“Saya juga asli Pacitan, Mas,” katanya. Ia menyebut kota kelahirannya. Desanya, Ketro, berjarak satu jam ke arah timur kota Pacitan. Berlika-liku jalannya.
Obrolan kami bermula darinya usai saya kencing. Basa-basi biasa. Menanyakan asal dan urusan saya di Solo. “Kami baru saja dari Pacitan. Ngantar nenek, lalu liburan ke sini,” kata saya.
Lalu saya jongkok di samping lelaki ceking itu. Kami bertukar cerita di depan kamar mandi yang dijaganya. Nylempit di pojok lantai empat Pusat Grosir Solo.
Namanya Revan, jejaka kelahiran 26 tahun lalu. Sulung dari tiga bersaudara itu sudah lima tahun merantau ke kota Solo. “Kalau di Pacitan, saya bingung mau kerja apa. Mending merantau,” ujarnya.
Sembari menunggu bapak dan adik saya (yang juga nyusul) memakai toilet, kami bertukar cerita. Sementara ibu saya masih keliling dari kios ke kios. Berburu batik dan mukena.
Percakapan kami terhenti sesaat. Dia bergegas mengambil tongkat pel dan cairan pembersih.
Jalannya pincang. Kaki dan telapak tangan kirinya tidak tumbuh sempurna. Tapi Revan cukup sigap. Selang beberapa menit, terutama jika sedang banyak pengguna toilet, dia segera masuk dan mengepel.
Sesekali ia harus masuk membawa alat penyedot. Seperti saat itu, satu bilik di toilet wanita sedang buntu usai dipakai. Harus segera ditangani. Seyogianya, pihak manajemen sudah waktunya meningkatkan kualitas kamar mandi yang sudah ada.
Penghasilannya sebagai penjaga jamban pas-pasan. Hanya 850 ribu per bulan. Tanpa sif. Tanpa uang makan. Bahkan lebaran kemarin dia tidak pulang. “Cuma dapat libur satu hari, mas.”
Sedikitnya jatah libur yang dia punya, sampai Revan tak sempat berpikir jodoh. “Dua adik perempuan saya sudah menikah, Mas,” katanya. Saya menyahut, “Wah, keduluan ya, Mas, hehe.”
Revan tertawa kecil. “Sudah disuruh-suruh orang tua, sih. Tapi saya belum mau.”
Untuk menambah penghasilan, Revan lanjut bekerja malam harinya. “Saya lagi kerja sambilan jadi operator bego di Kemalang. Sampai jam 2 pagi.” Pagi sampai sore jaga jamban di Solo, malam hingga dini hari mengoperasikan alat berat di Klaten. Setiap hari.
Berarti jam istirahat di rumah kontrakannya: lepas jam 2 hingga 7 pagi. Pukul 7.30 Revan sudah harus siap di depan peturasan yang jadi jatahnya.
Perlengkapan kerjanya sederhana. Alat pel ditaruh dekat pintu toilet. Seragamnya kemeja biru langit, celana kain, dan sepatu kets. Tempat duduknya kursi plastik merah bersandar dinding. Dan sebuah meja kecil yang terdapat kotak kayu di atasnya. Kotak retribusi kebersihan.
Kotak berwarna cokelat itu tidak selalu penuh. Padahal pengguna toilet wira-wiri. “Pernah ada orang cuma ngisi 200 rupiah,” katanya. Sebiji koin perak itu dia temukan di antara uang-uang kertas. Rata-rata dua ribu rupiah, sesuai tarif yang dipatok. Tapi baginya, 200 rupiah masih mending daripada tidak mengisi sama sekali.
Padahal, setiap sore di pengujung jam kerjanya, selalu ada setoran ke manajemen pasar. Saya teringat kisah penjaga salah satu jamban di Kebun Raya Bogor. Pemasukan yang juga dihitung uang makan, sangat tergantung berapa yang dia peroleh dalam sehari. Karena harus dipotong sekian persen untuk setoran ke pengelola. “Disyukuri saja, mas. Cukup gak cukup, dicukup-cukupkan,” kata Revan lirih.
Sepuluh menit kemudian, bapak dan adik saya tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Revan. Kelar menuntaskan hajat. Sejumlah uang masuk ke kotak. Tanda waktu memisahkan kami.
Saya lekas berdiri. Dia juga ikut berdiri. Saya jabat tangannya erat. Berpamitan.
Dia tetap di tempat kerjanya. Di sudut pasar. Di balik sekat dinding kios-kios penuh aneka rupa produk.
Revan melanjutkan rutinitasnya. Duduk di atas kursi plastik merah. Mengawasi kotak retribusi.
Kemudian mengepel. Menyedot jamban yang buntu. Lalu duduk lagi. Kisah perantauannya masih berlanjut di depan peturasan. (*)
Tinggalkan Balasan