Alasan mencintai perjalanan ke Ranu Kumbolo adalah kala bisa berjalan teramat lambat di sana, karena ia seakan didekap untuk dinikmati.
* * *
Pertengahan Oktober, tujuh tahun lalu. Hari kesatu pendakian. Pengalaman pendakian pertama saya.
Saya melihat arloji di pergelangan tangan kiri. Beberapa jam lagi Sabtu akan berganti Ahad. Di saat pendaki lain—memang sudah semestinya—istirahat, saya dan sejumlah teman masih melangkah gontai. Berjalan di jalur pendakian yang seolah tak berujung. Begini rasanya dipeluk kegelapan malam di tengah hutan.
“Ranu Kumbolo masih jauh?”
“Kok gak nyampe-nyampe, sih!”
Segala keluh terpaksa keluar di ujung lidah yang mulai kelu. Gejala-gejala lelah sangat kentara. Seorang teman mengeluh sesak di dada. Satu lagi sakit kepala dan mual. Lutut saya gemetar. Rasa kantuk tiada ampun menerjang.
Gelora semangat di awal pendakian sudah luruh kala malam tiba. Bahkan hanya sekadar melihat gemintang yang bertaburan di langit pun tak minat.
Tapi tanjakan berdebu setelah Pos 3 sudah terlewati. Tak ada pilihan selain harus terus berjalan. Tak terhitung kaki terantuk batu atau akar pohon yang melintang. Cahaya dari senter atau headlamp sedikit membantu fokus kami yang agak goyah.
Lamat-lamat terlihat kerlip di kejauhan. Seperti bulatan-bulatan sinar yang bergerombol. Saya menyipitkan mata. Memastikan.
“Itukah?” tanya saya memecah derap kaki.
Tanpa berhenti, seorang teman yang sebelumnya pernah ke sini menjawab, “Ya, itu danaunya.”
Jawaban itu memberi kepastian. Meski masih berjarak beberapa ratus meter, kami seperti menemukan semangat yang hampir hilang. Di turunan setelah Pos 4, kami setengah berlari. Kami tak sabar segera membuka tenda, makan, dan tidur.
Beberapa langkah selepas menuruni jalur yang cukup terjal, kami berhenti. Selter atau area ideal untuk berkemah sebenarnya berada di sisi barat danau. Melipir satu bukit lagi.

“Sudahlah, kita camp di sini saja. Besok pagi baru pindah ke sebelah.” Usul seorang teman yang sangat kami sepakati.
Bergegas tenda dikeluarkan. Perlengkapan tidur ditata. Makanan disiapkan.
23.30. Sepuluh jam kami berjalan dari Ranu Pani. Kurang normal, memang.
Saya merenung sebelum memicingkan mata. Sepertinya, Semeru telah menegur kami yang kurang persiapan. Semangat yang menggebu di awal pendakian mungkin sedikit terselip kesombongan. Ambisi dan ego akan penaklukan gunung yang seharusnya kami enyahkan jauh-jauh. Kami lupa jika status kami hanyalah tamu.
Di Ranu Kumbolo, kami belajar banyak tentang sang gunung. Berguru langsung di rumahnya.

MALAM BERTABUR BINTANG
Pertalian dengan danau di ketinggian sekitar 2.400 meter di atas permukaan laut (mdpl), tidak hanya cerita absurd tentang pendakian kami yang payah saat itu. Pada kesempatan mendaki Semeru beberapa tahun setelahnya, saya pernah mengalami suatu malam yang mengagumkan. Bukan di puncak atau pun Kalimati. Di Ranu Kumbolo-lah, saya dan sebagian pendaki menjadi saksi kebesaran Sang Pencipta.
Saya bersama belasan teman baru turun dari Kalimati saat itu. Sebagian letih karena terkuras tenaga setelah dari puncak, sebagian lagi masih segar karena memilih menunggu di tenda.
Malam itu adalah momen yang sangat saya nantikan. Sejatinya, saya pun tak ingin mengalaminya sendirian.
“Ayo, rek! Kita keluar ngopi dan lihat bintang!”
Saya sudah berusaha mengajak tiga orang teman setenda. Nyatanya mereka terlelap lebih cepat dalam balutan hangat sleeping bag. Ajakan kali kedua berbalas dengkuran keras.
Tanpa perlu meminta turut serta untuk yang ketiga kalinya, saya memutuskan keluar sendirian. Membawa kamera dan menenteng tripod seberat hampir dua kilogram.
Saya membuka pintu tenda dan bergegas keluar. Sembari menahan dingin, saya berjalan agak menjauh dari kerumunan perkemahan.
Di satu titik dekat jalan setapak menuju Tanjakan Cinta saya berhenti. Berjongkok dan menyiapkan peralatan memotret. Mendirikan tripod di atas rumput yang basah dan mengatur kamera. Tak lama menentukan sudut pandang, saya memencet tombol rana dan menunggu setengah menit.

