Singa-Singa yang Meninggalkan Sarang

Stasiun Pasar Senen Jakarta

“Berdiam diri, stagnan, dan menetap di tempat mukim,
sejatinya bukanlah peristirahatan bagi mereka pemilik akal dan adab,
maka berkelanalah, tinggalkan negerimu (demi menuntut ilmu dan kemuliaan);

“Safarlah, engkau akan menemukan pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan.
Berpeluhlah engkau dalam usaha dan upaya,
karena lezatnya kehidupan baru terasa,
setelah engkau merasakan payah dan peluh dalam bekerja dan berusaha;

* * *

kebun raya bogor

“Loh, Pacitan pundi?” tanya Ronny, sopir ojek daring yang saya pesan. Pakai bahasa Jawa halus. Pertanyaan lanjutan setelah ‘Aslinya mana, Mas.’

Saya memesan ojek untuk perjalanan pulang ke rumah. Sekelarnya ngopi bareng teman-teman narablog karib di Ketintang. Mereka lebih dulu pulang dengan motor masing-masing.

Sebelum pertanyaan tentang tempat lahir muncul, dia menawarkan alternatif rute perjalanan pulang. Tidak melewati jalan raya utama Surabaya-Sidoarjo. Melainkan lewat dalam. Dari gang ke gang. Sampai akhirnya tembus ke kawasan Terminal Purabaya dan rumah orangtua saya hanya berjarak 2 kilometer dari sana.

Obrolan antar penumpang dengan sopir ojek itu biasa. Yang membuat percakapan saya dengan Pak Ronny mengalir adalah kami sama-sama kaum perantauan.

Ronny dan istri sama-sama lahir di Surabaya, sedangkan orangtua dan keluarga besar pria bercucu satu itu berasal dari Trenggalek.

Awak dewe iki tonggoan, Mas, he-he,” katanya. Trenggalek memang bersebelahan langsung dengan Pacitan. Dua kabupaten yang alam, budaya, dan orang-orangnya tipikal. Khas pesisir selatan Jawa Timur bagian barat.

Meskipun lahir dan besar di Surabaya, ia kenyang dengan pengalaman merantau. Bekerja dan berpindah-pindah tempat tinggal.

Sebelum berprofesi sebagai sopir ojek dua tahun belakangan, Ronny sempat lama dan sering bekerja sebagai staf pemasaran di sejumlah perusahaan swasta. Seluruhnya di Jawa Timur.

“Aku yo hobi traveling, Mas, koyok njenengan,” ujarnya. Saya memang sempat bercerita kegemaran saya bepergian. Bedanya, ia melakukan perjalanan ke luar kota karena tugas-tugas dari pekerjaan yang digeluti.

Rutinitas yang seperti itu membuatnya memiliki banyak teman dan kenalan baru. “Kalau mau ke kota mana pun, gak bakal bingung cari tempat tidur. Tinggal telepon,” katanya sambil terkekeh.

Usianya sudah 60 tahun. Dia mengakui sudah waktunya beristirahat. Tapi memang dasarnya pejalan. Ia tidak bisa hanya berdiam diri.

“Daripada gak ngapa-ngapain di rumah,” katanya. Saat ini dia bersama istri dan kedua anaknya tinggal di Sukodono, Sidoarjo. Sebuah kecamatan yang berjarak setengah jam dari rumah orangtua saya di Waru.

Laju motor yang ia kemudikan sepanjang perjalanan memang pelan. Namun, tak berasa jauh. Ceritanya menyejukkan siang yang panas di langit Surabaya.

Kulitnya memang mengeriput. Tapi lelaki kurus itu seolah membuktikan bahwa ia tak akan pernah menyatakan selesai dengan kisah hidupnya.

* * *

“Sungguh aku melihat, air yang tergenang dalam diamnya,
justru akan tercemar lalu membusuk.

Jika saja air tersebut mengalir, tentu ia akan terasa lezat menyegarkan.
Tidak demikian jika ia tidak bergerak mengalir;

* * *

bus eksekutif

Bulan puasa tahun lalu saya bepergian ke Yogyakarta. Naik bus eksekutif dari Terminal Arjosari, Malang.

