Pada suatu dini hari di halaman sebuah rumah. Di bilangan Kalasan, timur laut kota Yogyakarta. Terparkir sebuah mobil milik koperasi bandara. Sesosok laki-laki terduduk di kursi sopir. Jendela mobil terbuka sedikit. Hanya bisa dimasuki seukuran telapak tangan.
Usai subuh, terang menjelang. Seorang perempuan membuka pintu rumah. Dia agak tergopoh menuju mobil itu. Mulanya mengetuk kaca pintu sopir. Memanggil nama laki-laki yang tampak tak terusik di depan kemudi.
“Pak? Bapak?” Pria itu bergeming.
Raut wajah si Ibu berubah. Panik, dia mencoba membuka pintu. Klek! Ternyata tidak dikunci. Ia mengguncang-guncang tubuh lelaki yang masih saja diam. “Pak? Bapak?” Panggilannya tak berbalas. Refleks tangannya menyentuh wajah dan lengan pria paruh baya itu.
“Ya, Allah!” Teriak sang Ibu. Makin panik. Begitu dipastikan tak adanya embusan napas dan berhentinya denyut nadi, dia pun lunglai dan seketika pingsan. Pria yang terduduk di kursi kemudi itu, suaminya sendiri, telah meninggal dunia.
* * *
Duka itu masih membekas di benak Sri, sang istri. “Saat sadar, saya masih syok berat, mas,” katanya.
Kepergian suaminya begitu mendadak. Tidak hanya mengejutkan Sri, tapi juga ketiga anaknya. Selain itu juga mengguncang kondisi ekonomi keluarga.
“Suami saya pensiunan AURI tahun 1999, mas. Lalu jadi sopir taksi milik koperasi bandara sampai meninggal itu,” katanya. Sementara motor melaju dengan kecepatan di bawah 40 km/jam. Saya yang memboncengnya, sesekali melihat raut wajah dan gerak bibir Sri dari kaca spion kiri.
Lidah saya kelu. Tak menyangka Sri akan bercerita sejauh ini. Mulanya hanya obrolan yang umum: dari mana asal saya, ada urusan apa di Yogyakarta. Kemudian saya balas dengan bertanya di mana rumahnya, dan sebuah pertanyaan yang memantik ceritanya: sudah berapa lama ngojek?
“Dulu saya cuma ibu rumah tangga biasa, Mas,” tuturnya. Sepeninggal suaminya, pada tahun 2016 Sri memutuskan untuk mendaftarkan diri dan bekerja sebagai pengemudi ojek daring.
Sempat maju-mundur pada awalnya, karena Sri biasa mengurus rumah dan merawat ketiga anaknya. Keputusannya menjadi bulat usai salat istikharah. “Kalau saya gak kerja, anak saya makan apa, Mas?”
Lagi-lagi lidah saya kelu. Hanya mengangguk. Tenggorokan rasanya tercekat pahit.
Ketika tulang punggung utama keluarga kembali ke hadapan Tuhan, dunia serasa runtuh. Tapi ketiga buah hatinya jadi penguat hatinya untuk lekas bangkit. “Dua anak pertama itu perempuan, Mas. Anak pertama baru saja wisuda, yang kedua sudah kelas 3 SMA,” kata Sri. Anak yang terakhir, laki-laki, baru saja duduk di bangku SMP.
Meskipun demikian, Sri tahu batas dirinya. Perempuan berjilbab itu tidak ingin terlalu memforsir diri. Sebisa mungkin, sebelum jam 9 malam harus sudah di rumah. “Makanya kalau malam, saya gak pernah terima order yang jauh-jauh. Paling seputar kota saja, radius 2-3 km,” ujarnya. Setelah itu, dia pulang ke rumah.
“Apakah banyak pengemudi ojek lainnya yang kondisinya seperti Ibu?” saya bertanya.
Sri menggumam sejenak, seperti berpikir. “Kalau yang saya kenal, sih, ada beberapa, Mas,” jawabnya.
* * *
Sri melambatkan laju motor matik yang kami naiki. Berhenti tepat di depan sebuah kafe tujuan saya. Kawasan Demangan. Tidak jauh dari dua kampus swasta ternama di Yogyakarta. Saya akan bertemu dengan teman-teman bloger di sini.
Setelah Sri menuntaskan pesanan di aplikasi, jemarinya lincah berpindah ke aplikasi lain. Dia membuka galeri foto. Satu foto terbuka, ia perbesar dengan menggeser dua jemari yang menyentuh layar.
“Ini foto anak pertama saya, Mas. Sarjana ekonomi. Baru saja wisuda kemarin,” tunjuknya, “Sekarang lagi menunggu panggilan wawancara kerja dari beberapa bank. Doakan ya, Mas.”
Di foto itu, tampak Sri mengenakan jilbab dan kebaya. Berdiri bersanding dengan sang anak yang berpakaian toga. Mereka berfoto bersama usai prosesi wisuda di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Kini raut wajahnya berbinar. Gawainya dimasukkan kembali ke saku jaketnya.
Saya hanya bisa memberinya uang tip tambahan. Secukupnya. Ditambah ucapan terima kasih dan, “Tetap sabar dan semangat, ya, Bu.” Kami berjabat tangan.
“Monggo, Mas,” Sri pamit. Kembali ke jalanan yang padat siang itu.
Saya termenung sesaat di depan pintu kafe. Lalu masuk dengan menghela napas panjang. (*)
Tinggalkan Balasan