Selama itu saya menengadah. Memandang langit bertabur bintang. Semarak. Seolah berebut mengisi ruang-ruang kosong di bumantara yang gelap.
Saya norak, senorak-noraknya. Ingin rasanya berjingkrak saking bahagianya.
Malam itu, Ranu Kumbolo seperti benar-benar hidup. Terlihat tenda-tenda seperti bercahaya, sorot lampu senter atau head lamp pendaki yang lalu-lalang, dan riuh cengkerama dari mereka.
Selebihnya, saya mendengar suara-suara alam. Gemercik air danau, embusan angin yang menggoyangkan rerumputan dan ranting pepohonan.

Saya sempat menoleh ke belakang. Melihat siluet bukit di ujung Tanjakan Cinta. Tampak jelas gurat cemara-cemara gunung seperti menukik. Mengikuti kontur tanah. Di atasnya bintang-bintang kian menyemut, seakan menyentuh pucuk pepohonan.
Sesaat saya berimajinasi tentang pendakian spiritual seorang rohaniwan Kameswara berabad-abad silam. Perjalanannya mencari air suci hingga ke Ranu Kumbolo, seperti terukir dalam prasasti dekat danau, saya yakin jauh lebih lebih syahdu pada masanya.

PAGI YANG DIHANGATKAN SANG RAWI
Hal lain yang juga ikonis di sana adalah matahari terbit. Jika kita mengetikkan nama danau ini di mesin peramban, maka akan berseliweran foto-foto pemandangan pagi yang menakjubkan.
Sebagian orang, rela hanya mendaki 2 hari 1 malam demi menyaksikan matahari terbit dari tepi danau. Pagi berangkat, sore berkemah dan menginap semalam. Kemudian keesokan paginya, setelah puas nyunrise, mereka langsung turun ke Ranu Pani. Tak heran saat akhir pekan di musim pendakian, kuota pendaki nyaris selalu penuh.
Untuk melihat matahari terbit di sini ternyata juga butuh perjuangan. Suhu bisa mencapai titik terendah saat subuh. Belum lagi jika harus mengambil air wudu dan lekas beribadah sebelum pagi kian terang.
Bagi yang tidak biasa, melawan godaan kehangatan sleeping bag alias keinginan melanjutkan tidur adalah sebuah upaya yang tak mudah.

Pada waktu yang pas, sang rawi akan menampakkan diri persis di antara dua bukit. Disusul kabut-kabut tipis yang melayang di permukaan danau. Dinginnya malam berganti kehangatan pagi.
Di sisi lain, kabut tebal tak jarang mengepung Ranu Kumbolo. Menutupi atraksi matahari terbit yang kadang disambut seruan kekecewaan sebagian pendaki. Padahal, kedatangan halimun pun merupakan keindahan tersendiri.

Benar kiranya seorang teman berkata, “Tidak cuma sunrise yang ngangenin, tapi juga kabutnya.”
Taman nasional memberi batasan maksimal waktu pendakian 4 hari 3 malam. Itu waktu yang cukup bagi pendaki yang memiliki tujuan ke puncak tapi tidak tergesa-gesa.
Belakangan saya sering menyarankan kepada sejumlah kawan, “Tidak usah mengejar puncak. Maksimalkan saja 4 hari 3 malam di Ranu Kumbolo.”
Menjelajah Ranu Kumbolo dan sabana-sabana di sekitarnya selama itu akan memberi kepuasan tersendiri.

MEMELUK WAKTU DI TEPI DANAU
Ranu Kumbolo adalah daya pikat yang selalu berhasil menggoda untuk kembali. Berdiri di Mahameru memang sebuah pencapaian, tapi pamor danau yang disakralkan masyarakat Tengger ini kerap melebihi ketenaran puncak itu sendiri.
Ranu Kumbolo lebih dari sekadar tempat transit. Danau suci ini juga berarti keindahan, pengalaman spiritual, sekaligus guru bagi siapa pun yang pergi ke sana.
Berada di Ranu Kumbolo serasa memeluk erat kala yang biasa berlalu tanpa pandang bulu. Betapa pendaki bisa membuat waktu seperti berjalan lambat dan lembut. Tak lupa ditemani kopi atau teh panas, kemudian bercengkerama dan tertawa dengan sahabat.
Seperti kutipan lirik yang disenandungkan Dewa 19 dalam lagunya, “Mahameru”:
Mereguk nikmat cokelat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta…
Meskipun kini tak sehening saat Kameswara melakukan perjalanan spiritual mencari air suci, saya percaya kedamaian itu bisa diciptakan sendiri. Saya, pun pendaki-pendaki lainnya, yakin senantiasa berusaha menikmati detak kehidupan yang disajikan sang ranu di sini.
Bercermin. Merefleksi diri. (*)
Tinggalkan Balasan