Jogja, Jogja, tetap istimewa, istimewa negerinya, istimewa orangnya…
Jogja, Jogja, tetap istimewa, Jogja istimewa, untuk Indonesia…
Di atas adalah potongan lirik lagu Jogja Tetap Istimewa karya Jogja Hip Hop Foundation. Lagu perpaduan rap dan gamelan yang wajib ada di daftar putar lagu saya, baik di gawai maupun komputer. Satu dari sekian banyak lagu tentang Jogja, yang entah mengapa selalu menggugah benak.
Barangkali romansa pada saya awalnya ditularkan oleh kedua orang tua saya. Meskipun tidak lahir di Jogja, keduanya pernah kuliah di salah satu universitas negeri di sana. Bagi mereka, Jogja menjadi tempat bertemu yang istimewa dan menjadi awal merajut hidup. Karena itulah saya tak ragu menyebut Jogja sebagai rumah kedua, setelah kampung kelahiran saya di Pacitan.

Keistimewaan yang Tak Henti Digempur Perubahan
Sungguh, keistimewaan Jogja bukanlah gurauan di lisan. Status keistimewaan Jogja telah melalui sejarah panjang. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini direngkuh.
Tapi perkembangan yang terjadi belakangan mengancam keistimewaan itu. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah aspek, salah satunya tata ruang yang menurut Dwi Ardianta Kurniawan—Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM)—sudah dalam keadaan darurat. Dapat dibilang, pembangunan yang terjadi mulai meninggalkan konsep-konsep keistimewaan.
Terutama di pusat kota, terjadi pembangunan hotel yang seakan tak putus, penurunan air tanah (kawasan Malioboro ikut terdampak), kemacetan lalu lintas, kualitas udara yang menurun, hingga minimnya ruang terbuka hijau. Pertumbuhan ekonomi memang meningkat, tapi dilihat dari segi keberlanjutan, terjadi penurunan kualitas hidup manusia.
Melihat permasalahan itu, kadang saya mencari pelarian untuk merasakan romansa Jogja yang sejatinya belum benar-benar hilang. Tanpa bermaksud mengecilkan kotanya, bepergian ke desa-desa wisata yang tersebar di Bantul, Gunungkidul, Sleman, hingga Kulon Progo adalah sesuatu yang istimewa.
Saya dapat melihat kegiatan membatik di salah satu sentra batik tulis di Wukirsari. Merasakan kegiatan bertani di Kebonagung. Kedua tempat yang pernah ambruk karena gempa, tapi kemudian cepat bangkit kembali.
Saya merasakan salak pondoh langsung di ‘kampung halamannya’ di Sleman, di kaki Gunung Merapi. Kemudian merasakan terguncang hebat dan belepotan lumpur saat offroad dengan jip di Bejiharjo, Gunungkidul atau Nglinggo, Kulon Progo.
Saya memandang panorama indah di atas Kampung Pitu, Nglanggeran, dan mendapatkan pelajaran budi pekerti dari sesepuh di sana. Berbasah ria di bawah kesegaran air terjun Sri Gethuk yang jernih. Hingga, berdecak kagum dengan seni tempa pamor keris dan kerajinan bambu yang mendunia di Malangan.
Ketika perubahan mungkin sudah telanjur menepikan sisi-sisi keistimewaan Jogja, saya masih dapat melihat keistimewaan-keistimewaan lain yang membuat Jogja masih berhati nyaman.

Menjadi Jogja, Menjadi Indonesia
Dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya melihat masih ada rasa optimisme untuk masa depan Jogja.
Mempertahankan kekhasan Jogja yang penuh filosofi tidaklah mudah. Terlebih di era globalisasi yang menuntut perubahan seperti sekarang ini. Keterlibatan warga dalam mempertahankan keistimewaan Jogja harus diperhatikan.
Karena itulah, program seperti “Jaga Warga” yang berpayung Pergub DIY Nomor 9 Tahun 2015, adalah salah satu langkah yang harus senantiasa dioptimalkan dan ditingkatkan penyebarannya di seluruh Yogyakarta. Program berasaskan kebersamaan, sukarela, dan swadaya tersebut merupakan upaya melibatkan masyarakat untuk menjaga keamanan, ketenteraman, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat. Tak kalah penting, suara mereka harus didengar sebagai bahan pertimbangan dasar dalam menahan bahkan mencegah laju pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Selain itu, menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat. Masih banyak mereka yang mempertahankan tradisi luhur hingga sekarang.
Saya teringat sosok Erna, perajin blangkon di Bejiharjo, Gunung Kidul. Darinya terpancar ketelitian, ketekunan, dan kesabaran yang menghasillkan blangkon beragam motif yang indah melalui proses yang rumit. Ia memilih menjadi Jogja dengan melestarikan warisan budaya yang penuh filosofi khas Jawa.
Meskipun saya bukan orang Jogja, setidaknya sebagai anak negeri, saya berharap bisa menjadi Jogja lewat tulisan ini. Selalu ada alasan untuk menyuarakan Jogja lewat kata-kata. Menjadi Jogja, jelas berarti menjadi Indonesia.
Bagi saya, Jogja bukan hanya sekadar tempat untuk pergi. Lebih dari itu, Jogja adalah rumah untuk pulang untuk menuntaskan rindu. Rindu angkringannya, rindu bakminya, rindu gudegnya, rindu keramahan orang-orangnya. Seperti yang Katon Bagaskara sering dendangkan. Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu… (*)
Foto sampul: Hasil kerajinan bambu khas Desa Wisata Malangan, Sleman, Yogyakarta
Referensi:
Diskominfo DIY. 2017. Pengukuhan Pengurus Jagawarga DIY. Dipublikasikan 30 Mei 2017 di http://diskominfo.jogjaprov.go.id/berita/baca/pengukuhkan-pengurus-jagawarga-diy
Universitas Gadjah Mada. 2017. Kota Yogyakarta Darurat Tata Ruang. Dipublikasikan 27 Februari di https://www.ugm.ac.id/id/berita/13377-kota.yogyakarta.darurat.tata.ruang
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog bertema “Menjadi Jogja, Menjadi Indonesia” yang digelar Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tinggalkan Balasan