Petang itu langit menggelap. Suasana agak temaram setibanya di pelataran OCD Beach Café & Hostel. Tempat saya menginap ini masih satu kawasan dengan Pantai Lasiana, Kupang. Saya memarkir motor pinjaman di muka kamar penginapan yang serba bambu itu.
Saya bergegas menemui sang pemilik, yang sudah saya hubungi lewat pesan singkat beberapa hari sebelumnya. Tanpa harus bersusah payah mencari, sosok itu muncul dari balik dapur yang terletak di belakang kafe. Ia keluar dengan langkah tegap. Kesan bersahaja saya rasakan dari pria gempal berkaus putih dan bercelana selutut itu. Ia menjabat tangan saya erat dan memperkenalkan diri, “Oddy.”
Ia mengarahkan saya untuk segera menaruh tas ke kamar yang sudah disiapkan. “Mandi dulu, makan malam, baru kita ngobrol. Oke?”
* * *

Usai makan malam dengan menu nasi goreng, Oddy mengajak ngobrol di sisi luar kafe. Ditemani dua cangkir kopi hitam, obrolan dimulai dengan ceritanya membangun usaha kafe dan penginapan. Suaranya lantang dan intonasinya cepat. Tipikal orang Nusa Tenggara Timur (NTT). Tanpa saya pancing, ia sudah memulai cerita dengan berapi-api.
OCD sendiri merupakan akronim dari tiga nama: Oddy, Connie (istrinya), dan Dio (putra semata wayangnya). Usaha kafenya sudah berdiri sejak 2011. Menunya macam-macam. Ada sari laut, nasi goreng, makanan dan minuman ringan, hingga jus buah. Tidak ada pertunjukan live music di sini, karena biayanya mahal. Oddy hanya menyediakan peralatan musik seperti gitar, piano, dan panggung kecil. Ia mempersilakan siapa pun yang ingin bermain musik untuk menghibur pengunjung lainnya.
Sejauh ini, usaha kafe Oddy sekeluarga masih bertahan karena konsep bambu, dan kelezatan menu yang ditawarkan. Tak lupa, pemandangan Pantai Lasiana, yang agak terhalang proyek tanggul penahan ombak sepanjang 200 meter senilai 23 miliar. “Lagipula, sebagian besar tanah di kawasan Lasiana masih warisan keluarga. Jadi, harus dimaksimalkan,” ujar sarjana pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang tersebut.
Insting bisnis lelaki yang rambut dan cambangnya sudah tumbuh uban itu belum surut. Masih mempertahankan konsep bambu, ia memutuskan untuk mendirikan penginapan pada tahun 2014. Oddy mengandalkan desain dan pembangunan dari tim arsitektur asal Kota Bandung.

“Khusus untuk satu rumah dua lantai yang berbentuk sasando itu, saya pakai tiga jenis bambu,” tutur Oddy. Ketiga jenis bambu itu diperlukan menyesuaikan tingkat kekuatan dan peruntukannya masing-masing. Bambu betung untuk tiang, bambu hutan untuk atap, dan bambu biasa untuk hiasan. Paling tidak, satu rumah membutuhkan biaya sekitar 30 juta rupiah. Biaya segitu hampir sama dengan modal memermak angkutan kota di Kupang dengan penuh aksesori dan full music. “Kalau tidak ada modal, jangan harap penumpang mau naik,” kelakarnya.
Untuk kelistrikan, Oddy mengandalkan sistem panel surya alih-alih listrik PLN. Pertimbangannya adalah biaya perawatan lebih murah. Untuk dua rumah, dibutuhkan empat lampu dan satu panel surya dengan biaya instalasi awal sebesar Rp 800 ribu. Belakangan ia sedang mencoba memasang solar cell hybrid seharga dua ratus ribu lebih mahal, yang bisa tetap menyerap energi matahari saat cuaca mendung.
“Kebanyakan orang bilang saya gila, gara-gara tidak mau pasang listrik PLN,” katanya terkekeh. Meskipun banyak yang mencibir, sebagian malah mendukung. Bahkan hampir setiap hari ada saja orang yang datang sekadar foto-foto berlatar penginapannya.
Saya sendiri mendapatkan kamar di lantai dua rumah Sasando. Ada dua kasur matras lebar beralas karpet, masing-masing cukup untuk dua orang. Perabotnya sederhana, ada meja, kipas angin, tombol saklar panel surya, dan tentu saja stopkontak.
Tiba-tiba Oddy bangkit dari duduknya. Masuk sebentar ke ruang utama kafe, lalu kembali membawa sesuatu. “Lihat ini. Yang melukis si Tayuko Matsumura, cewek Jepang,” kata Oddy, sembari menyodorkan sebuah buku menu.

