Keberangkatan dari Bandara Juanda, Sidoarjo, adalah sepak mula hal-hal yang mengejutkan bagi saya. Mencecap pengalaman-pengalaman baru dan seru. Karena, semuanya serba pertama. Termasuk urusan makan. Menu apa yang dimakan, dengan siapa dan di mana kami makan.
Seperti saat itu, Sabtu pagi yang cerah di Pelabuhan Rum, Kota Tidore Kepulauan.
Setelah puas memotret pemandangan sepanjang Ternate-Rum, ada aba-aba untuk berkumpul. Muhammad Gathmir membawa kresek hitam berisi belasan nasi bungkus. Menu sarapan telah datang.
Tanpa komando berlebihan, kami tergerak sendirinya untuk duduk melingkar. Di atas lantai kayu dermaga. Di tengah lalu-lalang pengguna jasa pelabuhan. Di tengah kesibukan awak kapal mengangkut motor penumpang. Di tengah hiruk-pikuk, kami dengan santainya membuka bungkusan dan melahap isinya: nasi uduk, ikan goreng, mi goreng, telur balado, dan sambal. Sesekali bergeser memberi jalan penumpang dan motor yang akan naik kapal.
* * *

Pelabuhan Rum itu sederhana saja. Dari tepi jalan raya, penumpang masuk melalui pos retribusi. Kemudian langsung terhampar dermaga kayu berbentuk “T” dan beratap seng. Terdapat dua sisi dermaga yang masing-masing untuk bersandar kapal kayu dan speedboat.
Pedagang jajanan, buah, dan minuman ikut menyemarakkan Rum. Usai sarapan, sebagian di antara kami sempat membeli jajan manisan pala. Saya sendiri ikut mencicipi jajanan khasyang dibeli Bu Woro tersebut. Rasanya agak sepat, tapi nagih.
Beberapa menit kemudian, rombongan penjemput kami telah tiba. Termasuk di antaranya adalah Yakub Husain, Kepala Dinas Pariwisata Kota Tidore Kepulauan. Para rombongan bergegas memasuki mobil.
Tapi belum setengah kilo berjalan, konvoi mobil yang kami naiki berhenti. Ada instruksi untuk turun sebentar.
Tiba-tiba, alunan kendang menghentak. Tiga orang laki-laki berpakaian serba putih dengan pengikat kepala merah memasuki “arena”. Di atas aspal yang sanggup membuat kulit melepuh, mereka lincah menari tanpa alas kaki. Mengayun-ayunkan pedang dan tameng panjang. Gerakannya seirama dengan kendang yang ditabuh cepat.
Saya dan rekan-rekan bloger yang baru pertama ke Tidore, sama-sama kagum dengan tarian yang ditampilkan. Sekali lagi, tanpa alas kaki!

Seusai sambutan Tari Kapita, Yakub Husain mengalungkan rangkaian bunga ke leher kami. Satu per satu. Sebagai ucapan selamat datang secara simbolis. “Selamat datang,” kata pria Gurabunga itu.
Setelah mengobrol singkat, orang nomor satu di kepariwisataan Tidore tersebut mengajak kami keluar dari jalan aspal. Turun sedikit ke dataran yang teduh. Persis di pinggir laut. Di sana terdapat sebuah tugu dikelilingi pagar tembok. Di salah satu sisi, melekat marmer hitam vertikal. Diukir kata-kata berwarna emas dalam tiga bahasa: Spanyol, Indonesia, dan Inggris.

Tugu tersebut dibangun Kedutaan Besar Spanyol untuk Indonesia pada 30 Maret 1993. Tujuannya untuk mengenang sejarah. Memperingati kedatangan kapal-kapal ekspedisi bangsa Spanyol di Tidore, pada 8 November 1521. Para awak kapal “Trinidad” dan “Victoria” tersebut dipimpin oleh Juan Sebastian De Elcano. Ia meneruskan ekspedisi yang awalnya diemban oleh Ferdinand Magelhaens, atas perintah Kerajaan Spanyol. Ferdinand Magelhaens meninggal di Filipina, di tengah pelayaran.
Di depan tugu ini, kami mendapat informasi penting. Pada 2021, Tidore akan menjadi tuan rumah sekaligus tujuan terakhir dalam “Napak Tilas Ekspedisi Magelhaens”.
Sebuah momentum yang seharusnya melecut semangat. Kesempatan besar untuk membawa Tidore kembali lebih dikenal. Menegaskan kepada Indonesia dan dunia, bahwa sejarah hebat pernah terukir di pulau ini.
* * *
Rasa kantuk kembali mendera di perjalanan, setelah berhenti sejenak untuk foto-foto di Tanjung Mafututu. Saya memang kurang tidur sejak berangkat dari Bandara Juanda. Tapi rasanya sayang melewatkan pemandangan yang dilalui.
Sempat terpejam, mata saya akhirnya benar-benar melek ketika mobil memasuki halaman sebuah rumah besar. Mobil berhenti dan parkir di sini.
Ketika keluar dari mobil, embusan kesejukan membelai kulit. Padahal waktu sudah tengah hari. Matahari sedang terik-teriknya. Tanaman-tanaman yang ada di halaman menjadi sumber keasrian itu.
Kami berjalan di atas paving menuju belakang rumah utama. Rupanya ada beberapa gazebo kayu di sana. Tempat makan. Lokasinya berada di tepi pantai yang dinamai sama dengan nama restoran ini, Safira. Rumah makan ini awalnya berada di daerah Kotambopo sejak 2003. Lalu pindah ke kawasan kampung Goto, Soasio, pada 2008.