Bus berangkat persis azan Isya berkumandang. Masih banyak kursi kosong. Kata kondektur, akan ada tambahan penumpang yang naik dari kantor perwakilan di Lawang. Perbatasan Malang-Pasuruan.

Setelahnya bus akan terus melaju tanpa henti hingga memasuki Ngawi jelang tengah malam. Istirahat sekaligus sahur di sebuah rumah makan. Dekat Terminal Kertonegoro, Ngawi.

Kelar makan, saya dan sejumlah penumpang menunggu keberangkatan bus di halaman rumah makan.

Saya berjongkok di samping bus. Sebelah saya seorang pria berkopiah putih. Kami mengobrol sebentar. Yang kemudian jadi momen mendengarkan ceritanya.

Mendengar logatnya, saya mengira dia asli daerah-daerah berbahasa Ngapak. Banyumas dan sekitarnya.

Ternyata bukan. “Saya asli Wajak, Mas,” katanya. Wajak adalah sebuah kecamatan yang terletak di tenggara pusat Kota Malang. Jaraknya satu jam perjalanan. Tapi aksen Malangan-nya nyaris tidak kelihatan.

Dialek ngapaknya menurun dari istrinya. Orang Cilacap. Lama merantau ke Purwokerto. Jualan bakso dan mi ayam di sana sampai sekarang.

“Sering pulang ke Malang, Pak? Sendirian atau sama keluarga?”

Dia melepas sandalnya. Menjadikannya alas untuk duduk. Saya tetap jongkok.

“Sesekali pulang, Mas. Nengok orangtua. Kadang ngebus, kadang nyepur,” jawabnya. Istrinya lebih sering di rumah. Jaga warung.

Dua anaknya juga tidak sedang berada di rumah. Anak pertamanya melanjutkan kuliah master ke Jerman. Dapat beasiswa.

“Kalau adiknya masih mondok tahfiz Quran di Jogja. Dekat kampus UIN,” jelasnya.

Baginya, pendidikan agama sangat penting. Fundamental dalam hidup. Awalnya si anak keduanya akan dipondokkan di pesantren salafi. Tapi dengan berbagai pertimbangan, niat itu diurungkan.

“Berat kalau hanya mikir akhirat (mondok salafi). Kasihan anak saya. Di pondok modern, 50:50-lah dunia dan akhirat,” ujarnya sambil terkekeh.

Saya berdecak kagum. Memuji-muji nama Allah atas perjuangannya sebagai seorang ayah.

“Hidupku pas-pasan, Mas. Anakku harus lebih sukses ketimbang aku,” tegasnya. Di satu tahun pertama ia dan istri berjualan mengalami kesusahan. Banyak saingan.

Pria berjanggut tipis itu hanya tidur sejam setiap harinya. Sisanya untuk kerja dan ibadah.

Sehari dapat 10 pembeli sudah sangat disyukuri. Pemasukan berkisar 50-100 ribu per hari saat itu. Saya meyakini ada rahasia hebat di baliknya. Entah untuk usaha maupun pendidikan anak-anaknya.

Ada amalan yang tak putus dilakukan sejak dia berguru di pondok semasa muda. Amalan-amalan salat dan zikir khusus dari para habib dan kiai yang mengajarinya. Bahkan ia menyerap sari ilmu dari sosok yang sudah lama wafat. Salah satunya Kiai Abdul Hamid Pasuruan, ulama yang terkenal akan kewaliannya.

Menurutnya, amalan-amalan yang ia lakukan sangat membantunya menjaga diri dari banyak penyakit hati. Mengingat perjuangan hidupnya penuh dengan suka-duka.

Dengan logat Banyumasan yang cepat, dia berujar kata-kata dari seorang habib yang paling diingat. Gurunya sewaktu di pondok.

“Sehebat-hebatnya kamu, jika berhadapan dengan orang yang mungkin tingkatannya di atas kamu, meskipun ia berbuat kebatilan, tetaplah berbaik sangka, tawadu dan menghormati,” pungkasnya.

Obrolan singkat yang menarik dan inspiratif ini harus selesai, karena bus akan melanjutkan perjalanan. Saya turun di Jogja, ia pulang melanjutkan perantauannya di Purwokerto.

