Di sebuah saung kayu beralas keramik kuning gading, tiga perempuan berjilbab sedang membatik. Masing-masing duduk di atas dingklik plastik yang hampir tidak terlihat. Tertutup baju. Seakan-akan mereka membatik dengan berjongkok.
Jemari mereka begitu lihai mencanting di atas kain katun putih yang sudah tak polos. Sudah memiliki pola yang memikat. Dua motif klasik dikerjakan oleh Khiftiyah dan Nur Janah, sedangkan Imaroh membatik motif buah naga. Motif tersebut merupakan motif pengembangan (modern).
Lekuk motif yang rumit itu, tak sekadar bicara mengenai proses membuat pola, mencanting, mewarnai, nglorot (menghilangkan lilin), hingga mencuci. Kerumitan motif tersebut menggambarkan ketelatenan dan kesabaran srikandi pembatik itu. Sesabar saat mereka dan pengrajin batik lainnya melalui ujian berat yang terjadi 11 tahun silam.

* * *
Sarat dengan Liku Sejarah
Hubungan antara batik dan masyarakat di Imogiri, khususnya di Giriloyo, bukan merupakan hasil dari proses instan begitu saja. Geliat dunia ‘perbatikan’ yang kami –tim bloger #EksplorDeswitaJogja– lihat sekarang, adalah hasil dari proses sejarah yang sangat panjang. “Semuanya dimulai saat pembangunan makam raja-raja Mataram pada abad ke-16, Mas,” kata Nur Ahmadi, Ketua 2 Kampung Batik Giriloyo.
Itu berarti terjadi pada masa Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, raja ketiga Kesultanan Mataram. Darinya, dimulailah Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram. Sejak saat itu, banyak keluarga keraton yang datang untuk berziarah.
Nur Ahmadi bercerita, dulunya batik hanya dipakai di kalangan keluarga keraton. Banyaknya keluarga keraton yang datang berziarah pun memunculkan interaksi yang intens dengan warga Giriloyo. Sebagian besar warga pun direkrut menjadi abdi dalem keraton. Mereka pun diajari keterampilan membatik dan membuat batik untuk keluarga keraton.
Keterampilan itu pun ditularkan turun-temurun ke keluarga abdi dalem; yang menjadi nenek moyang bagi generasi-generasi pengrajin batik seterusnya. Bahkan, karena tingginya permintaan dari keluarga keraton, para abdi dalem pun sampai membuat batik di luar keraton.
Berpuluh-puluh tahun setelahnya, batik hanya sekadar sebagai lembaran kain yang digunakan untuk keperluan acara tertentu. Hingga pada tahun 1980-an, muncul satu kelompok pengrajin batik pertama di Giriloyo, yang membuka peluang peningkatan ekonomi masyarakat. “Namun, saat itu belum berjalan dengan baik,” kata Nur Ahmadi.
Malah seperempat abad setelahnya, batik Giriloyo sempat terhunjam dalam sejarah yang kelam. Kala itu, alam yang berdetak lebih kencang.
* * *

27 Mei 2006. Gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang Yogyakarta. Banyak kerusakan fisik yang ditimbulkan, rumah-rumah, perkantoran, bandara, juga situs-situs sejarah seperti makam raja-raja Jawa di Imogiri, Bantul.
Tak jauh dari sana, padukuhan Giriloyo, kecamatan Wukirsari, yang sudah dikenal sebagai kampung batik tulis pun mengalami nasib serupa. Hampir sebagian besar rumah warga ambruk. Perlengkapan membatik pun rusak. “Selama setahun, kami vakum membatik karena fokus membenahi tempat tinggal,” ujar Nur Ahmadi.
Putus asa dan trauma pasti ada. Tapi, Nur Ahmadi memiliki tekad saat itu, “Kami harus bangkit kembali.” Musibah menjadi berkah.
