Sore yang cukup gerah di Kebonagung. Kami, tim #EksplorDeswitaJogja, duduk melingkari meja di dalam sekretariat desa wisata. Mencermati informasi-informasi seputar desa wisata ini dari seorang Dalbiya.
Pria kelahiran Bantul 54 tahun silam itu sangat bersemangat ketika bicara. Gaya bicaranya cepat. Sekali berhenti cerita, kami memancingnya dengan pertanyaan. Lelaki berkacamata itu akan kembali menjawab dengan cerita-cerita. Suka dan dukanya terlibat dalam desa wisata. “Saya kalau cerita bakal panjang. Kayak curhat,” katanya. Kami tertawa.
Setelah kurang lebih setengah jam berbincang sejak kami datang, Dalbiya memberi isyarat berhenti curhat. “Sekarang silakan melihat gejog lesung dulu.” Saya melongok ke luar jendela sekretariat.
* * *

Berada dalam satu kecamatan dengan Kampung Batik Giriloyo, berarti memiliki sejarah kelam yang sama karena gempa. Namun usia Kebonagung sebagai desa wisata jauh lebih muda. Di usia yang baru mencapai sewindu kala itu, desa wisata yang dirintis Kristya Bintara –lurah Kebonagung saat itu– sempat runtuh karena gempa yang mengguncang Yogyakarta, 27 Mei 2006.
Selain rumah warga, kerusakan fisik juga menimpa museum tani yang dirintis sejak 1998 dan rumah joglo milik Joyo, petani yang mendampingi kami belajar menanam padi. Museum tani yang juga menjadi rintisan Kristya Bintara itu masih dalam proses pembenahan sampai sekarang.
Adapun rumah joglo tersebut dibangun kembali meski bentuknya mengalami perubahan. dan berfungsi seperti semula, menjadi tempat kumpul warga atau kegiatan wisatawan. Kami menyinggahinya sebentar ketika bersepeda onthel bersama Sardi dan sejumlah pemuda-pemudi desa.
Keterbatasan waktu membuat kami tak sempat mencoba banyak kegiatan wisata. Namun secara garis besar, ada dua tema wisata yang jadi andalan Kebonagung. Paket wisata budaya dan pertanian.

Wisata Budaya
Kesenian gejog lesung adalah bagian dari wisata budaya di desa Kebonagung. Gejog berarti memukul, lesung adalah wadah untuk menumbuk bulir padi dan memisahkan padi dari gabah. Kini gejog lesung mengalami transformasi fungsi menjadi alat kesenian tradisional. Fungsi awalnya sudah digantikan mesin penggiling padi.
Menurut Dalbiya, ada banyak cerita yang berkaitan dengan keberadaan gejog lesung tersebut, di antaranya mitos Dewa Bhatara Kala dan legenda Jaka Tarub, yang akan panjang jika diceritakan. Cerita yang kami dapat dan lihat saat itu, adalah lima orang nenek berbusana serba merah muda yang masih kuat memainkan gejog lesung.
Telapak tangan yang keriput, tak menghalangi genggaman erat pada alat gejog. Pukulan pada lesung pun begitu kuat dan menghasilkan suara yang sangat nyaring. Saya jadi membayangkan drama perang kolosal yang diiringi gejog lesung. Bertalu-talu.
Dua rekan bloger, Hannif dan Aya, berkesempatan memainkannya. Karena tidak biasa, tangan mereka cepat pegal. Padahal baru memainkan sekian detik irama.
Selain gejog lesung, wisata budaya lain yang menarik di Kebonagung adalah karawitan, jathilan, seni gerabah, dan membatik. “Pernah tamu dari Bali sebanyak 10 bus menginap di sini dan belajar membatik,” kata Sardi (62 tahun), pemandu bidang homestay.

Wisata Pertanian
Sejarah mencatat, desa Kebonagung sempat berada di bawah wilayah Kasunanan Surakarta. Setelah perjanjian Giyanti diteken, Kesultanan Mataram mengambil alih desa di kecamatan Imogiri, Bantul tersebut. Semasa itu, Kebonagung menjadi penyangga pangan paling penting bagi kerajaan.
Status sebagai lumbung padi tampaknya tak berubah hingga sekarang. Pernyataan dari Joyo, petani yang memandu kami belajar menanam padi, menegaskan hal itu. “Dalam setahun, ada tiga kali musim tanam di sini,” katanya. Rata-rata usia per musim tanam adalah 110 hari. Itu berarti tiga kali panen padi. “Mumpung di sini airnya melimpah, Mas,” ia menambahkan, merujuk pada beberapa dam yang mengepung Kebonagung. Terdapat empat kelompok tani di Kebonagung, dan seluruhnya menanam komoditas yang sama: padi.

Sebelum praktik menanam padi, dua rekan bloger, Hannif dan Sitam, sempat mencoba belajar mluku. Membajak sawah yang siap tanam dengan menunggangi kerbau. Didampingi seorang petani, mereka justru bergembira terciprat lumpur.
Penggunaan alat bajak tradisional tersebut masih dipertahankan sampai sekarang. Mluku biasanya diterapkan pada sawah yang luasnya di bawah setengah hektare. Untuk luas lahan di atas satu hektare, petani sudah menggunakan traktor. Akan tetapi, keputusan penggunaan bajak tersebut bergantung pada seberapa besar modal tanam yang dimiliki.

