Pada 26-29 Oktober 2017 kemarin, saya berkesempatan mengikuti Klinik Menulis Feature (ficer) yang diselenggarakan oleh Tempo Institute. Lokasi pelatihan di Gedung Tempo, Palmerah, Jakarta Barat. Selama empat hari, dimulai pukul 09.00 hingga 17.00, saya bersama tujuh peserta lainnya belajar menulis ficer. Dari teori hingga praktik.
Setelah teori di dua hari pertama, kami diajak praktik fotografi jurnalistik dan menyusun bahan tulisan di Kebun Raya Bogor, Sabtu (28/10). Sepulang dari Kebun Raya Bogor (KRB), kami diberi tugas menulis untuk dibedah keesokan harinya, hari terakhir pelatihan.
Saya mendapat ide tulisan seusai kencing di toilet dekat Taman Meksiko, KRB. Jamban tersebut dijaga oleh satu orang. Maka, ide dan angle tulisan adalah:
Ide: Toilet di Kebun Raya Bogor
Angle: Apa suka dan duka menjadi penjaga toilet di Kebun Raya Bogor?
* * *
Tulisan Awal
Dua Ribu Rupiah Saja
Petugas menjaga dan menarik retribusi toilet untuk keperluan perawatan dan kebersihan. Namun, masih sering dijumpai pengunjung yang kabur usai menggunakan toilet.
TOILET BERSIH. Tulisan ini terpampang jelas di dinding putih sebuah bangunan segi delapan. Di depan toilet berpintu teralis besi hijau itu, terdapat “meja kerja” cokelat berupa balok kayu berongga bertuliskan ‘Rp 2000/ORANG’. Di baliknya, duduk seorang priaberkulit sawo matang dengan topi hitam di kepala. Sebatang rokok filter terselip di sela jemari tangan kirinya. Jika ia sedang duduk di sana, artinya sedang ada pengunjung yang memakai toilet.
Kemudian, seorang perempuan keluar dari toilet. Ketika Hendar bersiap menerima uang, tiba-tiba perempuan itu berkata sambil lalu, “Saya hanya pipis sebentar saja, tidak perlu bayar, kan?” Hendar (37 tahun), penjaga toilet itu hanya merespon dengan mengangguk segan tanpa bersuara.
Tak mau berpikir lebih jauh, Hendar bangkit dari duduknya. Ia mengambil sebotol cairan pembersih dan tongkat pel yang dijemur. Dengan cekatan, pria yang memiliki bekas tato di lengan kirinya itu bergegas mengepel bilik wanita.
Kejadian pada hari Sabtu, 28 Oktober 2017 bukanlah hal asing bagi pria murah senyum itu. Ia sudah makan asam garam menghadapinya.Meski sudah tertulis tarif dua ribu rupiah dan dijaga, tetap saja ada yang tidak mau membayar. “Sudah tak terhitung, Mas,” katanya sambil terkekeh.
Tak pernah terbayang di benak pria asli Bogor ini berprofesi sebagai penjaga toilet. Tamatan Sekolah Dasar (SD) itu sebelumnya pernah menjadi pelayan sebuah kafe di kawasan jalan raya Pajajaran, Kota Bogor. Namun, masa kerjanya sebagai pelayan hanya seumur jagung., karena kafe makanan dan minuman itu bangkrut. Kondisi ini mengharuskannya segera mencari pekerjaan pengganti. Ia bertanya kepada dirinya sendiri saat itu, “Kalau tidak bekerja, saya dan istri makan apa?” Ketika ada lowongan penjaga toilet di Kebun Raya Bogor, tanpa pikir panjang ia segera mengambilnya.
Total ada delapan toilet yang tersebar dalam kebun raya seluas 87 hektare itu. Seluruhnya disewakan manajemen Kebun Raya Bogor kepada pihak swasta untuk dikelola. Toilet yang dijaga Hendar adalah yang terdekat dengan pintu masuk. Di dalamnya, terdapat masing-masing tiga bilik untuk pria dan wanita. Suasananya di luar toilet menyegarkan napas, karena naungan pepohonan dan gemericik sungai Ciliwung yang mengalir di sebelah toilet tersebut.
