“Kamu ingin tahu apa resolusiku tahun ini?” saya meminta seorang teman di kantor menebak.
Dia menggeleng. Balik bertanya, “Apa?”
“Resolusiku tahun ini adalah meneruskan apa yang menjadi resolusi tahun 2019 yang dibuat di pengujung tahun 2018, dan belum terealisasi di tahun 2019.”
Panjang jawaban saya.
Tentu saja itu hanya bercanda.

Tapi bisa jadi ada benarnya. Pencapaian yang dibuat kerap tak mampu menjawab ekspektasi dari hasil resolusi di awal tahun.
Bekerja sebagai tenaga kontrak di perkantoran dan melangsungkan pernikahan adalah pencapaian terbesar saya di tahun 2019. Sesungguhnya saya bersyukur karena merasakan peristiwa pembuka dan penutup tahun yang baik.
Meskipun, memang, tak semudah yang dibayangkan. Tak segampang kita menyiram bibit pohon untuk langsung tumbuh menjulang dalam waktu singkat.
Karena seiring dengannya amanah dan tanggung jawab yang sangat besar. Tak kenal lelah orangtua kami mewejang agar meniatkan apa pun untuk ibadah.

Di sisi lain, aktivitas ngeblog saya mandeg di pertengahan tahun. Itu pun hanya empat tulisan. Saya malu pada teman-teman narablog aktif lainnya. Kendatipun saya selalu berkilah—tepatnya agak menyalahkan—kesibukan pekerjaan. Alibi yang tidak terlalu sempurna untuk menutupi rasa malas. Draf tulisan tetaplah draf. Berkerak dalam diska keras komputer dan diska lepas yang sejatinya tak jauh dari jangkauan.
Ternyata saya belum mengimani sungguh-sungguh bahwa menulis dan membaca adalah obat mujarab untuk memanfaatkan waktu luang. Rupanya saya belum seutuhnya menjadi penulis yang istikamah.
Oleh karena itu saya bertekad pada diri sendiri—dan juga termotivasi sepak terjang hebat istri saya—akan lebih bersemangat menyemarakkan lagi blog yang sempat hibernasi lama ini. Tenang saja, saya sudah memperpanjang domain blog ini. Tak terdengar lagi kasus kelupaan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Ah, seharusnya saya merasa beruntung tahun kemarin. Tas ransel dan alat-alat pendakian lainnya kesayangan tidak teronggok terlalu lama di kotak penyimpanan.
Lawu, Arjuno, dan Penanggungan adalah portofolio pendakian yang ‘sukses’ saya ukir tahun lalu. Namun, tahun 2019 pun terpaksa libur beranjangsana ke Semeru.
Rindu yang teramat berat pada tanah abadi para dewa, terpaksa diperpanjang akibat kebakaran dan kemarau panjang melanda. Dua kali perubahan jadwal pendakian yang ditawarkan tak kunjung menemui jawaban. Saya dan teman-teman sepakat menunggu hingga dibuka kembali. Semoga tahun ini sang Mahameru akan istirahat cukup dan pulih dari luka.

Ada jeda waktu cukup panjang di antara pendakian ketiga gunung tersebut. Tak mudah menyempatkan diri melakukan pendakian di sela padatnya pekerjaan dan menyiapkan pernikahan. Tak mudah pula mendaki gunung besar hanya dalam waktu dua hari satu malam.
Itulah kenyataan yang harus diterima para pekerja Senin-Jumat. Tidak seperti semasa kuliah, dalam sebulan bisa ‘rajin’ mendaki 1-2 kali.
“Itu namanya nganggur,” sindir teman saya kala itu.
“Aku mencari ilham untuk menuntaskan tugas akhir,” saya ngeles.
Mendaki gunung tetap ampuh menjadi obat kerinduan saya pada nikmatnya melakukan perjalanan. Ketika melangkah di atas jalan setapak di tengah hutan, alam seperti mengingatkan saya untuk bersyukur. Saat-saat menggigil karena digebuk hujan, napas tersengal dihajar tanjakan terjal, hingga kelilipan diserbu debu tebal rupanya merupakan kemewahan; yang saya cumbu setelah berkompromi dengan waktu.
Ada kalanya saya keteteran mengisi waktu yang terus berjalan. Terlalu banyak pikiran dan kehilangan fokus pada beberapa hal penting dan seharusnya bisa lebih produktif.

Padahal benar kiranya potongan puisi melankolis karya Soe Hok Gie yang dibuat di tengah kedamaian rimba. Di Lembah Mandalawangi, dekat puncak Gunung Pangrango.
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Saya menyadari. Kita harus lebih dari sekadar menjadi pendulum, yang hanya bergantung pada seutas tali. Kita-lah yang menjadi tali. Atau sebagai tangan yang mengendalikan tali dan pendulum itu.
Bahwa menerima dan menghadapi, tidak secara absolut berarti memasrahkan diri pada nasib dan mengikuti arus. Justru, kita mesti harus memiliki ketetapan hati sebagai jawaban pada segala tanda tanya. Kemudian membuat keputusan untuk terus melaju. Menempuh sudut-sudut bumi lebih jauh. Bersahabat lebih erat dengan waktu.
Tahun 2020 berarti semangat baru. Mari mengangkat sauh, bangkit lalu bertumbuh. Terus berkarya dengan bahagia. Tetap berjalan dan bercerita. (*)
Tinggalkan Balasan