Saya berdiri di bawah atap Pos III, menghadap dan menatap nanar Bukit Penyesalan. Begitu pun keempat rekan setim.
Kami sudah melahap separuh perjalanan dari Desa Bawak Nao, titik awal pendakian.
* * *
Selanjutnya, kami akan beranjak dari ketinggian sekitar 1.800 mdpl (meter dari permukaan laut), menuju Plawangan Sembalun di ketinggian sekitar 2.639 mdpl. Hampir satu kilometer vertikal menapaki tanjakan yang seolah tanpa ujung.
Lambat laun berjalan, saya terbayang Alas Lali Jiwo, Gunung Arjuno, Jawa Timur. Pendakian ke puncaknya juga mirip seperti ini. Menapaki tanjakan dengan sudut
kemiringan yang bikin mengurut lutut.
Kedua gunung ini kompak memberi harapan palsu dengan bukit-bukit yang menipu sebelum puncak. Saat tiba di ujung bukit dengan napas tersengal, kabut tersingkap.
Membuka “tabir” di baliknya. Di depan, terbentang tanjakan bukit yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Tapi setidaknya mendung yang mulai bergelayut siang itu harus disyukuri. Sinar matahari tak sampai menembus tanah. Memberi keteduhan. Kami tetap berkeringat, meski tak sederas berjalan di bawah terik yang menyengat.
Saya mendekati seorang porter yang sedang istirahat. “Pak, Plawangan Sembalun masih jauh?” tanya saya. Sejenak dia menoleh dan menelunjuk ke arah Plawangan Sembalun. “Tinggal dua bukit lagi, Mas. Yang di depan ini pendek lalu ketemu tanah datar,” jawabnya lalu menyesap rokok sesaat.
Saya hanya mengangguk. Saat asap masih mengepul, dia buru-buru menambahkan, “Nah, trek setelahnya baru agak panjang sampai Plawangan, hehehe,” jawabnya terkekeh.
Setelah melewati tanjakan yang cukup panjang, mungkin yang terakhir, terdengar sayup-sayup suara orang. Semakin kami menanjak, suara itu semakin dekat. Seakan diberi harapan bahwa keberadaan kami sudah dekat, kami mempercepat langkah.

Plawangan Sembalun
Tanjakan demi tanjakan Bukit Penyesalan akhirnya berujung. Setelah 3,5 jam berjalan dari Pos III, akhirnya kami menginjakkan kaki di Plawangan Sembalun. Punggungan yang datar memanjang, berbatas jurang dalam. Posisinya setinggi shelter Kalimati di Gunung Semeru.
Saya meletakkan tas ke tanah. Pundak terasa enteng. Saya mengecek kedua lutut. Syukurlah masih utuh.
Saya kemudian berdiri menghadap ke arah Sembalun. Halimun yang menemani selama mencumbui tanjakan-tanjakan Bukit Penderitaan, kini terselak di Plawangan Sembalun.
Halimun bergeser ke bukit-bukit di bawah. Melayang tersebar.
Tersisa ruang cerah di antara selubung mega yang telah purna menurunkan hujan. Segaris jingga memberi batas di garis cakrawala. Perpisahan yang manis dari sang senja. Ada semangat baru yang tumbuh sebelum lanjut ke puncak dini hari nanti.
Menuju Singgasana Sang Dewi
“Kalian bangunnya telat,” ujar Muhammad, porter penjaga tenda kami. Saya yang masih belum sepenuhnya sadar, mengecek arloji yang menunjukkan pukul 02.00. Kami ertidur
cukup pulas. Tanjakan Bukit Penyesalan benar-benar melelahkan.
Layaknya kegiatan sebelum muncakpada umumnya, kami bergegas menyiapkan perlengkapan “tempur”. Baik bekal makan, minum, maupun perlengkapan yang melindungi tubuh. Tak lupa alat dokumentasi.
Sekitar sepertiga malam terakhir, kami mantap melangkah meninggalkan tenda. Kami titipkan tenda dan seisinya pada Muhammad. “Hati-hati di jalan, ya!” pesannya lantang.
Kami bukan satu-satunya kelompok yang mendaki ke puncak. Selain pendaki dalam negeri, tak sedikit pula beberapa pendaki mancanegara. Umumnya mereka didampingi pemandu setempat. Jangkauan kakinya yang panjang, membuat mereka berjalan lebih cepat daripada kami.
Setelah berjalan di atas trek yang cukup datar, kini berganti trek berpasir yang pendaki sebut “Letter E”. Konturnya menyerupai huruf “E”. Berkelok, menanjak. Meski tak seberat trek berpasir ke puncak Semeru, tetap tak terasa mudah. Kami berjalan santai,
sembari merekam semburat fajar yang mulai muncul di garis cakrawala.
Melihat dan menikmati matahari terbit dari lereng gunung tak kalah menyenangkan. Tetap saja indah dari mana pun ia disambut. Kebanyakan pendaki mancanegara sudah berada di puncak saat ini. Setibanya di puncak, memotret, lalu langsung turun saat itu juga.
Rupanya matahari pagi membiaskan bayangan puncak jatuh ke atas danau. Layaknya
piramida berujung lancip. Kesannya begitu perkasa dan angkuh. Ia tak gegar digoyang angin maupun gulungan-gulungan awan.

