“Berdiam diri, stagnan, dan menetap di tempat mukim,
sejatinya bukanlah peristirahatan bagi mereka pemilik akal dan adab,
maka berkelanalah, tinggalkan negerimu (demi menuntut ilmu dan kemuliaan);
“Safarlah, engkau akan menemukan pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan.
Berpeluhlah engkau dalam usaha dan upaya,
karena lezatnya kehidupan baru terasa,
setelah engkau merasakan payah dan peluh dalam bekerja dan berusaha;
* * *
“Loh, Pacitan pundi?” tanya Ronny, sopir ojek daring yang saya pesan. Pakai bahasa Jawa halus. Pertanyaan lanjutan setelah ‘Aslinya mana, Mas.’
Saya memesan ojek untuk perjalanan pulang ke rumah. Sekelarnya ngopi bareng teman-teman narablog karib di Ketintang. Mereka lebih dulu pulang dengan motor masing-masing.
Sebelum pertanyaan tentang tempat lahir muncul, dia menawarkan alternatif rute perjalanan pulang. Tidak melewati jalan raya utama Surabaya-Sidoarjo. Melainkan lewat dalam. Dari gang ke gang. Sampai akhirnya tembus ke kawasan Terminal Purabaya dan rumah orangtua saya hanya berjarak 2 kilometer dari sana.
Obrolan antar penumpang dengan sopir ojek itu biasa. Yang membuat percakapan saya dengan Pak Ronny mengalir adalah kami sama-sama kaum perantauan.
Ronny dan istri sama-sama lahir di Surabaya, sedangkan orangtua dan keluarga besar pria bercucu satu itu berasal dari Trenggalek.
“Awak dewe iki tonggoan, Mas, he-he,” katanya. Trenggalek memang bersebelahan langsung dengan Pacitan. Dua kabupaten yang alam, budaya, dan orang-orangnya tipikal. Khas pesisir selatan Jawa Timur bagian barat.
Meskipun lahir dan besar di Surabaya, ia kenyang dengan pengalaman merantau. Bekerja dan berpindah-pindah tempat tinggal.
Sebelum berprofesi sebagai sopir ojek dua tahun belakangan, Ronny sempat lama dan sering bekerja sebagai staf pemasaran di sejumlah perusahaan swasta. Seluruhnya di Jawa Timur.
“Aku yo hobi traveling, Mas, koyok njenengan,” ujarnya. Saya memang sempat bercerita kegemaran saya bepergian. Bedanya, ia melakukan perjalanan ke luar kota karena tugas-tugas dari pekerjaan yang digeluti.
Rutinitas yang seperti itu membuatnya memiliki banyak teman dan kenalan baru. “Kalau mau ke kota mana pun, gak bakal bingung cari tempat tidur. Tinggal telepon,” katanya sambil terkekeh.
Usianya sudah 60 tahun. Dia mengakui sudah waktunya beristirahat. Tapi memang dasarnya pejalan. Ia tidak bisa hanya berdiam diri.
“Daripada gak ngapa-ngapain di rumah,” katanya. Saat ini dia bersama istri dan kedua anaknya tinggal di Sukodono, Sidoarjo. Sebuah kecamatan yang berjarak setengah jam dari rumah orangtua saya di Waru.
Laju motor yang ia kemudikan sepanjang perjalanan memang pelan. Namun, tak berasa jauh. Ceritanya menyejukkan siang yang panas di langit Surabaya.
Kulitnya memang mengeriput. Tapi lelaki kurus itu seolah membuktikan bahwa ia tak akan pernah menyatakan selesai dengan kisah hidupnya.
* * *
“Sungguh aku melihat, air yang tergenang dalam diamnya,
justru akan tercemar lalu membusuk.
Jika saja air tersebut mengalir, tentu ia akan terasa lezat menyegarkan.
Tidak demikian jika ia tidak bergerak mengalir;
* * *
Bulan puasa tahun lalu saya bepergian ke Yogyakarta. Naik bus eksekutif dari Terminal Arjosari, Malang.
Bus berangkat persis azan Isya berkumandang. Masih banyak kursi kosong. Kata kondektur, akan ada tambahan penumpang yang naik dari kantor perwakilan di Lawang. Perbatasan Malang-Pasuruan.
Setelahnya bus akan terus melaju tanpa henti hingga memasuki Ngawi jelang tengah malam. Istirahat sekaligus sahur di sebuah rumah makan. Dekat Terminal Kertonegoro, Ngawi.
Kelar makan, saya dan sejumlah penumpang menunggu keberangkatan bus di halaman rumah makan.
Saya berjongkok di samping bus. Sebelah saya seorang pria berkopiah putih. Kami mengobrol sebentar. Yang kemudian jadi momen mendengarkan ceritanya.
Mendengar logatnya, saya mengira dia asli daerah-daerah berbahasa Ngapak. Banyumas dan sekitarnya.
