Sehari sebelum libur Iduladha dua tahun lalu (31/8/2017), Jun mengajak saya, Inggit, Imama, dan Ucup ke Dedawang. Sebuah dusun di pesisir barat laut Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Di sana bermukim nelayan dan pusat produksi pindang khas daerah berjuluk Pulau Putri tersebut.
Perjalanan ke dusun di tepi pantai itu hanya sekitar 10 menit dari rumah Jun. Kami menyusuri jalan kampung. Membelah bentang alam yang beragam. Mulai dari sawah hingga berujung lautan.

Pagi di Dedawang kala itu seperti biasanya. Diisi dengan hiruk-pikuk khas pesisir. Sejumlah kelompok nelayan telah kembali ke darat. Mengeluarkan keranjang-keranjang (istilah lokal: basket) berisi ikan hasil tangkapan dari dek kapal.
Beberapa warga berkerumun untuk membeli ikan-ikan yang masih segar itu. Selain membeli untuk sekadar konsumsi atau dijual lagi, sebagian menggunakannya untuk bahan baku produksi pindang.
Seperti Syahrul Agus (23) yang tinggal di RT 01/RW 01, misalnya. Salah satu di antara 50 produsen pindang yang aktif di Dedawang. Masih berkerabat dengan Jun.

“Cara Bawean”
Belum ada literatur pasti kapan Dedawang menjadi sentra produksi pindang khas Bawean. Menurut Syahrul, pengolahan ikan pindang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka.
Ikan yang digunakan pun khas. Orang lokal menyebutnya “binggul”. Mirip tongkol tapi berukuran lebih kecil.
Meskipun begitu, menurut beberapa referensi yang saya peroleh secara daring, pengolahan ikan pindang di Bawean telah menjadi karakteristik tersendiri. Biasa disebut dengan “Cara Bawean”. Selain itu juga ada “Cara Muncar”, pemindangan khas Banyuwangi. Keduanya sama-sama merupakan pengolahan secara tradisional.
Proses pengolahan yang dilakukan Syahrul dimulai dari teras “pabrik” miliknya. Rumah produksi sederhana beratap rumbia dan beralas tanah. Dindingnya menggunakan gedek yang dipasang renggang untuk sirkulasi udara.
Di teras, dua orang perempuan sedang bekerja. Mereka melakukan proses pemindangan “Cara Bawean”.
“Istilah lokalnya, ngetap,” kata Syahrul.

Dalam proses ngetap, Ikan-ikan dari basket dimasukkan ke kendil dan ditata berlapis serapat mungkin. Setiap lapisan ditaburi garam secukupnya. Satu kendil berisi ikan pindang tersebut berbobot sekitar satu kilogram.
Ikan pindang yang ada di dalam periuk-periuk berbahan tanah liat itu selanjutnya dibakar. Proses pembakaran dilakukan di dalam rumah produksi. Di ruangan seluas rumah tipe 36 tersebut terdapat tungku perapian yang dipasang memanjang. Mampu memuat sampai 76 kendil.
Saya melihat Syahrul mondar-mandir dari satu tungku ke tungku lain. Mengecek kayu-kayu dan serabut kelapa yang menjadi bahan bakar utama. Kemudian menggantikannya dengan yang baru jika mulai berabu (habis). Lama pembakaran ikan pindang tergantung kondisi api.
“Kalau apinya bagus, butuh 20 menit,” ujarnya.

Di dalam “dapur” tersebut, saya juga melihat tumpukan daun-daun jati kering yang akan digunakan sebagai bungkus kendil. Pengemasan dengan daun jati lalu diikat bertujuan agar kendil tidak pecah selama penyimpanan dan pengangkutan.
“Per kendil ikan pindang (yang sudah dibungkus dan diikat) dijual delapan ribu rupiah,” terang Syahrul. Sangat murah.
Kendil-kendil tersebut selanjutnya akan diambil dan dipasarkan oleh pengepul dari Bawean sendiri. Seorang pengepul bisa mengangkut 1.000-2.000 kendil.
Menurut Syahrul, seluruh ikan pindang produksinya dijual ke luar Pulau Bawean.
“Paling sering ke Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, dan Tuban. Pernah juga sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Barat,” terangnya. Ikan pindang khas Bawean tersebut diklaim awet selama 2-3 bulan.
Proses pemasaran juga masih harus melihat ketersediaan penyeberangan ke Gresik atau Paciran, yang dipengaruhi oleh cuaca dan ombak. Sekadar informasi, Pelabuhan Sangkapura di Bawean bisa diakses dengan kapal cepat (4-5 jam) dari Pelabuhan Gresik, maupun kapal feri (8-10 jam) dari Gresik dan Paciran, Lamongan. Sementara jarak dari Sangkapura ke Dedawang 15 km, sekitar 25 menit berkendara motor/mobil.

Bergantung Musim
Namun, seperti halnya durian, produksi ikan pindang memiliki musimnya sendiri. Usaha Syahrul dan puluhan produsen pindang di Dedawang sangat tergantung musim ikan, yang berkelindan dengan kondisi cuaca sepanjang tahun.
Musim ikan binggul, atau dalam istilah lokal disebut musim kateghe, umumnya berlangsung pada bulan-bulan kemarau, yaitu Juni-November. Setelah itu masuk musim nembherak, musim jarang ikan. Saat itu akan sering terjadi angin, hujan, dan ombak besar, sehingga nelayan tidak bisa melaut.
“Saat musim penghujan, nelayan dan pengusaha pindang biasanya beralih profesi menjadi petani,” jelas Syahrul.
Ketika musim kateghe, Syahrul membeli 6-7 basket ikan binggul dari nelayan. Berat per basket ikan biasanya mencapai setengah kuintal.
Jumlah segitu pula yang sanggup diproduksi Syahrul dan karyawannya. Sebagian pekerja yang dilibatkan biasanya masih punya hubungan keluarga. Sehingga, yang diberi upah hanya 3-4 orang di luar keluarga, sebesar Rp10.000 per 100 kendil.
Sementara saat musim jarang ikan, Syahrul hanya memproduksi 1-2 basket per hari. Bahkan pernah tidak sama sekali, karena sedikitnya tangkapan ikan nelayan.

Kondisi yang demikian belum membuat pihak terkait, dalam hal ini pemerintah kabupaten maupun provinsi, untuk mendukung pengembangan produksi pindang khas Bawean.
Meskipun begitu, Syahrul sama sekali tidak mengeluh. Pun 49 pengusaha lainnya. Syahrul merasa bersyukur apa yang sudah dilakukan dan diperoleh. Sama halnya dengan melaut.
“Insyaallah, hasil jualan pindang sudah cukup buat kebutuhan sehari-hari,” tutupnya. (*)
Foto sampul:
Kendil-kendil ikan pindang yang siap dibakar
Tinggalkan Balasan