Ketika berkunjung ke Pulau Buaya, Alor, Nusa Tenggara Timur, kita tak hanya dianggap sebagai tamu, tapi saudara. Satu keluarga.
Setahun lebih berlalu, denyut kehidupan yang unik di Pulau Buaya masih lekat di ingatan. Menjadi pengalaman berkesan.
* * *
Tidak ada buaya di pulau yang seluruh penduduknya muslim ini. Pulau yang mendapat namanya karena konturnya mirip buaya jika dilihat dari jauh. Konon, bentuk buaya itu tetap terlihat dari segala penjuru mata angin.
Seperti halnya di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia, Pulau Buaya juga mengalami keterbatasan pasokan air dan listrik. Khusus listrik, penduduk mengandalkan panel surya. Listrik hanya hidup sejak petang hingga tengah malam. Akan tetapi, sinyal seluler dari operator telekomunikasi plat merah sudah menjangkau pulau ini.
Gapura utama Desa Pulau Buaya, Kecamatan Alor Barat Laut, yang berdekatan dengan masjid satu-satunya di pulau yang dihuni sekitar 300 Kepala Keluarga (KK). Selain masjid, fasilitas publik lainnya adalah dua sekolah madrasah hingga jenjang SMP (Madrasah Tsanawiyah). Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, anak-anak harus menyeberang ke Pulau Alor atau merantau ke pondok pesantren di Pulau Jawa. Sebagian bahkan ada yang mendapat beasiswa hafiz di Arab Saudi atau Mesir.
Rumah-rumah di pulau ini sudah mendapat sentuhan modern, meski hanya beralas semen. Seperti rumah besar yang dihuni satu keturunan Suku Uma Tukang ini, satu di antara lima suku keturunan yang ada Pulau Buaya. Leluhur Arman, yang menemani saya ke pulau ini. Namun, hal-hal unik tetap terjaga. Salah satunya adalah tersedianya petak khusus beralas pasir alami di luar rumah. Warga lebih sering memilih tidur di atas pasir daripada di dalam rumah karena gerah.
Bagian dalam rumah besar keturunan Suku Uma Tukang. Beralas semen. Penghuninya lebih nyaman tanpa menggunakan alas kaki. Saya bisa saja tidur tanpa alas, tapi tuan rumah memberi saya tikar karena tidak tega.
Di ujung barat kampung, terdapat bangunan berusia 12 tahun yang sejak awal diperuntukkan sebagai tempat penyulingan air laut menjadi air tawar. Namun, karena tidak ada pemeliharaan, peralatan di dalamnya berkarat dan tidak dipakai lagi.
Karena rusaknya temoat penyulingan, sampai saat ini warga Pulau Buaya masih mengandalkan air tawar dari pesisir dermaga Baolang. Jaraknya sekitar 10-15 menit dengan perahu. Caranya unik, yaitu dengan mengeruk pasir dan kerikil lalu membuat gundukan agar tidak tercampur air laut. Akan ditemukan genangan air yang bening dan tentu saja tawar. Warga menampungnya dalam jeriken dan tong berukuran besar. Selain itu, warga juga berharap pada hujan.
Pulau Buaya termasuk penghasil kain tenun terbaik di Alor, selain pulau tetangganya, Pulau Pura dan Pulau Ternate. Mereka menenun sejak pagi di depan rumah dengan alat tenun tradisional.
Sebagian penenun masih mempertahankan bahan baku dan pewarnaan alami, sebagian sudah menggunakan benang jadi dan pewarnaan sintetis. Harganya beragam, tergantung motif, bahan baku, dan kerumitan proses pembuatannya. Selendang dijual dengan harga mulai Rp 15-30 ribu, sedangkan sarung dihargai mulai Rp 150-500 ribu.
Kambing adalah hewan ternak paling dominan selain ayam di pulau ini. Saat musim kemarau, kambing sering dilepasliarkan pemiliknya untuk merumput di ladang. Saat musim penghujan, kambing akan diambil kembali dan dimasukkan kandang. Selain ternak, penduduk pulau juga bercocok tanam jagung, kacang hijau, dan kacang merah. Umumnya, pekerjaan beternak dan bertani dilakukan perempuan selain menenun.
Sebagian besar penduduk pria, mulai dari remaja hingga orang tua, berprofesi sebagai nelayan dan pencari teripang. Tapi tidak seluruhnya mencari penghidupan dari laut. Jamma Iskandar adalah salah satunya. Keahliannya adalah tukang kayu dan bangunan.
Arman (kaus hitam, tengah) bilang, “Kalau setiap keliling kampung disuruh pemilik rumah mampir, kita harus mampir. Nanti kalau ditolak bisa tersinggung.” Tak heran, perut selalu kenyang dengan suguhan roti dan teh atau kopi panas dari setiap rumah yang didatangi. Hemat Dahlan (duduk membelakangi kamera) adalah salah satu warga yang mengajak mampir.
Sisi selatan Pulau Buaya adalah pesisir dengan kondisi perairan lebih tenang, karena terlindungi oleh Pulau Ternate. Karena itulah permukiman dan perahu-perahu bersandar di sana. Musim gelombang biasanya datang di awal tahun hingga Tahun Baru Imlek.
Selain itu, terdapat fenomena arus dingin sekitar dua kali dalam setahun. Biasanya pada periode Mei-Oktober. Arus dingin ditandai dengan datangnya gerombolan ikan ke tepi pantai dan pergerakan lumba-lumba. Arus dingin ini pula yang bisa menyebabkan ikan-ikan mabuk atau mati kedinginan.
Hiburan seru di Pulau Buaya tak jauh-jauh dari aktivitas di laut. Selain memancing, aktivitas seru lainnya adalah menyelam atau sekadar berenang. Mandi laut sudah jadi kegiatan sehari-hari warga di sini.
Dan, jangan lewatkan cuaca cerah usai subuh dengan tidur. Menikmati pemandangan pagi dengan siluet Pulau Alor dari tepi kampung akan meneduhkan. Membuat betah berlama-lama di Pulau Buaya, dengan segala keterbatasannya.
Tinggalkan Balasan