Di restoran Safira Beach (instagram: @safirabeachresto) milik H. Awat ini, kami melanjutkan kelana rasa yang dimulai dari Rum tadi pagi. Makan siang yang sejatinya masih terlalu dini, meskipun sudah masuk waktunya. Perut kami masih cukup kenyang dengan sajian nasi bungkus porsi kuli saat sarapan.
Tapi hidangan sudah tersaji di meja. Aromanya sudah menggoda. Dan ini kesempatan terbaik untuk mengenali kuliner khas Tidore lebih dalam.
Sebelum makan, sesosok perempuan berjilbab menghampiri kami di gazebo panjang ini. Sumitri, istri sang pemilik restoran sempat menjelaskan nama-nama makanan yang dihidangkan.

Perempuan kelahiran Pekalongan itu satu per satu menyebut nama-nama yang kian menggugah selera. Mulai dari kakap merah; yang dibakar dengan rica-rica pedas, sup ikan kakap yang berkuah asam karena campuran tomat dan jeruk nipis, tumis sawi, sambal dabu-dabu (irisan bawang dan tomat mentah), hingga sambal balado.
Tak lupa yang khas dan nagih adalah gohu. Bahannya dari ikan tuna segar mentah yang dicampur beberapa bumbu masak seperti air lemon dan kemangi, kemudian disiram dengan minyak kelapa mendidih sampai matang.
Gohu, biasa dimakan bersamaan dengan kasbi; sejenis roti dari parutan singkong. Parutan ini dipanggang dalam gerabah dan dipanaskan di atas bara kayu bakar. Biasa juga disebut sebagai sagu singkong. Keduanya adalah perpaduan nikmat, asalkan ikan yang menjadi bahan baku utama benar-benar segar. Langsung tangkapan dari laut.
Usai makan, Sumitri mengajak kami untuk melihat dapur pembuatan lapis Tidore (instagram: @lapistidoresafira). Tapi sebagian dari kami, termasuk saya, memilih tetap bertahan di saung kayu. Di tengah guyuran hujan yang sempat turun, kami melahap sedikit-sedikit sajian yang tersisa.
Gemercik lautan kembali tenang setelah hujan reda. Di sisi luar rumah utama yang menghadap pantai, ada suguhan pertunjukan kecil. Petikan gitar Koken dan suara Erros mengalun merdu. Penutup makan siang yang menenangkan.
Tapi satu yang tetap: perut saya masih kenyang.
* * *

Rupanya tema hari pertama–sekaligus kejutan–di Tidore adalah kuliner. Perut “digempur” beragam kuliner khas pulau tetangga Ternate itu. Nama-namanya sangat asing di telinga, tapi sesuai di lidah.
Maka begitu sorenya tiba di Penginapan Seroja, Kelurahan Soasio, rasanya begitu lega. Saya berpikir, nanti malam tidak usah makan berat. Menyantap yang ringan-ringan saja.
Tapi ternyata saya harus menjilat ludah. Ketika Anita Gathmir memberitahu bahwa agenda selanjutnya adalah naik ke Gurabunga. Akan ada Festival dan Bazaar Gurabunga.
Saya mengelus perut. Ingin rasanya memilih jalan kaki ke Gurabunga. Membakar lemak dan kalori. Bukan demi berat badan ideal. Melainkan agar muat diisi makanan lagi.
Sepertinya tema kuliner terus berlanjut. Masih hari pertama di Tidore.
Foto sampul:
Kasbi, sejenis roti dari parutan singkong atau biasa disebut sagu singkong
Lomba menulis blog dan kegiatan selama di Tidore, terselenggara atas peran Ngofa Tidore beserta pihak-pihak sponsor terkait:
Tinggalkan Balasan