Subuh berlalu. Kersak dahan cemara gunung tak sekencang semalam. Langit gelap berangsur terang. Suhu udara khas fajar beringsut menghangat. Menghangatkan kawasan camp Lembah Kidang yang cukup ramai.
Saya bergegas bangkit dari tidur. Menyusul Kurniawan yang sudah duluan berwudu di sumber air persis di barat perkemahan.
Sesungguhnya pagi di bulan April tak sedingin kala puncak musim kemarau, biasanya Agustus-September. Sayang, pada kedua bulan tersebut, sumber air biasanya mengering. Pendaki harus mengambil air bersih ke shelter III Pondokan yang masih mengucur pelan.
Jika pada pendakian-pendakian ke Gunung Arjuno sebelumnya, saya biasanya salat subuh di tengah perjalanan ke puncak, kali ini cukup di Lembah Kidang. Pendakian kali ini saya ‘tertahan’ untuk ke puncak. Bersama beberapa teman dalam satu tim, kami menghemat tenaga untuk ke Welirang besok.
Pagi ini, memang saatnya untuk lebih menikmati sisi tenang Lembah Kidang.
* * *

Lembah Kidang, seperti halnya bagian-bagian lainnya di dalam hutan dan gunung, adalah sosok seribu wajah. Bentang alam yang bergantung pada sifat waktu dan cuaca. Jika waktu terang dan cuaca bersahabat, Lembah Kidang akan terlihat ceria. Jika waktu dan cuaca kurang bersahabat, Lembah Kidang akan tampak dirundung kemuraman.
Tapi, alam tetaplah alam. Hutan tetaplah hutan. Gunung tetaplah gunung. Cahaya akan selalu beriringan dengan bayangan. Keindahan dapat sewaktu-waktu berubah melenakan, bahkan menjadi berbahaya.
Sebentuk apa pun situasinya, Lembah Kidang adalah wajah yang sama, yang dipoles oleh berjalannya waktu dan cuaca. Dalam kering hingga badai, Lembah Kidang tetaplah tempat yang penuh kidung-kidung alam. Dengan sumber air yang mengalir jernih dan sabana yang menghijau selama musim penghujan, hingga suhu udara yang mendekati minus kala puncak musim kemarau,
Saya sendiri meyakini, nama yang melekat di lembah ini didapatkan dari keberadaan kijang yang masih ada, walau langka. Pernah lembah ini melantunkan kidung duka. Kala itu pada Hari Ibu di pengujung tahun 2013. Seekor kijang tergolek tak berdaya di atas rerumputan, dengan leher menganga. Bau busuk menguar, dengan lalat terbang mengitari. Kemungkinan, ia diserang oleh predator macam anjing hutan atau (mungkin) yang lebih besar darinya.
Meskipun kijang tersebut sudah mati, saya telanjur menjadi saksi bahwa Lembah Kidang tak hanya sekadar nama. Saya sudah merasa beruntung bersua dengan satwa malang berkulit cokelat itu, walau dalam keadaan tak bernyawa. Walau tak sahih, saya percaya masih ada kijang-kijang yang mendiami suatu tempat di gunung ini. Mungkin berpindah-pindah, memilih menyamankan diri tanpa diketahui oleh manusia (pendaki).
Yang penting, semoga lembah ini tak lagi melantunkan kidung duka. Semoga kijang-kijang yang lain mati karena naluri rimba, bukan mati di tangan pemburu durjana.
* * *

Sudah tengah malam tepat. Hari baru dimulai setelah lewat sepersekian detik. Dan sudah hampir tiga jam berlalu sejak kedatangan saya, Rizky, dan Kurniawan di Lembah Kidang. Kami bertiga menyusul tim yang sudah tiba duluan di perkemahan ini sejak sore. Sementara sebagian dari mereka sudah terlelap sedari tadi, kami bertiga malah baru akan makan malam.
Kawasan camp Lembah Kidang mulai riuh. Termasuk riuhnya ranting dan dedaunan cemara gunung terlihat samar bergoyang. Menyuarakan gesekan.