Bersama sejumlah warga, Nur Ahmadi menyatukan dan menyeru para pengrajin batik untuk bangkit. Karena gempa, mereka merasakan sendiri betapa kebaikan dan kepedulian itu tak mengenal sekat. Mereka menyaksikan sendiri ketika salah satu motif batik yang jadi andalan, sidoasih, terwujud begitu nyata. Saling mengasihi satu sama lain.
Sebagai contoh, bantuan materi berupa uang tunai dari sejumlah lembaga, mereka pakai untuk membeli kain sepanjang 300 meter. “Dengan kain itu, kami turun ke jalan. Demo,” kenang Nur Ahmadi.
Bukan, yang dimaksud bukan demo anarkistis, melainkan demo membatik yang terjadi pada 27 Mei 2007. Tepat setahun pasca gempa. Tujuannya jelas. Pengrajin batik tulis Giriloyo ingin membuktikan bahwa mereka masih eksis. Sekaligus, menunjukkan pada pencinta batik, bahwa di sanalah sentra batik tulis khas Yogyakarta atau biasa disebut batik Bantulan berada.
Tak hanya itu. Gelontoran dana senilai 300 juta rupiah dari USAID dimanfaatkan untuk mendirikan kawasan Kampung Batik Giriloyo. Di atas tanah kas desa seluas 3.000 meter persegi tersebut, dibangun beragam fasilitas seperti saung-saung untuk kelas membatik, dapur, musala, hingga showroom batik. Toilet berstandar internasional sumbangan perusahaan pelat merah pun ikut melengkapi.
Tapi, Nur Ahmadi dan jajaran pengurus tak ingin cepat puas. “Ke depan, kami ingin bangun museum batik,” katanya. Selain itu, pihaknya ingin melakukan peremajaan saung-saung kayu yang sudah mengalami pelapukan.
Kebangkitan pasca gempa itu bak kuntum bunga yang mekar. Pemerintah Kabupaten Bantul pun memberikan dukungan khusus. Mulai tahun 2010, batik ditetapkan sebagai muatan lokal bagi kurikulum di tingkat SD/MI hingga SMA/SMK.
Ketetapan tersebut bisa dibilang sebagai langkah untuk memelihara generasi pengrajin batik agar tetap lestari. Menumbuhkan minat dan bakat membatik sejak dini pada generasi muda. Tak hanya sekadar membuat, tetapi juga memasarkannya, yang selama ini masih terasa menjadi kendala bagi pengrajin batik.

Tetap Pertahankan Motif Klasik dan Pewarnaan Alami
Nur Ahmadi mengatakan, pengembangan batik tulis Giriloyo memiliki dua misi. Pertama, melestarikan puluhan motif klasik khas Yogyakarta. Kedua, mengembangkan dan memodifikasi motif klasik menjadi modern.
Wahyu temurun, truntum, parang, sidoluhur, sidoasih dan sidomukti adalah contoh-contoh motif batik klasik yang paling sering dipakai dan dibuat. Khusus sidoasih dan sidomukti, merupakan dua motif yang paling banyak diburu pencinta atau kolektor batik klasik. Karena itulah, selain untuk alasan masih menjadi mitra keraton, batik dengan motif-motif klasik masih dilestarikan.
Terlebih, beberapa motif memiliki makna mendalam. Mengandung filosofi khas Jawa. Misalnya, motif sidoasih dan sidomukti. “Sidoasih itu mengasihi. Sidomukti itu, harapan agar pemakainya menjadi orang yang mulia,” terang Nur Ahmadi.
“Namun, kami juga mengembangkan motif modern untuk menyesuaikan pasar,” ujar Nur Ahmadi. Salah satu motif modern yang dikembangkan adalah motif buah naga, seperti yang sedang dikerjakan Imaroh saat kami berkunjung.
Selain menggunakan pewarnaan sintetis (kimia), pengrajin batik Giriloyo juga masih mempertahankan teknik pewarnaan alami. Salah satu bahan bakunya adalah daun dari tanaman tarum sejati (Indigofera tinctoria) –orang Jawa menyebutnya tom– yang akan menghasilkan warna biru.
