Seorang anak seusia Sekolah Dasar (SD) sedang duduk di atas rumput. Mengamati teman-temannya yang lain sedang main bola sore itu. ‘Tiang-tiang’ gawangnya hanya sandal lusuh yang ditumpuk-tumpuk. Panjang ‘arena’ permainannya tak sampai 20 meter.
Saya yang awalnya hanya memotret mereka, mendadak berubah pikiran. “Adik, saya boleh ikut?” Tanya saya ke mereka.
Sesaat mereka saling memandang, lalu salah satu di antaranya berseru, “Kakak gabung di tim sana!” Bocah berambut cepak itu menunjuk ke arah gawang sandal yang dekat dengan pagar SD Negeri Gurabunga. Saya menjadi lawannya, sedangkan seorang anak SD yang dari tadi hanya duduk mengamati, ikut bergabung di tim bocah berambut cepak itu.
Bagi saya, diterima bermain bola di antara mereka adalah satu dari banyak kebaikan yang saya terima di Gurabunga.

Kabut yang sering menyelubungi Gunung Marijang dan turun ke desa, membuat Gurabunga kerap dikenal dengan sebutan negeri di atas awan. Terletak di ketinggian sekitar 680 meter dari permukaan laut (mdpl), menjadikannya sebagai salah satu desa tertinggi di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Posisinya di lereng Kie Matubu—sebutan lain Gunung Marijang—membuat hawanya berbeda dengan kawasan pesisir. Meskipun dingin, suasananya hangat. Bukan karena api unggun atau pendar cahaya lampu-lampu, melainkan karena orang-orangnya. Kesan kehangatan itu bahkan sudah terlihat pada bunga-bunga yang tumbuh dan tertata rapi di hampir setiap rumah warga, yang tak kalah rapi penataannya. Dari sanalah bunga melekat pada nama desa yang bernama asli Gurua ini. Tak hanya bunga, pala hingga alpukat pun tumbuh subur di sana.
Sekali menggigil dan mengusap-usap telapak tangan yang kedinginan, sirna ketika terlibat percakapan dengan mereka. Di balik raut wajah yang (maaf) sangar, tersimpan kemurahan senyum dan tawa menggelegar saat berbicara.
Ditambah, keberadaan enam sowohi (semacam penghubung antara Kesultanan Tidore dengan roh para leluhur) menjadi jaminan terjaganya tradisi yang mengakar sejak kesultanan berdiri. Keenam rumah puji (rumah adat) yang ditinggali para sowohi menjadi simbol kesakralan Gurabunga.

Saya teringat perjalanan dari Desa Kalaodi menuju Gurabunga. Saat rekan-rekan yang lain duduk manis dan dibagi dalam dua mobil, saya memilih membonceng Gogo—salah satu pemuda kreatif di Gurabunga—di atas motor dua tak lawas. Motor produk Jepang yang kami naiki adalah pemberian seseorang kepadanya beberapa bulan silam. Pemberian yang tak disangka-sangka sebagai buah dari prinsip hidupnya. “Bekal saya untuk hidup hanya satu. Kebaikan,” pungkas pria yang menyebut seni sebagai darah dan budaya adalah jati dirinya itu.
Kebaikan yang dibalas dengan “hadiah” motor dari pemilik aslinya. Ia lalu bercerita kisah-kisahnya dengan pemilik motor itu di balik embusan angin dan gemeretak mesin motor yang melaju sedang. Suaranya yang keluar dari bibir yang dikelilingi jenggot lebat itu timbul tenggelam.
Saya lebih banyak diam dan mengangguk. Tanda mengaguminya. Mengagumi kebaikan dan kerendahhatian orang-orang Gurabunga. Tak heran jika saya dan Mas Eko—salah satu pemenang lomba blog #VisitTidoreIsland—memutuskan tetap singgah hingga betah di Gurabunga di dua hari terakhir, sebelum pulang ke Jawa. (*)
Foto sampul: Gogo (tengah) dan dua rekannya menampilkan tarian Kapita yang rancak, saat menyambut tim Ngofa Tidore dan peserta Festival Hari Jadi Tidore ke-909 di seberang monumen Sebastian de Elcano, dekat PLTU Rum, Tidore. Tarian yang menceritakan perlawanan masyarakat Tidore (pasukan Sultan Nuku) melawan penjajah di kepulauan Maluku, kini diatraksikan untuk penjemputan tamu agung atau acara adat kesultanan di istana Kadato Kie, Kesultanan Tidore.
Kegiatan peserta selama Festival Hari Jadi Tidore ke-909 terselenggara atas peran:![]()
Tinggalkan Balasan