Tak hanya kami. Beberapa pendaki juga bergegas keluar rumah. Berebut tempat di halaman yang jadi tempat parkir motor. Semuanya serempak mengabadikan momen emas tersebut. Langit memerah dengan latar gulungan awan dan siluet Merbabu-Merapi di timur.
Beberapa waktu lalu saya, Eko, dan Aliko melihat Gunung Sumbing dari puncak Merbabu. Kali ini, ditambah Rendra, kami berempat akan melakukan hal sebaliknya.
PERJALANAN PANJANG
Usai sarapan, berkemas dan registrasi, kami memulai pendakian pada pukul 08.15. Kami sudah harus meniti tanjakan sejak awal mendaki. Mulanya berupa jalan cor kampung sampai gapura pendakian. Kemudian berganti makadam dengan dua lajur. Salah satunya berupa tangga, biasa digunakan bagi pejalan kaki. Baik pendaki maupun penduduk setempat yang mayoritas petani. Lajur lainnya digunakan untuk motor yang hilir-mudik mengangkut pupuk dan hasil pertanian.
Jalur pendakian sejauh 1,6 kilometer menuju Pos 1 didominasi vegetasi terbuka berupa lahan sayur dan tembakau. Terdapat sejumlah bak penampungan, yang saat musim kering seperti ini hanya satu-dua di antaranya berisi air.
Sesekali kami harus berhenti sejenak saat angin bertiup kencang dari arah timur. Kami harus menutup wajah dari debu-debu tebal yang beterbangan. Embusan angin agak berkurang begitu kami tiba di Pos 1, setelah berjalan 1 jam 45 menit dari basecamp.
Pos 1 di ketinggian 2.127 mdpl berupa gubuk sederhana. Beratap seng dan disangga batang-batang kayu. Dapat dibilang pos ini merupakan batas pergantian vegetasi menjadi hutan pinus yang teduh. Medan pendakian masih didominasi bebatuan yang menanjak sampai Pos 2.
“Kita istirahat makan siang di sini, yuk,” ajak saya setibanya di Pos 2 (2.458 mdpl). Jaraknya sekitar 1,3 km atau dua jam pendakian dari Pos 1. Sudah waktunya makan siang. Mengisi energi sebelum melanjutkan perjalanan. Kami rehat di pos ini selama kurang lebih satu jam. Kami banyak menjumpai pendaki di sini. Pos ini rupanya menjadi favorit pendaki untuk beristirahat, baik saat naik atau turun.
Pendakian dari Pos 2 ke Pos 3 (2.638 mdpl) adalah yang terpanjang di jalur Butuh. Jaraknya 1,9 kilometer. Meskipun begitu, treknya relatif datar. Pendaki biasa menyebutnya: banyak bonus. Medannya berupa jalan setapak melipir punggungan bukit, dengan sisi kanan jurang. Kami melewati beberapa aliran sungai kecil yang sedang kering karena kemarau.
Saat musim penghujan, pendaki harus berhati-hati karena licin dan debit air yang bisa tiba-tiba menderas.
Kami sampai di Pos 3 setelah sejam berjalan. Sempat terjadi diskusi cukup lama di antara kami. Apakah akan berkemah di sini atau di Pos 4. Setelah mempertimbangkan waktu, fisik, dan sempitnya Pos 3, kami sepakat melanjutkan pendakian ke Pos 4.
Jarak ke Pos 4, menurut alat GPS (Global Positioning System) yang kami bawa, sejauh 1,5 km. Pendaki-pendaki yang kami sapa di jalur hampir berkata sama. “Berat, Mas. Naik-turun punggungan,” begitu kata mereka.
Kami akhirnya merasakan sendiri. Tertatih-tatih. Perlu waktu hampir tiga jam perjalanan bagi kami untuk tiba di tempat berkemah Pos 4 (3.003 mdpl). Jika dihitung total sejak mulai mendaki, perlu waktu sembilan jam untuk mencapai pos yang ditandai dengan pohon tunggal yang sudah tak berdaun ini.
Sepanjang malam hingga pagi; selama masak, makan, dan tidur, kami tak henti berdoa agar tendanya mampu bertahan sampai esok hari.
MENUJU PUNCAK SUMBING
“Mas, bangun. Sunrise-nya apik,” kata saya sambil membangunkan Aliko, teman setenda. Sementara Eko dan Rendra sepertinya masih terlelap di tenda sebelah. Saya hanya keluar sejenak untuk memotret.
Seperti halnya trek menuju puncak Gunung Merbabu. Berdebu saat musim kemarau, dan licin saat musim penghujan.
“Tinggal 300 meter lagi,” ucap saya usai mengecek GPS. Puncak sebentar lagi.
Di antara bebatuan cadas, tiang besi berdiri kokoh menyangga merah putih yang berkibar keras. Di kejauhan, kami melihat sejumlah pendaki yang menggapai puncak di sisi jalur lainnya. Entah itu dari Banaran, Garung, Sipetung, Cepit, atau Bowongso. Masing-masing bertemu di salah satu puncak tertinggi yang mengepung kaldera Sumbing.
Mungkin di lain kesempatan, kami akan mendaki Gunung Sumbing dari jalur yang berbeda. Merasakan lagi keindahannya, yang bisa menghapuskan lelah karena beratnya jalur. Sabana luas di dalam kalderanya, lautan pasirnya (Segoro Wedi), kawah aktifnya, dan juga Puncak Rajawali.
Dan mungkin juga akan berteman angin kencang lagi. (*)
Tinggalkan Balasan