergegas. Melanjutkan obrolan sembari berjalan pulang. Kadang-kadang berhenti tak hanya karena tersampuk batuan, tetapi juga sekadar berbalik badan untuk melampiaskan hasrat memotret.
Semakin petang, sketsa alam menjelang berubah rona malah semakin memanjakan mata. Senyampang belum terlalu berombak, langit dan laut seakan melekat dan bersepakat. Mempersembahkan sebuah cermin alami. Seperti di foto ini. Tampak siluet sahabat saya sedang berjalan setengah berlari. kami juga harus sepertinya dan melangkah beriringan. Mendekati kampung, air laut sudah hampir setinggi pinggang.


Azan magrib kembali berkumandang. Suaranya terdengar agak parau dari corong tua musala dusun. Takbiran masih menyahut. Sementara setengah tubuh kami masih kuyup. Kedua lengan terasa agak pegal karena memanggul tas dan kamera di atas kepala. Kami harus bergegas mandi dan sembahyang. Tak sabar segera membakar sate lagi untuk makan malam.
Di pengujung petang, selepas salat magrib, masih tersisa sedikit gurat senja. Saya mencugat ke langit. Mengaguminya. Berpikir, kadang-kadang dari mana seseorang berasal, menjadi alasan terbesar untuk mengenal lebih jauh. Rela mengikat waktu untuk membeli sebuah pengalaman baru yang tiada ternilai. Sahabat saya dan kampung halamannya termasuk di antaranya. (*)

Tinggalkan Balasan