Satu per satu pendaki sudah mulai terbangun. Termasuk tiga dari sepuluh anggota tim kami. Tiga orang yang belum pernah sama sekali ke puncak Ogal-Agil. Mereka memang perlu mencecap pengalaman perjalanan menuju puncak. Mereka pun bersiap-siap. Siap fisik, mental, dan perlengkapan “perang”, seperti jaket, alas kaki, senter/headlamp, dan bekal konsumsi. Mereka berbagi tugas. Mengisi ulang air di sumber yang terletak sepelemparan batu dari berdirinya tenda-tenda. Masing-masing berbagi tugas, membawa beban ransel untuk bekal kelompok.
Semestinya saya yang diberi mandat untuk memandu mereka. Walau sebenarnya masih ada empat orang dalam tim kami yang pernah ke puncak. Ditambah Kurniawan dan Rizky. Tapi, kelelahan menjadi alasan yang tak bisa dibantah.
Saya hanya bisa memberikan pesan kepada Brono, salah satu dari tiga rekan setim yang akan ke puncak, “Jalan bareng-bareng sama pendaki lain. Ikuti petunjuk tali yang terikat di semak dan ranting pohon.” Ia mengangguk. “Hati-hati di jalan, tetap waspada,” saya menambahkan. Juga permintaan maaf karena tak bisa menemani mereka.
Mungkin saya sedikit egois. Saya lebih memilih menyayangi tubuh sendiri, dibandingkan memandu mereka bertiga. Saya mengaku lelah, dan memang sangat lelah. Tetapi, mereka bertoleransi. Saya bersyukur menerima pemakluman. “Santai wae, Mas,” ujar Brono.
* * *
Ini bukan pertama kalinya, menelurkan kerelaan dan mengubur ambisi tentang puncak. Agak berat, tapi kondisi fisik adalah prioritas utama demi esok lebih bugar. Kali ini saya memang harus lebih menyayangi tubuh saya sendiri. Semalaman, segala otot dan persendian memang layak dimanja dalam hangatnya sleeping bag.
Puncak adalah termasuk pencapaian. Kebanggaan. Tapi sesungguhnya puncak diselimuti oleh selubung ego tak kasat mata. Puncak tak harus selalu dikejar. Karena puncak tak akan berpindah. Ia tetap diam, menanti disambangi di lain waktu.
Pagi ini, gunung merayu saya untuk tidak membencinya. Arjuno dan Lembah Kidang mengajarkan saya untuk senantiasa berprasangka baik kepada Penciptanya. Bahwa gunung-gunung dan seisinya dilukis, diukir, dan diciptakan senantiasa dengan kasih sayang, demi makhluk-Nya. Jika saya ‘tertahan” menggapai puncak tertingginya karena keterbatasan diri, maka di tempat sekarang saya berdiri sudah semestinya patut disyukuri.
Gunung memang menguji pendaki dengan tanjakan, suhu, dan cuaca yang tak terduga. Namun, gunung yang membayar lelah dengan keadaan yang tak terduga pula. Dan kali ini, rintik gerimis semalam tertahan oleh geliat langit yang membiru. Dari sabana, terlihat puncak Ogal-Agil bagaikan dinding benteng sebuah kerajaan. Puncak tertinggi Gunung Arjuno itu tampak angkuh. Menantang. Mencakar langit biru yang sesekali disaput kabut.
Kurniawan sudah berada di posisinya. Ia berdiri di atas rerumputan yang masih basah oleh embun. Berlatar tebing Ogal-Agil yang menjulang. Saya dan Rizky bersiap memotret aksinya. “Mas Kur, Siap? 1, 2… 3!” teriak saya. Kurniawan melompat tinggi. Klik! Klik! Saya dan Rizky memencet shutter kamera masing-masing bersamaan. Kami memotretnya dengan cepat. Gelak tawa bergema di aula alam ini.
Di Lembah Kidang, di kaki tebing cadas Ogal-Agil, saya kian tahu apa itu arti dihibur. Sesederhana pagi ini. (*)
Foto sampul:
Kurniawan dan Rizky menikmati ketenangan Lembah Kidang
Tinggalkan Balasan