Roda pesawat menyentuh aspal landasan pacu. Meskipun bersabuk pengaman, saya tetap tersentak. Tubuh yang duduk tegak sempat terangkat satu-dua kali. Lalu condong ke depan beberapa saat. Kedua telapak tangan mencengkeram pegangan kursi.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara spoiler dan sirip menderu dari kedua sayap pesawat. Seperti berada dalam bus yang direm mendadak ketika kendaraan di depannya melambat.
Tepat beberapa meter sebelum ujung landasan, pesawat melambat dan langsung putar balik. Menuju apron Bandara Sultan Babullah, Ternate.
Untuk pertama kalinya, saya bersama Zulfa dan Eko menginjakkan kaki di wilayah Provinsi Maluku Utara. Dua jam lebih cepat dari Jawa.

* * *
Siang sudah beralih sore. Sebuah pesan singkat masuk ke gawai saya. Dari Zulfa, mengabarkan bahwa ia berangkat sekarang ke Bandara Juanda. Perempuan berjilbab yang pernah kuliah di India itu memilih berangkat lebih awal. Mengantisipasi macet, katanya.
Saya melihat jam di gawai. Masih pukul 15.00. Baru saja azan asar berkumandang.
Sekitar pukul 16.30, saya memutuskan untuk berangkat ke Bandara Juanda. Saat menunggu taksi di rumah, Zulfa kembali mengirimkan pesan singkat. Ia sudah tiba di bandara sekitar setengah jam yang lalu. “Tunggu, ya, mbak,” balas saya.
Saya menemuinya di belakang meja pusat informasi. Dekat musala yang terletak di bawah eskalator menuju hotel bandara. Perempuan yang aktif sebagai citizen journalist di salah satu stasiun televisi swasta itu, baru saja menunaikan salat asar.
Menjelang petang, kami bergegas menuju loket check-in. Kami sepakat untuk salat magrib di musala dekat ruang tunggu.
Sementara itu di provinsi tetangga, Jawa Tengah, Eko sedang dalam separuh perjalanan darat yang cukup panjang. Dari rumahnya di Pemalang, menumpang travel menuju Bandara Adisutjipto. Ia akan terbang ke Makassar dari Yogyakarta.
* * *

Waktu menunjukkan pukul 23.00 WITA. Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, ini masih sibuk. Usai melapor ke loket transit, saya dan Zulfa berjalan menuju ruang tunggu. Dekat pintu keberangkatan sesuai tertera pada boarding pass.
Kami duduk di barisan kursi paling depan. Masih kosong. Dekat dengan pendingin udara, dan yang paling penting: stop kontak. Kesempatan untuk mengisi ulang daya baterai gawai saya.
Sebelum mengecas, saya coba menelepon Eko. Memastikan posisinya. Tidak nyambung. Berarti belum sampai.
Seorang laki-laki berkerpus duduk persis di sebelah saya. Penumpang berperawakan khas Papua itu dengan ramah bertanya, “Permisi, toilet di manakah?”
Saya tak cepat menjawab. Sedikit menerka. Melihat ke arah replika kapal pinisi. Seingat saya toilet ada di sekitar situ. Saya lalu beranjak dari duduk. Saya memutuskan untuk mengantarnya ke toilet, alih-alih asal menelunjuk. “Mari saya tunjukkan ke Bapak.”
Mendekati pukul 12 malam, saya kembali menghubungi Eko. Kali ini tersambung. Saya menanyakan posisinya di mana.
“Lagi ngecas hape di tiang-tiang besar itu, lho. Kalian di mana?” Eko balik bertanya.
Saya menjawab, “Di dekat gate. Ke sini saja. Di sini juga ada tempat untuk mengecas.” Saya menutup panggilan.
Tak lama, sosok bersahaja itu muncul. Memanggul tas ransel dan tas selempang hitam.. Berkaus merah dengan tulisan-tulisan yang menandakan dia dan saya adalah penggemar berat klub yang sama: Liverpool FC.
Saya bergegas mengambil kamera. Mengajak Zulfa dan Eko berswafoto. Melaporkan keberadaan kami di grup Whatsapp yang baru dibuat Ngofa Tidore beberapa pekan sebelum keberangkatan.
* * *