Limbah cair pasta rendaman daun tarum, yang juga umum digunakan untuk pakan ternak dan pupuk organik ini, bersifat ramah lingkungan dan tidak akan meracuni kulit. Pengrajin batik hanya mengambil daunnya saja tanpa mencabut akar, agar ekosistem tetap terjaga.
Bahan baku lain yang juga biasa digunakan untuk pewarnaan alami antara lain kulit buah dan kulit kayu. Kulit kayu biasanya dihasilkan dari kayu mahoni yang akan menghasilkan warna cokelat. Bahan alami akan cenderung menghasilkan warna yang lembut pada kain batik.
Melihat kerumitan proses membatik dan teknik pewarnaan alami yang dipakai, tentu sepadan dengan harga yang harus ditebus untuk selembar kain batik. Kain batik di Giriloyo dijual mulai dari Rp 500.000. Semakin rumit prosesnya, maka bersiaplah merogoh kocek lebih dalam demi selembar mahakarya.

Terus Bertumbuh
Gempa bumi yang mengguncang Kota Gudeg pada 2006 memang sempat ‘sesaat’ melumpuhkan denyut batik Giriloyo. Meskipun demikian, masyarakat mampu bangkit dengan cepat.
Dengan keberadaan Kampung Batik Giriloyo, para pengrajin batik tulis bisa menjadi lebih berdaya. Nur Ahmadi mengklaim, rata-rata jumlah wisatawan ke Kampung Batik Giriloyo mencapai lebih dari 10.000 kunjungan per tahun. Wisatawan tersebut ada yang datang khusus untuk belajar membatik, ada juga yang berbelanja batik.
Selain itu, mereka juga kerap melatih wisatawan yang ingin belajar membatik. “Saya biasa memanggil satu pengrajin untuk lima orang tamu.” Nur Ahmadi membeberkan pengalaman ketika memandu 600 tamu dari luar kota dalam satu waktu. Kala itu ia melibatkan 120 pengrajin batik untuk melatih masing-masing lima tamu.
Kini, ada lebih dari 1.200 pengrajin batik tulis yang ada di Kecamatan Wukirsari. Mereka tersebar di tiga padukuhan, yaitu Cengkehan, Karangkulon, dan Giriloyo. Khusus di Giriloyo sendiri, terdapat 12 kelompok pengrajin batik.
Meskipun tidak seluruh pengrajin tergabung dalam kelompok (mandiri), mereka tetap guyub dan memiliki semangat yang sama. Semangat menjadikan Giriloyo sebagai sentra batik tulis di Yogyakarta. Sepertinya, mereka memahami betul jika garis rezeki masing-masing sudah diatur oleh Sang Pencipta.
Di tengah gempuran modernisasi, harmoni antara batik tulis Giriloyo dan tom harus lestari. Bertumbuh, menghidupi, dan mewarnai nusantara dengan kearifan lokal khas Jawa, yang terlukis dalam lembaran-lembaran kain batik. (*)
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Travel Blogger Eksplor Desa-Kampung Wisata Jogja Istimewa” bertema #EksplorDeswitaJogja yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi (Forkom) Desa Wisata D. I. Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tulisan bloger yang lain tentang #EksplorDeswitaJogja dapat dilihat di masing-masing blog berikut ini:
- Hannif Andy – insanwisata.com
- Nasirullah Sitam – www.nasirullahsitam.com
- Aya – www.cewealpukat.com
- Halim Santoso – jejakbocahilang.wordpress.com
- Rizka Nidy – www.missnidy.com
- Aji Sukma – www.lagilibur.com
- Dwi Susanti – www.relunglangit.com
- Alid Abdul – www.alidabdul.com
Untuk keperluan wisata batik di Kampung Batik Giriloyo, Bantul, Yogyakarta, Anda dapat menghubungi Nur Ahmadi di nomor 082242775095.
Foto sampul:
Nur Janah, seorang pengrajin, sedang mencanting di atas kain batik bermotif klasik
Tinggalkan Balasan