* * *

“Sekawanan singa, andai tidak meninggalkan sarangnya,
niscaya kebuasannya tidak lagi terasah, ia pun akan mati karena lapar.
Anak panah, andai tidak melesat meninggalkan busurnya,
maka jangan pernah bermimpi akan mengenai sasaran;

“Sang surya, andai selalu terpaku di ufuk,
niscaya ia akan dicela oleh segenap ras manusia, dari ras arabia,
tidak terkecuali selain mereka;

* * *

pantai lasiana kupang nusa tenggara timur

Lagi. Saya memiliki pengalaman menarik dengan ojek daring. Waktunya pasca lebaran Idulfitri tahun lalu. Sebelum kegiatan pendakian Gunung Merbabu bersama teman-teman Jogja.

Saat itu baru saja mengambil dua buah tenda sewaan. Untuk melengkapi peralatan pendakian tim.

Saya memesan ojek daring untuk pulang ke kos. Pesanan saya terjawab tak sampai lima detik.

Sebuah nama muncul bersamaan nomor plat dan jenis motornya. Melihat foto profil dan namanya, saya menerka-nerka. Tidak asing. Khas. Sayang sekali saya lupa namanya.

Semenit kemudian dia sudah datang. Pria berkumis seperti suami Inul Daratista itu membuka kaca helm. Mengecek gawainya sebentar dan memastikan, “Mas Rifqy, ya? Ke Tunggulwulung?”

Saya mengangguk. “Nanti tolong diarahkan, ya,” ujarnya. Asumsi saya, mungkin orang ini belum lama ngojek. Sehingga, tempat kos saya yang ada di pinggiran barat laut Kota Malang belum familiar baginya.

Lekas helm hijau darinya saya pakai. Saya membonceng sembari memangku dua tenda sewaan berbobot total hampir 10 kilogram.

Dalam perjalanan sejauh tiga kilometer, asumsi saya dengan cepat terpatahkan. “Istri saya orang Malang, Mas,” katanya seolah membaca pikiran saya. Sang juru mudi kelahiran Atambua itu sudah tinggal 30 tahun di Kota Malang.

Atambua adalah ibu kota Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Setengah jam berkendara ke Motaain. Salah satu gerbang perbatasan Indonesia-Timor Leste di Pulau Timor.

Setidaknya terkaan saya tentang foto dan namanya yang khas itu benar. Asalnya dari Indonesia Timur.

Kisah perantauannya dimulai ketika diterima kuliah di Universitas Merdeka (Unmer) Malang. Ambil jurusan Teknik Mesin.

“Kalau sekarang kerjanya Teknik Ojek, he-he,” candanya.

Sebelum ngojek, sudah banyak pengalaman pekerjaan yang dirasakan. Paling sering bekerja sebagai petugas keamanan di sejumlah kantor perusahaan. Saya jadi ingat guyonan komedian Arie Kriting. Orang timur itu kalau tidak jadi pemain bola, ya, bagian keamanan.

Sosoknya khas seperti orang timur pada umumnya. Wajah sangar dengan rahang keras, tapi kontras dengan gaya bicaranya. Lembut. Tidak meledak-ledak. Mungkin sudah melebur antara logat timur dengan Jawa. Saking lamanya di Malang.

Seperti Jogja, Malang juga menjadi tujuan utama perantauan. Untuk kuliah dan bekerja. “Anak-anak timur itu, sasarannya, ya, dua kota itu,” tegasnya.

Saya mengiyakan. Bahkan saya akrab dengan teman-teman dari timur sejak kuliah. Lebih-lebih saat main futsal bareng. Fisiknya tak tertandingi. Dan raut kekuatan fisik itu masih terlihat di sosok si bapak. Ini asumsi saya, lagi-lagi.

Tahu-tahu sudah hampir sampai kos. Saya bergegas turun dan membayar tunai sesuai tarif tertera di aplikasi. Dan tambahan uang tip secukupnya.

Dari depan pagar kos, si bapak pamit. “Berkabarlah kalau ke timur lagi, Mas. Siapa tahu, saya bisa nebeng pulang,” katanya pelan.

Saya mengangkat tangan kanan. Hormat. “Siap, pak! Hati-hati di jalan. Salam buat istri.”