Praktik menanam padi diwakili oleh Sitam, diikuti beberapa anak muda desa tersebut. Masing-masing menggenggam setancap, yang berisi rata-rata dua tangkai bibit padi berusia 15 hari tersebut.
Dengan arahan Joyo, mereka menanam padi pada jarak tanam sekitar 20x20cm. Angka jarak tanam tersebut ditandai dengan sebilah bambu sepanjang 2,8 meter. Selesai dengan satu deret tanam, mereka melanjutkan penanaman berikutnya dengan berjalan mundur.
Karena keterbatasan waktu, hanya sekitar tujuh baris yang ditanam padi. Menurut perhitungan Joyo –dengan asumsi hasil panen bagus– lahan seluas 300 meter persegi tersebut hanya dapat menghasilkan empat kuintal gabah kering. Setelah penggilingan, akan didapatkan beras sebanyak 2,5 kuintal.
Hasil tersebut sangat bergantung pada beberapa hal. Selain perlakuan pemupukan dan pemeliharaan, juga hama. Hama yang banyak di sini justru bukan tikus, melainkan keong.
Tantangan Ke Depan
Dalam struktur kepengurusan, Dalbiya tercatat mengemban tugas sebagai bendahara. Namun, ia mengakui sendiri, jika dirinya banyak berperan lebih dari sekadar bendaraha. Nama dan nomor selulernya sering terpampang di brosur wisata. Hal ini mengisyaratkan adanya kendala sumber daya manusia (SDM) di Kebonagung.
Seperti jamak dihadapi dalam dunia pariwisata, sumber daya manusia (SDM) juga menjadi perhatian khusus Dalbiya, Sardi, dan kawan-kawan. Regenerasi menjadi mutlak. Sardi sempat berkelakar, “Maaf, yang menjelaskan begini ke tamu masih yang tua-tua. Yang muda-muda masih takut,” ia terkekeh. Ia memang sudah biasa mendampingi tamu, tatkala menjadi tukang becak wisata di Yogya pada 1970-an.
Meskipun mengalami keterbatasan SDM, tapi Dalbiya mengklaim masih sanggup menerima banyak tamu. “Malah banyak yang balik lagi, Mas,” katanya bangga. Tamu-tamunya tak hanya dari instansi pemerintahan, tapi juga sekolah-sekolah.

Jumlah tamu yang datang ke Kebonagung tak hanya puluhan, tapi juga ratusan. Mulai 220 siswa SMAN 71 Jakarta yang jadi tamu pertama pada tahun 2003, hingga 600 anak pada Hari Anak Nasional tahun 2008. Dengan total 52 homestay (rata-rata 2-3 kamar per rumah) yang tersebar di lima dusun, membuat Kebonagung siap menerima tamu berapa pun.
Namun, statistik yang menunjukkan penurunan jumlah wisatawan pada 2016, tak luput dari perhatian Dalbiya. “Mungkin karena strategi pemasarannya yang kurang,” katanya. Bagi saya, pemasaran yang bagus pun tak akan berarti tanpa sumber daya manusia yang memadai. Inilah tantangan yang harus dihadapi Kebonagung.
Program pendampingan pengembangan desa wisata oleh The 101 Hotel, Yogyakarta, harus disambut dengan antusias. Program ini meliputi pemberdayaan sumber daya manusia, pelatihan kepariwisataan, dan pembangunan fisik, yang akan berlangsung hingga tiga tahun ke depan.
Inilah saatnya pemuda-pemudi Kebonagung ikut ambil peran. Mereka tidak boleh kalah semangat, dan harus lebih gila dari Dalbiya dan kawan-kawan. “Kalau tidak gila, tidak bakal bisa membangun desa wisata secara total,” ujar Dalbiya. (*)
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Travel Blogger Eksplor Desa-Kampung Wisata Jogja Istimewa” bertema #EksplorDeswitaJogja yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi (Forkom) Desa Wisata D. I. Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tulisan bloger yang lain tentang #EksplorDeswitaJogja dapat dilihat di masing-masing blog berikut ini:
- Hannif Andy – insanwisata.com
- Nasirullah Sitam – www.nasirullahsitam.com
- Aya – www.cewealpukat.com
- Halim Santoso – jejakbocahilang.wordpress.com
- Rizka Nidy – www.missnidy.com
- Aji Sukma – www.lagilibur.com
- Dwi Susanti – www.relunglangit.com
- Alid Abdul – www.alidabdul.com
Untuk keperluan wisata di Desa Kebonagung, Anda dapat menghubungi Dalbiya di nomor 081392525751 atau 087738778594
Foto sampul:
Dua rekan bloger sedang mencoba memainkan gejog lesung di Desa Wisata Kebonagung, Imogiri, Bantul, Yogyakarta
Tinggalkan Balasan