Ternyata bukan. “Saya asli Wajak, Mas,” katanya. Wajak adalah sebuah kecamatan yang terletak di tenggara pusat Kota Malang. Jaraknya satu jam perjalanan. Tapi aksen Malangan-nya nyaris tidak kelihatan.
Dialek ngapaknya menurun dari istrinya. Orang Cilacap. Lama merantau ke Purwokerto. Jualan bakso dan mi ayam di sana sampai sekarang.
“Sering pulang ke Malang, Pak? Sendirian atau sama keluarga?”
Dia melepas sandalnya. Menjadikannya alas untuk duduk. Saya tetap jongkok.
“Sesekali pulang, Mas. Nengok orangtua. Kadang ngebus, kadang nyepur,” jawabnya. Istrinya lebih sering di rumah. Jaga warung.
Dua anaknya juga tidak sedang berada di rumah. Anak pertamanya melanjutkan kuliah master ke Jerman. Dapat beasiswa.
“Kalau adiknya masih mondok tahfiz Quran di Jogja. Dekat kampus UIN,” jelasnya.
Baginya, pendidikan agama sangat penting. Fundamental dalam hidup. Awalnya si anak keduanya akan dipondokkan di pesantren salafi. Tapi dengan berbagai pertimbangan, niat itu diurungkan.
“Berat kalau hanya mikir akhirat (mondok salafi). Kasihan anak saya. Di pondok modern, 50:50-lah dunia dan akhirat,” ujarnya sambil terkekeh.
Saya berdecak kagum. Memuji-muji nama Allah atas perjuangannya sebagai seorang ayah.
“Hidupku pas-pasan, Mas. Anakku harus lebih sukses ketimbang aku,” tegasnya. Di satu tahun pertama ia dan istri berjualan mengalami kesusahan. Banyak saingan.
Pria berjanggut tipis itu hanya tidur sejam setiap harinya. Sisanya untuk kerja dan ibadah.
Sehari dapat 10 pembeli sudah sangat disyukuri. Pemasukan berkisar 50-100 ribu per hari saat itu. Saya meyakini ada rahasia hebat di baliknya. Entah untuk usaha maupun pendidikan anak-anaknya.
Ada amalan yang tak putus dilakukan sejak dia berguru di pondok semasa muda. Amalan-amalan salat dan zikir khusus dari para habib dan kiai yang mengajarinya. Bahkan ia menyerap sari ilmu dari sosok yang sudah lama wafat. Salah satunya Kiai Abdul Hamid Pasuruan, ulama yang terkenal akan kewaliannya.
Menurutnya, amalan-amalan yang ia lakukan sangat membantunya menjaga diri dari banyak penyakit hati. Mengingat perjuangan hidupnya penuh dengan suka-duka.
Dengan logat Banyumasan yang cepat, dia berujar kata-kata dari seorang habib yang paling diingat. Gurunya sewaktu di pondok.
“Sehebat-hebatnya kamu, jika berhadapan dengan orang yang mungkin tingkatannya di atas kamu, meskipun ia berbuat kebatilan, tetaplah berbaik sangka, tawadu dan menghormati,” pungkasnya.
Obrolan singkat yang menarik dan inspiratif ini harus selesai, karena bus akan melanjutkan perjalanan. Saya turun di Jogja, ia pulang melanjutkan perantauannya di Purwokerto.
* * *
“Sekawanan singa, andai tidak meninggalkan sarangnya,
niscaya kebuasannya tidak lagi terasah, ia pun akan mati karena lapar.
Anak panah, andai tidak melesat meninggalkan busurnya,
maka jangan pernah bermimpi akan mengenai sasaran;
“Sang surya, andai selalu terpaku di ufuk,
niscaya ia akan dicela oleh segenap ras manusia, dari ras arabia,
tidak terkecuali selain mereka;
* * *
Lagi. Saya memiliki pengalaman menarik dengan ojek daring. Waktunya pasca lebaran Idulfitri tahun lalu. Sebelum kegiatan pendakian Gunung Merbabu bersama teman-teman Jogja.
Saat itu baru saja mengambil dua buah tenda sewaan. Untuk melengkapi peralatan pendakian tim.
Saya memesan ojek daring untuk pulang ke kos. Pesanan saya terjawab tak sampai lima detik.
Sebuah nama muncul bersamaan nomor plat dan jenis motornya. Melihat foto profil dan namanya, saya menerka-nerka. Tidak asing. Khas. Sayang sekali saya lupa namanya.
Semenit kemudian dia sudah datang. Pria berkumis seperti suami Inul Daratista itu membuka kaca helm. Mengecek gawainya sebentar dan memastikan, “Mas Rifqy, ya? Ke Tunggulwulung?”