Motor matik itu melaju kembali ke arah berlawanan. Saya masih tak kuat membayangkan. Raut wajahnya seperti menampakkan perasaan terpendam. Ya, sudah 30 tahun pula dia belum pulang ke kampung halaman.

* * *

taman nasional komodo nusa tenggara timur

“Dan bijih emas yang masih terkubur di bebatuan,
hanyalah sebongkah batu tak berharga,
yang terbengkalai di tempat asalnya.
Demikian halnya dengan gaharu di belantara hutan,
hanya sebatang kayu, sama seperti kayu biasa lainnya;

“Andai saja gaharu tersebut keluar dari belantara hutan,
ia adalah parfum yang bernilai tinggi.
Dan andaikata bijih itu keluar dari tempatnya,
ia akan menjadi emas yang berharga.”

Kisah perantauan selalu meninggalkan pesan dan kesan mendalam. Tak terhitung rasa-rasa yang berkutat di dalamnya: suka, duka, gembira, rindu, galau, dan lainnya. Bertemu teman hingga tantangan yang menjadi pengalaman baru.

Bagi saya, perantauan juga merupakan perjalanan spiritual. Tak hanya materi yang dikejar. Semakin berjalannya waktu, para perantau selalu menemukan makna-makna kehidupan yang sebelumnya tersembunyi.

Seperti halnya air yang mengalir, bijih emas dan gaharu yang keluar dari tempatnya, perantau dan perantauannya adalah singa-singa yang meninggalkan sarang. (*)

 


Bait-bait syair di atas merupakan karya Imam Syafi’i, “Merantau Demi Ilmu dan Kemuliaan” yang dinukil dan diterjemahkan secara bebas berdasarkan Syarh Diwan asy-Syafi’i (hal. 25-27) karya Muhammad Ibrahim Salim, cetakan Maktabah Ibn. Sina, Mesir. Ditulis ulang dalam buku Biografi Imam Syafi’i: Untold Story Imam Syafi’fi dan Kitab-Kitabnya (hal. 123-127), terbitan Shahih, 20 Januari 2016, karya Ahmad al-Baihaqi.

(Foto-foto untuk keperluan ilustrasi)

51 tanggapan untuk “Singa-Singa yang Meninggalkan Sarang”

  1. Penuh hikmah! 🙂

    Suka

    1. Terima kasih. Semoga bermanfaat 🙂

      Disukai oleh 1 orang

      1. Alhamdulillah bermanfaat sekali mas. Jadi semangat nulis lagi setelah membaca tulisan njenengan hehe

        Disukai oleh 1 orang

    2. Tetap semangat berkarya, Mbak! 🙂

      Suka

  2. jangan-jangan adiknya yang itu mondok di Wahid Hasyim, pondokku hehhehe,
    paling seru ketika bisa ngobrol asyik dengan orang lain, dapet pengalaman baru, dapet cerita baru yang menarik

    Disukai oleh 1 orang

    1. Aku tidak sempat bertanya. Bisa jadi 😀

      Iya, Mas. Begitulah perjalanan 🙂

      Disukai oleh 1 orang

  3. Merantau membuat kita (aku terutama) menyadari arti pulang yang sebenarnya.

    Disukai oleh 1 orang

  4. Momen yang cukup berkesan ketika di tanah rantau, ketemu orang baru yang ternyata masih satu daerah dengan kita. Berasa ketemu dengan saudara baru. Salut sama orang-orang yang ada di tulisan ini, terutama sama bapak yang jualan bakso di Purwokerto.

    Jadi asline mana, mas? Pacitan, tapi bapak-ibuk stay di Sidoarjo?

    Disukai oleh 1 orang

    1. Semoga memberi hikmah buat kita, ya 🙂

      Iya, saya dan Ibu asli Pacitan. Bapak dari Pati. Besar dan mukim di Sidoarjo. Saat ini saya masih di Malang.

      Suka

  5. kadang saya juga sering nemu gojek yang asli surabaya
    merantaunya jauh sekali ke surabaya euy

    Disukai oleh 1 orang

  6. Terima kasih mas sudah menyisipkan bait-bait syairnya Imam Syafi’i. Sungguh mak jleb-jleb sangat nyambung dengan tema cerita.