Empat tahun berjalan, beragam suka dan duka dialaminya sebagai penjaga toilet. Ia tak menyangka dapat bertahan selama itu. Pun, tak tahu sampai kapan akan bekerja di sana. Yang jelas, sejauh ini ia merasa nyaman dengan pekerjaannya meskipun hanya dibayar dengan uang makan. Besarannya 40-50 ribu per hari. Baginya dengan merokok, minum kopi, jalan-jalan di sekitar, hingga mengobrol dengan penjaga toilet lain yang libur tugas sudah menjadi sarana hiburan tersendiri.
Sistem kerjanya sebagai penjaga toilet cukup unik. Satu bulan bekerja penuh, satu bulan berikutnya libur. Begitu seterusnya sampai tak terasa sudah empat tahun ia bekerja di toilet.
Dalam kurun waktu tersebut, Hendar biasa berjalan kaki dari rumahnya di sekitar SD Jalan Bangsa, menuju tempat kerjanya. Jam kerjanya menyesuaikan jam operasional kebun raya. Beroperasi mulai pukul 7 pagi, tutup pukul 4 sore. Jika akhir pekan, toilet akan tutup sejam lebih lama dari hari biasa.
Jumlah penerimaan hasil retribusi toilet biasanya menyesuaikan hari. Pada hari kerja, rata-rata dapat mencapai 40 ribu rupiah. Penerimaan dapat mencapai 10-20 ribu lebih banyak saat akhir pekan, karena ramai wisatawan.“Tapi sering juga cuma dapat 20 ribu, Mas. Gara-gara banyak yang tidak bayar,” ujar Hendar lirih.
Hingga tengah hari, sudah dua orang pengguna toilet yang tidak membayar. Padahal retribusi penting untuk kebersihan toilet. Hasil penerimaan dibelanjakan sebagian untuk pengadaan alat seperti kain pel, pewangi, serok, karbol pembersih, hingga sapu lidi. Hendar sejatinya heran, mengapa orang seperti berat mengeluarkan uang dua ribu rupiah saja.
Seperti di hari-hari sebelumnya, Hendar memilih untuk menanggapi dengan diam daripada menegur. “Biar sajalah, Mas. Mengingatkan kesadaran orang kan tidak gampang,” katanya.
* * *
Revisi
Jaga Peturasan Buat Makan
Petugas menjaga dan menarik retribusi toilet untuk keperluan perawatan dan kebersihan. Namun, masih sering dijumpai pengunjung yang kabur usai menggunakan toilet.
Ketika Hendar bersiap menjulurkan tangan, tiba-tiba perempuan itu berkata sambil lalu, “Saya hanya kencing sebentar saja, tidak perlu bayar, kan?”Hendar hanya mengangguk. Penjaga toilet berusia 37 tahun itu bangkit dari duduknya. Ia mengambil sebotol cairan pembersih dan tongkat pel yang dijemur. Lalu bergegas mengepel bilik yang baru saja dipakai perempuan tadi.
Hendar bukan sekali ini saja menghadapi pengunjung seperti itu. Sejak empat tahun lalu, selalu ada pengguna toilet yang tidak mau membayar, meskipun sudah ditulis tarif dan dijaga. “Sudah enggak terhitung,” katanya sambil terkekeh.
Tak pernah terbayang di benak pria asli Bogor ini bekerja menjaga toilet. Tamatan Sekolah Dasar (SD) itu sebelumnya pernah menjadi pelayan sebuah kafe di kawasan jalan raya Pajajaran, Kota Bogor. Namun, masa kerjanya sebagai pelayan hanya empat bulan, karena kafe tempat dia bekerja bangkrut. Kondisi ini mengharuskannya segera mencari pekerjaan pengganti. Ketika ada lowongan penjaga toilet di Kebun Raya Bogor, Hendar tidak pikir panjang lagi untuk langsung melamar.
Ada delapan toilet yang tersebar di kebun seluas 87 hektare itu. Jamban-jamban itu dikelola oleh perusahaan swasta yang bekerja sama dengan manajemen Kebun Raya Bogor. Di sana terdapat masing-masing tiga bilik untuk pria dan wanita.
Empat tahun sudah Hendar menjaga toilet itu. Ia hanya dibayar uang makan dengan besaran Rp 40-50 ribu per hari. Hiburannya selama menjaga jamban biasanya jalan-jalan di sekitar, hingga mengobrol dengan penjaga peturasan lain yang libur tugas.