Ia menelunjuk bagian sampul, yang menggambarkan sketsa berwarna bagian depan OCD Beach Cafe & Hostel. “Pertama dia datang ke sini, tanpa banyak bicara, langsung duduk tenang di depan kafe dan melukis saat itu juga!” Saat itu juga, Oddy secara spontan langsung minta izin Tayuko, untuk menggunakan lukisannya sebagai sampul buku menu kafenya.
Dengan senyum simpul, Oddy berujar, “Besok Tayuko datang dari Atambua. Ia betah main ke sini berkali-kali!”
* * *
Obrolan sempat jeda sejenak kala kami sekali-dua kali menyeruput kopi yang mendingin. Tapi saya tetap menikmati cerita-cerita Oddy yang gurih. Serba baru bagi saya.
“Mau berapa lama di Kupang?” tanya Oddy. Saya mengacungkan dua jari. Dua hari. “Lusa saya berangkat ke Alor. Naik ferry,” kata saya. Alor adalah salah satu kabupaten paling timur di Provinsi NTT, beribukota di Kalabahi. Berjarak sekitar 16 jam perjalanan laut dari Kupang.
“Ah, Alor!” Ia mengacungkan jempol. Ia merapikan duduknya. Tampaknya saya akan kembali menikmati ceritanya. Masa lalunya memang diisi dengan perjalanan dan petualangan. Meskipun bertitel sarjana pertanian, prinsipnya adalah dia harus bisa kerja apa saja. Baik di ruangan maupun di lapangan.
Sejurus kemudian, topik obrolan kami berubah. Oddy kian berapi-api mengomentari keributan-keributan akibat dinamika perpolitikan di Indonesia. Terutama di ibu kota, Jakarta. Ia juga gemas akan keributan-keributan yang mengatasnamakan agama. “Saya heran, di sana pada ribut-ribut apa, sih?” tanyanya. Saya hanya tersenyum dan menggeleng, tanda ikut gemas.

“Kalau itu (NTT) Indonesia mini, Alor itu Papua mini,” Oddy beranalogi. Ia menyebut NTT sebagai Indonesia mini, karena di sanalah segala macam ras ada dan bersatu. Dari yang berhidung mancung, pesek, kulit putih, kulit hitam, rambut keriting lurus, keriting kering. “Di Pulau Rote, orang-orangnya cenderung berkulit putih, dan perempuannya cantik-cantik. Kalau di Pulau Sabu, kayak orang India,” tambahnya.
Tentang Alor, Oddy memberi kesan khusus, “Di sana kamu akan banyak belajar, utamanya toleransi beragama. Ibaratnya, dalam gelap pun, orang Alor akan tahu orang yang ditemuinya beragama apa.”
Pernah ia bicara lantang pada seorang teman dari Jakarta yang main ke Kupang, “Coba ajak teman-temanmu yang kaku itu ke luar Jakarta, ke NTT, keliling Indonesia! Itu semua saudaramu!” Ia berprinsip, di mana pun kita berada, kita akan diterima asalkan berniat baik dan sopan.
Pernyataan Oddy tersebut seakan diperkuat Tayuko. Saya menemuinya di penginapan keesokan harinya. Saat sesi perkenalan, ia sempat menyampaikan kesan tersendiri tentang NTT, khususnya Kupang yang seakan menjadi rumah keduanya. “Orangnya ramah-ramah!” Serunya dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih, saking lamanya jalan-jalan di Indonesia.
Malam kian larut. Seiring tandasnya kopi hitam di cangkir kami masing-masing, kami menutup obrolan. Oddy berpesan, bahwa kita sebagai bangsa pantang takut pada gangguan apa pun yang dapat memecah-belah persatuan. Termasuk setan. Ia mencontohkan orang Papua. “Orang Papua itu tidak takut hal-hal mistis atau setan. Bagi mereka, setan yang sesungguhnya adalah manusia kayak kita ini!”
Kami tergelak. Memecah keheningan malam. Mengalahkan deburan ombak Lasiana.
* * *

Di hari pertama tiba di Kupang, saya memang terlambat menyaksikan senja tenggelam di Pantai Lasiana. Namun, di hari yang sama, Tuhan seakan menggantinya dengan pengalaman berkesan yang lain. Oddy adalah medium yang mengisi pengalaman baru saya. Pengalaman yang diisi hanya dengan duduk dan mengobrol santai ditemani kopi hitam.
Rasanya, cerita-cerita yang keluar dari bibir Oddy ingin saya cetak di atas kertas, dan memasukkannya ke amplop putih berprangko. Menjadikannya surat yang berisi pesan damai dan toleransi. Betapa di jantung provinsi yang dulu bernama Kepulauan Sunda Kecil ini, kebhinnekaan itu tersampaikan dengan nyata dalam denyut nadi kehidupannya. Pesan agar kita lebih bisa menerima kemajemukan yang dimiliki negeri ini. Tak lagi memandang kulit, agama, atau status-status lain yang menyekat kemanusiaan.
Lalu saya kirimkan surat Oddy ke mereka-mereka, ke tempat yang masih tercerai-berai dengan perdebatan-perdebatan. Mereka yang mabuk seakan dirinya yang paling benar. Seakan-akan, Indonesia hanya tentang dan seluas ibu kota. (*)
Foto sampul:
Momen matahari terbenam yang sempat saya potret di hari terakhir di Pantai Lasiana sebelum berangkat ke Alor
Tinggalkan Balasan