    Aku termasuk yang suka pergi-pergi apalagi jika bisa belajar banyak dari orang-orang yang ditemui dalam perjalanan. Namun, (dulu) di sisi lain aku juga memiliki batas peraturannya Ibu nggak dibolehin keluar malam, dan ada jam pulang paling malamnya. Ahaha. Agak terbatas jika pergi jauh, jadi cukup mblusuk-mblusuk sendiri di tempat-tempat berantah. Dari sana pun bertemu dengan banyak cerita dan pelajaran yang sampai sekarang masih kuingat.

    Boleh juga kali ya diceritakan kaya Mas Rifqy begini agar pembaca ikut mengambil hikmah :))

    Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih, Mbak Dwi. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran. Oh, tentu, kita harus berbagi inspirasi 🙂

      Tetap semangat berjalan dan bercerita, Mbak. Jangan berhenti!

      Suka

  7. cerita yang menarik

    Disukai oleh 1 orang

  8. Aku tahu tempat mondok-nya anak tersebut di dekat UIN hehehehehe.
    Selo banget koe mas, nganti ngobrol suwi ro bapake

    Disukai oleh 1 orang

    1. Wah, jadi penasaran, Mas 🙂

      Karena memang waktunya memungkinkan untuk ngobrol. Gak banyak, tapi menarik untuk dicatat.

      Suka

  9. Membaca tulisan ini, saya jadi ingat: “Sejauh apapun sebuah perjalanan, kampung halaman adalah pemberhentian yang abadi”. Demikian, kalimat yang pernah saya tulis di tembok jalanan Ibu Kota Jakarta sekian tahun silam.

    Hanya saja, bisa jadi saya tak sekuat Singa. Sehingga perjalanan harus segera diakhiri. Dan sekarang, bersama istri dan anak, telah menetap menjadi orang desa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

    Saya suka tulisan sampeyan, Kang? Salam…

    Disukai oleh 1 orang

    1. Itu berarti panjenengan memang sekuat singa. Atau bahkan lebih. Perjalanan belum berakhir. Menetap menjadi orang desa adalah hebat.

      Terima kasih, Mas 🙂

      Suka

  10. Rindu membaca tulisanmu, Qy! Selalu renyah sampai baria terakhir 🙂 Aku pun banyak kisah2 seperti ini, tapi hanya sedikit yg tertuliskan nih. Tulisan ini jadi bikin aku pengen mencatat kisah2 yg tercecer. Terimakasih sdh berbagi, juga nulikan syairnya^^

    Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih, Mbak. Semoga bisa berbagi lebih dari ini 🙂

      Suka

  11. Baca cerita yg terakhir kok nyesek ya mas. Mbayangin 30 thn gak nengok tanah kelahiran, pdhl kangen 😢
    Padahal saya sendiri nggak ada rasa kepengen nengok tanah kelahiran. Hehe. Ya gimana, saya lahir di Jakarta, dan selalu nggak betah kalo di Jakarta krn macetnya. Kalo lg di sana malah pengen cepet2 pulang ke Jogja atau Bandung 😅

    Disukai oleh 1 orang

    1. Iya, Mbak. Saya juga ‘jleb’ rasanya dengar cerita Bapaknya yang dari NTT itu.

      Hehehe, ya gapapa, masih sama-sama satu pulau 😀

      Suka

  12. Setiap saya lelah menulis panjang karena kebanyakan netizen akan malas membaca tulisan panjang. Saya selalu baca blogmu, dan entah kenapa dari dulu setiap membaca bait katamu selalu tumbuh semangat untuk terus menulis lagi.

    Jadi mas Rifqy, terima kasih banyak ya. Sukses selalu…

    Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih, Mas. Saya pun juga sedang berusaha menumbuhkan konsistensi lagi setelah cukup lama mandek, hehe. Semangat, Mas!

      Suka

  13. Yang suka merantau, bertemu orang-orang rantau, perjalanan ini (terutama perjalanan pulang dengan si bapak ojek dari Atambua) luar biasa. 30 tahun beliau belum pulang kampung halaman, teringat pada om saya dulu yang 32 tahun baru pulang ke kampung halaman bertemu nenek (yang waktu itu masih hidup).