Sistem kerja Hendar cukup unik. Satu bulan ia bekerja penuh tanpa jeda. Satu bulan berikutnya dia libur. Begitulah seterusnya sampai tak terasa sudah empat tahun dia menjaga peturasan.
Dalam kurun waktu tersebut, Hendar biasa berjalan kaki dari rumahnya di sekitar SD Negeri Bangka, Baranangsiang menuju tempat kerjanya. Jam kerjanya menyesuaikan jam operasional kebun raya. Beroperasi mulai pukul 7 pagi, tutup pukul 4 sore. Jika akhir pekan, toilet akan tutup sejam lebih lama dari hari biasa.
Besar pendapatan hasil retribusi toilet biasanya menyesuaikan hari. Pada hari kerja, rata-rata dapat mencapai Rp 40 ribu. Kemudian mencapai 10-20 ribu lebih banyak saat akhir pekan, karena ramai wisatawan.“Tapi sering juga cuma dapat 20 ribu. Gara-gara banyak yang enggak bayar,” Hendar mengeluh.
Hingga tengah hari, sudah dua orang pengguna toilet yang tidak membayar. Padahal menurut Hendar, retribusi penting untuk pemeliharaan jamban. Misalnya dibuat belanja kain pel, pewangi, serok, karbol pembersih, hingga sapu lidi. Hendar sejatinya heran, mengapa orang seperti berat mengeluarkan uang dua ribu rupiah saja.
Empat jam lagi toilet tutup. Hendar masih mencari 20 ribu lagi untuk mengejar target pendapatan rata-rata. Setelah itu, baru dia bisa pulang ke rumahnya yang berjarak 15 menit perjalanan kaki.
* * *
Catatan dari Mentor
Tulisan dibedah ulang melibatkan dua mentor, Khairul Anam (staf redaksi kompartemen ekonomi Koran TEMPO) dan Syailendra Persada (staf redaksi kompartemen nasional dan hukum Koran TEMPO). Mereka memberi beberapa saran perbaikan. Tulisan awal sepanjang 641 kata (4.470 karakter dengan spasi), menyusut menjadi sekitar 474 kata (3.313 karakter dengan spasi) setelah direvisi. Beberapa kata atau kalimat yang tidak relevan dibuang. Catatan-catatan lainnya adalah:
- Fokus dan setia pada satu angle dalam satu tulisan
- Minimalisir kata sifat
- Hindari kata/kalimat klise
- Satu paragraf berisi satu ide/pikiran
- Hindari penggunaan kata/kalimat lewah (berlebihan) dan berbunga-bunga.
- Gunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk memastikan penggunaan dan penulisan kata yang tepat
- Gunakan kamus sinonim (tesaurus) untuk menghindari pengulangan kata dalam satu paragraf
Meskipun sudah direvisi, ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab dalam tulisan. Hal ini karena saya tidak menggali bahan tulisan dengan baik di awal.
Misalnya, nama lengkap Hendar, nama dan usia istri serta pekerjaannya, jumlah anak dan status pendidikannya, apa yang dilakukan Hendar saat libur menjaga toilet selama sebulan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat membantu mengukur bagaimana kondisi perekonomian Hendar, apakah penghasilan sebagai penjaga peturasan cukup memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Dengan begitu, tulisan ficer yang khusus mengulas profil orang akan utuh, detail, dan pesannya tersampaikan kepada pembaca.

* * *
Menurut Agoeng Wijaya, redaktur kompartemen nasional dan hukum Koran TEMPO, menulis ficer berarti mengabarkan fakta. Bukan asumsi, opini, analisis, atau klaim pribadi. Fakta diperoleh dengan observasi (reportase), wawancara, dan riset yang baik.
Dengan penggalian bahan yang baik, akan menghasilkan tulisan yang padat berisi. Jajang Jamaludin, redaktur pelaksana kompartemen metro Koran TEMPO menyarankan untuk menulis yang baik dulu sesuai struktur, baru menulis indah.
Bagaimana cara menghasilkan tulisan yang baik? Kuncinya hanya satu. “Menulis dan terus menulis!” kata Mustafa Silalahi, redaktur investigasi majalah TEMPO.
Selamat menulis!
Foto sampul:
Foto peserta dan mentor Klinik Menulis Feature bersama Tempo Institute, di Gedung Tempo, Palmerah, Jakarta Barat (foto oleh panitia)
Tinggalkan Balasan