Saya susah memejamkan mata. Sementara Zulfa dengan nyaman terlelap di kursi, saya malah mencoba mencari pengisi perut. “Mas Eko, saya beli roti dulu. Sama sekalian coba tidur di dekat kios sana,” kata saya kepada Eko. Ia mengangguk. Melanjutkan aktivitas mengamati sekitar. Juga dengan gawainya yang sedang dicas.
Saya beranjak ke toko roti di dekat replika kapal pinisi. Membeli dua bungkus roti seharga Rp20.000. Berharap setelah cukup kenyang bisa segera terlelap.
Saya makan tak jauh dari kios roti. Duduk di deretan kursi kosong. Menghadap apron. Setelah habis, saya mencoba berbaring dan memejamkan mata.
Tapi belum juga 10 menit, saya harus terbangun karena kaget.
Biak! Biak!
Suara nyaring dari petugas melolong di ruang tunggu keberangkatan yang lapang ini. Dan beberapa jam setelahnya, akhirnya saya memutuskan tidak tidur.
Bandara yang menjadi pintu gerbang Indonesia Timur ini kian bergeliat jelang subuh. Sepertiga malam terakhir rupanya menjadi jam-jam keberangkatan penerbangan menuju kawasan Indonesia Timur. Khususnya Papua dan Papua Barat.
Para petugas bekerja keras. Tak cukup mengumumkan lewat mikrofon. Beberapa di antara mereka berteriak sambil keliling memastikan penumpang.
Dini hari menjadi jam sibuk di bandara ini. Panggilan terakhir (last call) berulang kali diteriakkan petugas. Meskipun berhasil membangunkan penumpang sasaran, pekerjaan belum berhenti.
Mereka masih harus mengarahkan penumpang yang lokasi menunggunya (atau tidur) berjauhan dengan pintu keberangkatan. Misalnya, penumpang menunggu atau tidur di Gate 5, sementara pesawatnya akan terbang dari Gate 1. Kami jadi melihat pemandangan menarik. Baik petugas dan penumpang sama-sama berlari. Tergopoh-gopoh.
Begitulah terulang untuk tujuan ke timur lainnya. Merauke, Jayapura, hingga Sorong. Sampai akhirnya tiba giliran kami. Pukul 04.25, petugas memanggil kami dan para penumpang pesawat tujuan Ternate.
* * *

Tiba-tiba saya terbangun. Mata sepet. Tidur yang sangat sebentar. Zulfa yang duduk di sisi jendela juga sudah bangun. Ia mengeluarkan kamera. Merekam pemandangan pagi.
Melihat ke jendela kanan, pemandangan mulai terlihat. Pagi beranjak terang. Pendar cahaya keemasan mewarnai mega yang berarak. Saya mengikuti langkah Zulfa, mengabadikan pemandangan yang kami lihat.
Ketika melihat ke baris kursi di belakang kami, Eko masih terlelap. Raut kelelahan tampak, setelah melakoni perjalanan yang cukup panjang. Perjalanan darat dari Pemalang ke Jogja, lalu terbang ke Maros.
Para pramugari kemudian hilir mudik di lorong kabin. Membagikan sarapan kepada penumpang. Saat itu pula Eko terbangun.
Suara pramugari bergema di kabin pesawat. Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Tak lama kemudian terasa ketinggian pesawat perlahan menurun.
Saya kembali melihat jendela. Melihat pulau-pulau yang berserakan di lautan. Meskipun sudah mencoba mengingat gambaran peta Provinsi Maluku Utara, saya masih belum bisa menerka yang mana Ternate, Tidore, Maitara atau Halmahera. Semua tampak sama.
Belakangan saya baru tahu. Daratan luas yang di atasnya tadi menjadi tempat pesawat memutar sebelum mendarat adalah Pulau Halmahera. Sofifi, ibu kota provinsi Maluku Utara, ada di pulau yang berbentuk seperti huruf “K” di peta itu.
* * *

Kami bertiga bergegas mengantre di pinggir conveyor. Menanti bagasi. Ruang pengambilan bagasi tidak terlalu luas. Penumpang berdesakan dengan para porter.
Di ujung conveyor paling dekat dengan pintu keluar, kami melihat beberapa sosok yang familiar. Meskipun belum pernah bertemu, mudah mengenali wajah mereka berdasarkan foto profil media sosial yang kami ikuti. Ransel hingga koper-koper berukuran besar mengitari mereka.
“Assalamu ‘alaikum, semuanya,” saya menyapa. Di situlah kami bersua untuk pertama kalinya.
Ujung tombak Ngofa Tidore, Anita Gathmir beserta suami dan seorang putrinya. Dua di antara tiga juri lomba, Annie Nugraha dan Katerina. Prof. Woro, seorang akademisi dan pemerhati budaya dari Universitas Indonesia. Dwi Setijo Widodo, jurnalis perjalanan dan Ayu Masita, pemerhati pariwisata.
Lalu yang datang belakangan. Dua bloger pemenang lainnya, Haryadi Yansyah dan Deddy Wijaya dari Palembang. Menyertai pula Tati Suherman, seorang bloger dari Jakarta turut meramaikan.
Sabtu pagi itu (8/4/2017), Ternate cerah berawan. Gunung Gamalama yang semula tertutup halimun, kini tersingkap. Seolah menyambut kami.
Di atas kapal cepat (speedboat) yang kami tumpangi dari Pelabuhan Bastiong menuju Rum, Tidore, saya serasa terlempar masuk ke dalam lembaran uang Rp1.000 lawas. Tapi kali ini nyata. Saya melihat dekat Pulau Maitara yang berimbun kelapa, dan Gunung Marijang yang menjulang.
Segala hal yang serba baru dan pertama akan mengisi hari ini, dan hari-hari berikutnya. Tak sabar menanti, kejutan-kejutan apa yang disiapkan Tidore untuk kami.
Foto sampul: Pulau Maitara (kanan) dan Tidore dengan Gunung Marijang yang tertutup awan
Lomba menulis blog dan kegiatan selama di Tidore, terselenggara atas peran Ngofa Tidore beserta pihak-pihak sponsor terkait:
Tinggalkan Balasan