Saya menempati kamar di lantai dua rumah berarsitektur sasando. Strukturnya dari tiga jenis bambu berbeda: Bambu betung untuk tiang, bambu hutan untuk atap, dan bambu biasa untuk hiasan.
Butuh biaya 30 juta untuk membangun utuh rumah sasando bertingkat. lebih mahal dari dua rumah bambu satu lantai di Sebelahnya. Uang segitu sama dengan modal memermak satu mobil angkutan kota di Kupang, yang penuh aksesori dan full music.
“Kalau gak modal, penumpang gak akan mau naik,” kelakar Oddy Mesakh, pemilik OCD Beach Café & Hostel. Kami mengobrol di malam pertama saya tiba di Kupang. Ditemani kopi hitam dan nasi goreng.
OCD sendiri adalah akronim Oddy, Connie (istri), dan Dio (anak laki-laki). Usaha kafe dan penginapannya mengusung konsep etnik dan menyatu dengan alam. Menyatu dengan kawasan Pantai Lasiana seluas 3,5 hektar.
Bambu digunakan untuk konstruksi bangunan dan dipan. Selain itu Oddy juga menggunakan kayu, alang-alang dan daun pohon kelapa untuk atap. “Bambu dan arsiteknya saya datangkan langsung dari Bandung,” kata Oddy.

Kamar yang saya tempati berkapasitas 4-5 orang. Isinya dipan yang diisi matras, meja, kipas angin, dan colokan. Sangat lapang. Sedangkan kamar di lantai bawah dan dua rumah bambu di sebelahnya berkapasitas dua orang. Rata-rata tarifnya Rp 200-250 ribu per malam untuk dua orang. Tersedia kamar mandi dalam dan luar.
Listriknya dari panel surya. “Pasangnya memang mahal, tapi perawatannya murah dan awet,” ujar Oddy.
OCD Beach Café & Hostel menjadi pilihan terbaik bagi wisatawan yang ingin menginap dengan suasana kembali ke alam. Mendengarkan gemuruh ombak dan semilir angin pantai.
Di dalam kafe, ada beberapa toples kaca kecil berisi biji-biji kopi nusantara. Mulai dari Aceh, Toraja, Flores hingga Timor. Sejumlah koleksi buku menarik untuk dibaca. Menu kuliner andalannya mulai dari seafood hingga kelapa muda. Semua itu dinikmati di tempat yang jaraknya tak sampai 8 kilometer dari Bandara Internasional El Tari, Kupang.
Tiba-tiba Oddy bangkit dari duduknya. Masuk sebentar ke kafe, lalu kembali membawa sesuatu. “Lihat ini. Yang melukis si Tayuko Matsumura, cewek Jepang,” kata Oddy. Dia menyodorkan ke saya sebuah buku menu seukuran foto 5R.

Ia menelunjuk bagian sampul putih. Menggambarkan sketsa berwarna bagian depan OCD Beach Cafe & Hostel. Bangunan kafe dan penginapan diwarnai cokelat. Daun lontar dan kelapa diwarnai hijau. “Pertama dia datang ke sini, dia gak banyak omong. Langsung duduk tenang di halaman kafe dan melukis saat itu juga!”
Saya bertemu Tayuko keesokan harinya. Ia baru pulang berkelana dari Atambua. “Saya suka di sini. Kupang rumah kedua saya,” katanya dalam bahasa Indonesia fasih. Tanda sudah lama berada di Indonesia. Kami bercakap-cakap singkat saat dia menyeduh kopi Sidikalang.

Di balik tampilannya yang sederhana, sejatinya ada kemewahan tersendiri. Kemewahan yang natural. Di hari kedua menginap, saya berjalan ke tepi pantai kala sore. Dibelai angin pantai yang menggoyangkan dahan lontar dan kelapa.
Jelang petang, saya merapat ke tepi laut. Menyaksikan anak-anak ceria bermain bola tanpa gawang. Menikmati terbenamnya senja. (*)
Cerita obrolan saya dengan Oddy dapat dibaca di tautan ini.
Tinggalkan Balasan