Panggil saja namanya Bay. Laki-laki berusia sepertiga abad itu menjawab pesanan saya dalam aplikasi ojek daring.
Saya memilih mobil untuk mengantar saya dari kos ke Stasiun Malang. Tanggapannya cukup cepat. Padahal selepas petang adalah waktu-waktu padat dan sibuk di kota Malang. Dan kadang posisi sopir sangat jauh dari tempat saya tinggal.
Persis setelah saya salat Magrib, Bay menelepon saya. “Mas, saya sudah di ruko kosong sebelah kos.”
Saya bergegas menuju tempat Bay menunggu. Saya memintanya membuka bagasi mobil 1.200 cc itu. Menaruh dua tas ransel, masing-masing berkapasitas 65 dan 30 liter yang terisi penuh.
* * *
“Malang mana, mas?” tanya saya, setelah menebak dialeknya yang khas. “Dinoyo, mas. Belakang kampus Unisma.” Kampus swasta yang di belakangnya ada perkampungan yang padat dengan gang-gang sempit.
Selain menjadi sopir secara daring, dia juga biasa menerima pesanan luring. Tamu-tamu yang dia antar, entah untuk urusan antar-jemput sekolah, kerja, hingga wisata, rata-rata pernah menggunakan jasanya lewat aplikasi sebelumnya.
Mengisi waktu dalam perjalanan menuju stasiun, saya mengajaknya ngobrol. Mulanya memancing topik tentang kasus korupsi berjamaah para anggota DPRD Kota Malang. Menyusul sang ketua dewan, kepala Dinas Pekerjaan Umum Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang tahun 2015, hingga wali kota petahana yang sudah mendekam di balik jeruji besi.
Sementara saya tertawa geli sendiri mendengar kasus tersebut, raut Bay justru terlihat biasa saja. Senyumnya tersungging, “Sebenarnya kayak gitu, apa ya, sudah biasa mas. Aku wis gak kaget.”
Menurutnya, tidak seluruh anggota dewan punya niatan seperti itu. Tapi mungkin paksaan atau tekanan dari partai yang membuat mereka terjebak. “Partai itu dalangnya, mereka cuma wayang.”
Saya cukup terkejut dengan responnya yang cukup bijak memandang persoalan tersebut. Tidak serta-merta menyumpah serapah atas perilaku anggota dewan dan pejabat pemerintahan.
Belum sempat saya bertanya lebih jauh tentang alasannya berpendapat seperti itu, tiba-tiba dia bercerita dengan sendirinya. “Aku dulu pakai narkoba, Mas,” katanya blak-blakan. Terang. Bak kayu bakar disulut api, ceritanya mengalir deras. Menyibak masa lalunya.
* * *
Bay pernah merantau dan bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu mal di Yogyakarta. Dua tahun, selama periode 2013-2014. Di pengujung tahun kedua pekerjaannya, dia memutuskan untuk keluar. “Ada perubahan kebijakan dari manajemen mal soal pengelolaan sampah dan limbah mal. Jadi, tenaga-tenaga seperti kami tidak dipakai lagi,” katanya.
Tatapannya tetap fokus ke depan. Memperhatikan lalu lintas yang cukup padat di sekitar daerah Pasar Tawangmangu. Sekitar 3 km sebelum stasiun.
Dia pulang ke kampung halaman. Membawa sedikit uang pesangon dan rasa frustrasi. Ia tak langsung kembali ke rumah orangtuanya di Dinoyo.
Setibanya di Malang, Bay memilih menemui teman-teman sepermainan semasa sekolah. Tanpa bermaksud menghakimi, dia menyebut teman-temannya sebagai kelompok orang yang lama bergelut di dunia hitam. Bukan lingkungan pergaulan yang baik.
“Aku kenal obat-obatan dari mereka, Mas,” katanya. Meskipun begitu, dia berkelakar. “Tapi kami gak berani perkosa orang, masih tabu di kalangan preman Malang.” Saya tertawa.
Di suatu waktu, aktivitas Bay dan teman-temannya tepergok polisi. Mereka digelandang dan diadili. Suasana penjara yang pengap dia rasakan. Hukumannya tidak terlalu berat, sebenarnya. Karena dia pemakai, bukan pengedar.
Setidaknya setelah dikurung hampir setahun, dia dan teman-temannya dinyatakan bebas bersyarat.
Perjalanan hidup selanjutnyalah yang sempat dia rasakan berat. Saat kembali ke kampung.
* * *
“Aku langsung sungkem ke orangtua. Lalu sowan ke Pak RT,” ujarnya. Saat bertemu dengan Pak RT, dia mendapati kenyataan yang cukup pahit awalnya.
Bay masih ingat, Pak RT bicara atas nama warga kampung, ‘Maaf, mas, sepertinya sampean belum diizinkan tinggal di sini untuk sementara.’
“Warga pada takut sama orang-orang bekas tahanan penjara kayak aku, Mas,” kata Bay. Bahkan bagi sebagian warga, bekas narapidana seperti Bay dianggap bajingan. “Tapi aku nerimo ae, Mas. Bajingan yo wis,” cetusnya. Baginya, yang penting dia sudah berhenti dan berubah jadi lebih baik. Tanpa perlu berkoar-koar kencang, membuat pengumuman pertobatan.
“Aku gak terlalu peduli orang-orang ngomong apa. Nanti waktu yang membuktikan, ada saatnya gantian aku yang tertawa.” Bay seolah berkata kepada kita, jangan mudah menghakimi seseorang atas perilakunya.
“Hidup itu untuk berproses, Mas. Setiap orang punya jalannya sendiri. Kayak roda: kadang di atas, kadang di bawah,” jelasnya kalem.
Saya terdiam. Tercekat. Saya jadi teringat penggalan lirik lagu Banda Neira, Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti:
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Akhirnya kami tiba di stasiun. Saya turun dan mengambil kedua tas di bagasi. Kami berjabat tangan erat. “Hati-hati ke Jogjanya, yo Mas!”
Udara kota Malang yang dingin malam itu terasa hangat bagi saya. Terpapar pelajaran hidup yang suam dari pribadi Bay yang kini bestari. (*)
Tinggalkan Balasan