Setelah berjalan hampir 4,5 jam dari Plawangan Sembalun, kami akhirnya tiba di puncak Gunung Rinjani. Rasa lelah hilang, berganti gembira menyeruak. Tak ada lagi derita Bukit Penyesalan. Yang tersisa adalah semangat yang terus tumbuh dan rasa bangga karena telah berhasil berdiri di titik tertinggi gunung ini.
Kami serempak bersujud tanda syukur. Melekatkan dahi di atas tanah berdebu dan penuh batu. Rasa haru juga menyelimuti kami, yang memijakkan kaki di singgasana Dewi Anjani. Di puncak gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia, setelah Gunung Kerinci.
Puncak sang dewi cukup sempit. Kami harus bergantian menikmati momen dengan pendaki lain. Tapi tujuan kami sama. Merayakan secara sederhana pencapaian ini.
Dari puncak, saya dapat melihat ketiga gili yang populer itu di Selat Lombok. Semakin ke barat, Gunung Agung di Bali yang tampak berkaki kabut.

Segara Anak
Seperti halnya Ranu Kumbolo, danau seluas 14 hektar di Gunung Semeru, keberadaan danau di gunung berapi menjadi favorit pelepas lelah. Bahkan, pendaki mungkin lebih betah berkemah di tepi danau berhari-hari daripada mengejar puncak tertinggi.
Dua malam terakhir setelah dari puncak, kami habiskan dengan berkemah di tepi danau Segara Anak. Danau yang luasnya hampir 80 kali lipat dari Ranu Kumbolo itu beriak tenang.
Suasana mendamaikan terasa sejak terbangun di pagi hari. Refleksi yang terpantul di permukaan danau membuat pikiran kembali segar. Seketika kami seperti terkurung, dikepung dinding tebing terjal nan kokoh.
Kami hanya perlu waspada dengan gerombolan kera yang kerap muncul. Mereka setiap
saat bisa mengambil bekal dari pendaki yang lengah. Selain itu, sampah anorganik masih dijumpai di beberapa titik. Sama seperti di Plawangan Sembalun. Tak mudah menjadi pendaki yang bertanggung jawab dan memiliki kepedulian pada lingkungan.
Kami berempat sepakat. Dua malam berkemah di tepi Segara Anak begitu menyegarkan tubuh. Ditambah berendam di kolam air panas tak jauh dari sana. Kami bagai baterai yang telah diisi ulang. Siap menapaki perjalanan pulang yang masih panjang.
* * *
Tulisan ini dimuat dalam Rubrik Traveller Story hal. 88-93, Sriwijaya Inflight Magazine Edisi 86, April 2018. Untuk foto lebih lengkap, dapat dilihat di tautan berikut.
Foto sampul:
Danau Segara Anak, Gunung Rinjani
Tinggalkan Balasan