Mulanya yang terlihat adalah hamparan laut di pantai utara Flores. Di atasnya menjulang bukit-bukit yang sebagian masih kuning dan kering. Kemarau belum berlalu. Termasuk tanah bertugu salib yang kami pijak sore itu.
Kemudian hawa terik dan kering berangsur menghangat dan sejuk. Mbak Nur, dokter gigi lulusan Jogja yang rumahnya saya singgahi, benar-benar membuktikan bahwa rayuannya tidak sekadar bualan.
* * *
Sore di hari pertama tiba di Maumere, Mbak Nur mengajak saya dan Moy jalan kaki dari rumahnya ke pesisir dekat kota. Kami akan melihat laut utara ibu kota Kabupaten Sikka tersebut.
Kami juga menyempatkan singgah di kedai kopi yang cocok untuk bersantai. Letaknya sekitar satu kilometer sebelah timur Pelabuhan Maumere. Di sana, Mbak Nur terang-terangan merayu kami.
“Tambah semalam lagi. Biar besok bisa nyunset di Kajuwulu,” bujuknya.
Jempolnya teracung. Sebuah isyarat, jaminan bahwa sunset dan Kajuwulu adalah kombinasi yang bagus.

Saya menimbang-nimbang. Menambah sehari di Maumere berarti harus mengorbankan satu di antara dua destinasi selanjutnya yang sudah ada di “daftar tunggu”.
Saya dan Moy saling pandang. Sementara Mbak Nur cengengesan… Lirikannya seolah berkata, sudah dijemput ke bandara masa’ cuma nginep semalam.
“Bagaimana, Moy? Kelimutu atau Wae Rebo?” tanya saya.
Rupanya cengengesan itu membuahkan hasil. Kami akhirnya memilih untuk merelakan Kelimutu.
Bisa ditebak. Si dokter gigi beranak satu itu makin semringah. Rayuannya berhasil.
* * *
Keesokan harinya saya bertemu Om Chen. Seorang penyiar radio, pegiat aktivitas luar ruang, dan pecinta alam senior dari Mapala Universitas Nusa Nipa, Maumere, Kabupaten Sikka. Saya mengenalnya via media sosial. Kebetulan, pagi itu ia sowan ke rumah Mbak Nur.
Sambil menanti sore yang dijanjikan Mbak Nur di Kajuwulu, saya dan Moy diajak Om Chen jalan-jalan. Mbak Nur, dengan baik hati meminjamkan salah satu motor matiknya untuk kami pakai seharian.
Kalau Om Chen, sih, tetap setia dengan “belalang tempur”-nya.
Kami sempat mampir ke masjid terapung Kampung Bajo di Wuring, Kelurahan Wolomarang, Kecamatan Alok Barat. Setelah itu, Om Chen mengajak kami menghadiri diklat Mapala Unipa yang sedang berlangsung di pedalaman hutan dekat Kampung Mangrasong, Kolisia, Kecamatan Magepanda. Kami sempat makan siang bersama di sana.

Beranjak sore, Mbak Nur menelepon. Ia sedang dalam perjalanan dari kota menuju Kajuwulu. Sendirian. Kami janjian ketemu di pinggir jalan ujung kampung Mangrasong.
Dua rekan senior lainnya, Nana dan Sandy, bersedia mengantar dan ikut menemani kami. Sementara Om Chen tetap di tempat, mendampingi peserta diklat.
Saya menghidupkan motor. Moy membonceng saya. Nana bersama Sandy, meminjam “belalang tempur” milik Om Chen. Kami masih harus menyusuri jalan setapak di antara sawah dan sungai menuju jalan poros.
Jarak ke Tanjung Kajuwulu hanya berjarak lima kilometer dari Mangrasong. Sekitar pukul 16.35 WITA, kami tiba di lokasi. Kami memarkir motor di bahu jalan. Akses ke pantai dan puncak bukit berseberangan. Letaknya berada di dekat tikungan jalan Trans Flores. Jalan poros pantai utara yang menghubungkan Maumere-Larantuka.

“Ayo, ke pantai dulu,” ajak Mbak Nur.
Kami menuruni jalan setapak di antara semak dan kerikil. Ujung dari trek yang cukup licin ini adalah pantai berpasir putih. Tersembunyi di balik tebing berumput. Garis pantainya tidak panjang, tapi pasirnya selembut bedak. Ombak mengempas tenang.
Kami tak sampai berenang-renang. Cukup membasahi kaki yang kepanasan.
* * *

Sekitar pukul 17.00, kami bergegas mendaki Bukit Tanjung Kajuwulu. Ada yang menyebutnya Bukit Tanjung Kolisia atau “Tangga Seribu”. Tidak sampai sebanyak itu, sih, tapi mungkin mencapai seratus anak tangga yang harus ditapaki. Saya lupa menghitungnya.
Tangga dari cor semen itu menanjak. Membelah bukit. Di ujung anak tangga terakhir, berdiri sebuah selasar dengan salib berselimut keramik setinggi hampir empat meter. Monumen ini dipersembahkan dan diresmikan oleh Komandan Kodim 1603/Sikka, Letkol Inf. Henry Suratmin pada 6 September 1999. Dua puluh tahun silam.

Setengah jam kemudian, sinar matahari sudah tak seterik kala siang. Angin berembus teduh. Warna langit berubah.
Inilah sore yang dijanjikan Mbak Nur. Rayuan yang membuat saya dan Moy harus “mengorbankan” Kelimutu.

Semua orang, termasuk pengunjung selain kami, memandang perbukitan di sisi barat. Berbondong-bondong menyongsong senja yang telah datang.
Sesederhana ini. (*)
Foto sampul:
Menapaki anak tangga menuju puncak bukit
Tinggalkan Balasan