Saya mengangguk. “Nanti tolong diarahkan, ya,” ujarnya. Asumsi saya, mungkin orang ini belum lama ngojek. Sehingga, tempat kos saya yang ada di pinggiran barat laut Kota Malang belum familiar baginya.
Lekas helm hijau darinya saya pakai. Saya membonceng sembari memangku dua tenda sewaan berbobot total hampir 10 kilogram.
Dalam perjalanan sejauh tiga kilometer, asumsi saya dengan cepat terpatahkan. “Istri saya orang Malang, Mas,” katanya seolah membaca pikiran saya. Sang juru mudi kelahiran Atambua itu sudah tinggal 30 tahun di Kota Malang.
Atambua adalah ibu kota Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Setengah jam berkendara ke Motaain. Salah satu gerbang perbatasan Indonesia-Timor Leste di Pulau Timor.
Setidaknya terkaan saya tentang foto dan namanya yang khas itu benar. Asalnya dari Indonesia Timur.
Kisah perantauannya dimulai ketika diterima kuliah di Universitas Merdeka (Unmer) Malang. Ambil jurusan Teknik Mesin.
“Kalau sekarang kerjanya Teknik Ojek, he-he,” candanya.
Sebelum ngojek, sudah banyak pengalaman pekerjaan yang dirasakan. Paling sering bekerja sebagai petugas keamanan di sejumlah kantor perusahaan. Saya jadi ingat guyonan komedian Arie Kriting. Orang timur itu kalau tidak jadi pemain bola, ya, bagian keamanan.
Sosoknya khas seperti orang timur pada umumnya. Wajah sangar dengan rahang keras, tapi kontras dengan gaya bicaranya. Lembut. Tidak meledak-ledak. Mungkin sudah melebur antara logat timur dengan Jawa. Saking lamanya di Malang.
Seperti Jogja, Malang juga menjadi tujuan utama perantauan. Untuk kuliah dan bekerja. “Anak-anak timur itu, sasarannya, ya, dua kota itu,” tegasnya.
Saya mengiyakan. Bahkan saya akrab dengan teman-teman dari timur sejak kuliah. Lebih-lebih saat main futsal bareng. Fisiknya tak tertandingi. Dan raut kekuatan fisik itu masih terlihat di sosok si bapak. Ini asumsi saya, lagi-lagi.
Tahu-tahu sudah hampir sampai kos. Saya bergegas turun dan membayar tunai sesuai tarif tertera di aplikasi. Dan tambahan uang tip secukupnya.
Dari depan pagar kos, si bapak pamit. “Berkabarlah kalau ke timur lagi, Mas. Siapa tahu, saya bisa nebeng pulang,” katanya pelan.
Saya mengangkat tangan kanan. Hormat. “Siap, pak! Hati-hati di jalan. Salam buat istri.”
Motor matik itu melaju kembali ke arah berlawanan. Saya masih tak kuat membayangkan. Raut wajahnya seperti menampakkan perasaan terpendam. Ya, sudah 30 tahun pula dia belum pulang ke kampung halaman.
* * *
“Dan bijih emas yang masih terkubur di bebatuan,
hanyalah sebongkah batu tak berharga,
yang terbengkalai di tempat asalnya.
Demikian halnya dengan gaharu di belantara hutan,
hanya sebatang kayu, sama seperti kayu biasa lainnya;
“Andai saja gaharu tersebut keluar dari belantara hutan,
ia adalah parfum yang bernilai tinggi.
Dan andaikata bijih itu keluar dari tempatnya,
ia akan menjadi emas yang berharga.”
Kisah perantauan selalu meninggalkan pesan dan kesan mendalam. Tak terhitung rasa-rasa yang berkutat di dalamnya: suka, duka, gembira, rindu, galau, dan lainnya. Bertemu teman hingga tantangan yang menjadi pengalaman baru.
Bagi saya, perantauan juga merupakan perjalanan spiritual. Tak hanya materi yang dikejar. Semakin berjalannya waktu, para perantau selalu menemukan makna-makna kehidupan yang sebelumnya tersembunyi.
Seperti halnya air yang mengalir, bijih emas dan gaharu yang keluar dari tempatnya, perantau dan perantauannya adalah singa-singa yang meninggalkan sarang. (*)
Bait-bait syair di atas merupakan karya Imam Syafi’i, “Merantau Demi Ilmu dan Kemuliaan” yang dinukil dan diterjemahkan secara bebas berdasarkan Syarh Diwan asy-Syafi’i (hal. 25-27) karya Muhammad Ibrahim Salim, cetakan Maktabah Ibn. Sina, Mesir. Ditulis ulang dalam buku Biografi Imam Syafi’i: Untold Story Imam Syafi’fi dan Kitab-Kitabnya (hal. 123-127), terbitan Shahih, 20 Januari 2016, karya Ahmad al-Baihaqi.
(Foto-foto untuk keperluan ilustrasi)
Tinggalkan Balasan