    Disukai oleh 1 orang

    1. Iya, Mbak. Luar biasa. Saya sendiri tidak kuat membayangkan. Semoga mereka ini tetap sehat dan diberi kesempatan merasakan mudik lagi, ya.

      Suka

  14. cerita yang memorable, kalau ketemu orang baru yg merantau & kisah2nya yang diceritakan tanpa sengaja, jadi inget orang rumah

    Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih sudah berkenan mampir, Mbak Ainun. Semoga kita selalu tetap ingat rumah 🙂

      Suka

  15. tiap kali baca tulisan mas ada perasaan teduh dan penuh inspirasi. setiap kita yang merantau pasti tau rasanya pulang ke kampung halaman. terima kasih yach mas.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih, Mbak Adelina 🙂

      Disukai oleh 1 orang

  16. Lama nggak mampir sini dan baca tulisanmu, Qy.
    Makin asoy aja nih.
    Aku bayangin kalau bapakku masih sugeng, dia pasti bakalan seneng ngobrol sama kamu. Sama-sama pejalan dengan banyak cerita.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Belum sering update tulisan, jadi belum asoy ha-ha-ha.

      Wah, dengan senang hati pastinya. Jadi kangen ke rumahmu lagi mbak :))

      Suka

  17. Muda jadi singa, berburu sekuat renjana
    Renta jadi kelinci, cukup keluar sarang sudah dapat rejeki 😀

    Disukai oleh 1 orang

      1. Pie Lawu via Cetho? Lancar djaya?

        Disukai oleh 1 orang

        1. Terhenti di Bulak Pos 5. Hujan, angin, tepar semua hahaha. Remidi pas musim kemarau wae 😀

          Suka

          1. Wkwkw pengalaman bulan Maret 6 tahun silam di Lawu juga gituuu….uwuwuwuw hujan deras + penampakan menghiasi perjalanan turun….hihihihi

            Disukai oleh 1 orang

  18. Hahaha, ternyata njenengan lebih uwuwuwuwu hahahaha

    Suka

  19. ah,, kalau bicara tentang perantauan, aku udah 15 tahun engga tinggal di rumah orang tua, sejak SMA..

    -Traveler Paruh Waktu

    Disukai oleh 1 orang

    1. Iya, Mas. Masyaallah, luar biasa. Tetap semangat, mas! Salut 😊🙏🏼

      Suka

  20. Nek sing pernah merantau mesti ngrasakne piye rasane sekang tulisan artkelmu iki mas,,, termasuk aku mase hehehe opo maneh kalimat pembuka artikelmu iki mas rasane jlebbbb

    Disukai oleh 1 orang

    1. He-he-he. Maturnuwun sampun kerso mampir. Kalimat-kalimat pembuka namung kunukil saking syairipun Imam Syafi’i 🙂

      Suka

  21. kesuen nang ngumah kie, kudu metu dolan wkwkwk

    Disukai oleh 1 orang

  22. 30 tahun tak pulang 😦

    Kesan yang tertangkap si bapaknya sudah di tahap ikhlas bahwa mungkin dirinya memang ditakdirkan untuk tak pernah “pulang” lagi, atau sejatinya merindu pulang tapi kerasnya hidup tak membawanya berputar arah ke kampung halaman, atau bisa juga beliau sudah menemukan rumah baru sebagai tempat pulang dan menganggap “pulang” ke rumah masa lalu hanya akan membangkitkan kenangan yang mungkin menyakitkan. tapi tetap saja hati kecilnya tak bisa ditipu: beliau ingin pulang.

    So many possibilities.

    Tulisan yang bagus dan sangat thought provoking, mas!

    Disukai oleh 1 orang

    1. Iya, mas. Saya sendiri berharap, semoga ada waktu untuk si bapak dan keluarganya pulang ke kampung halaman. Terima kasih, mas 🙂

      Disukai oleh 1 orang

  23. Baca tulisannya hati saya adem mas! Terima kasih sudah berbagi. Salam kenal

    Disukai oleh 1 orang

    1. Halo, Mbak. Terima kasih sudah berkenan mampir. Salam kenal juga, ya 🙂

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.