Butuh 36 tahun bagi pemerintah Kabupaten Gunungkidul menetapkan Bleberan, Kecamatan Playen, sebagai desa wisata. Objek wisata gua Rancang Kencono dan air terjun Sri Gethuk dirintis masyarakat setempat sejak tahun 1974, lalu diresmikan dan dikelola secara maksimal pada 3 Juli 2010. Tahun-tahun yang terentang di antaranya adalah masa kevakuman dan terbatasnya sumber daya manusia, yang berdampak pada kekurangseriusan pengelolaan.
Kini, gapura kokoh menyambut di dua ikon desa wisata Bleberan itu. Hari itu, Saifuddin, juga turut menyambut kami yang tergabung dalam tim #EksplorDeswitaJogja. Pemandu sekaligus pemaket wisata itu mendampingi kami selama di lokasi. Ia menjelaskan berbagai seluk-beluk di balik keberadaan kedua objek wisata yang dipisahkan jarak sejauh 700 meter.
“Mari kita ke gua Rancang Kencono dulu,” ajak Saifuddin.

Jejak Laskar Mataram di Gua Rancang Kencono
Dari loket, kami hanya jalan kaki sejauh 50 meter ke gua. Untuk menuju mulut gua yang terdapat pohon klumpit di depannya, kami menuruni beberapa anak tangga. “Menurut peneliti dari UGM, usia pohon ini sekitar 300-an tahun.”
Pohon yang memang terlihat sangat tua itu menjulang tinggi. Rongga mulut gua yang lebar pun seakan-akan memberi ruangnya untuk bertumbuh.
Ini bukan gua biasa. Mungkin seperti itu yang tersirat, ketika Saifuddin menjelaskan beragam latar cerita tentang gua Rancang Kencono.
Di ujung tangga, kami memasuki ruang utama gua atau biasa disebut sebagai aula. Ruang kosong seluas 20×20 meter itu begitu lapang. “Memasuki gua ini, seperti memasuki sebuah bangunan kerajaan atau keraton,” terang Saifuddin. Menurutnya, itu karena ada tiga kolom ruangan dalam gua yang berbeda ukuran dan fungsi.
Aula yang kami masuki pertama kali adalah ruang pertama. Di tempat ini, dulunya biasa dipakai untuk tempat pertemuan sekaligus persembunyian. Pada masa kerajaan Mataram, aula ini digunakan para pendekar laskar Mataram untuk menyusun strategi perang melawan penjajah,
Dari aktivitas tersebutlah nama gua ini berasal. Kyai Soreng Pati dan Kyai Putut Linggo Bowo, dua orang pertapa pada masa itu, memberi nama Rancang Kencono. ‘Rancang’, berarti merancang atau menyusun; sedangkan ‘kencono’ adalah emas, bermakna sebagai kebajikan atau kemuliaan untuk hasil yang baik.
* * *

Jika kami masuk aula dengan berdiri, maka di ruangan kedua, kami harus agak merunduk karena lorong yang rendah. “Tapi nanti di ruang kedua bisa berdiri lagi,” kata Saifuddin.
Karena lorong masuk yang sempit, kami bergantian memasuki ruangan kedua. Luas ruangan kedua ini mungkin hanya 1,5 persen dari luas aula utama. Suasana cukup pengap dan kami harus menyalakan senter untuk penerangan.
Kami menyorot dinding gua, mendapati beberapa goresan di sana. Sayangnya, bukan jejak goresan dari nenek moyang, melainkan jejak vandalisme. Coretan-coretan dari wisatawan yang tidak bertanggung jawab.
Mengingat ruangan kedua ini berfungsi sebagai tempat persembahan, jejak vandalisme itu terasa keterlaluan. Saifuddin mengatakan, vandalisme ini terjadi saat gua belum dikelola dengan baik seperti sekarang ini. Jejak coretan juga saya jumpai di sebagian dinding gua di aula. Beberapa stalaktit pun sudah tak bisa tumbuh (mati) karena sering dipegang.
Tak hanya vandalisme, benda peninggalan seperti patung batu dan arca juga banyak yang hilang (dicuri). Bentuk patung batu bermacam-macam. “Ada yang bentuknya seperti sosok harimau, ada juga yang belum selesai dipahat,” terang Saifuddin.
Penggalian arkeologi sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh tim Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) Gunungkidul. Mereka menemukan sejumlah artefak batu dan tulang, arca nandi dan singa dalam kondisi aus. Beberapa temuan arkeologi tersebut sudah diinventarisasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta pada tahun 2007.
Dulu, pernah ditemukan batu berbentuk sosok manusia yang belum selesai dipahat. Di bagian kepalanya, selalu terpancar air dan tidak pernah kering. “Mbah-mbah kami dulu selalu mengusapkan air ke kepala mereka,” kata Saifuddin. Tujuannya tak lain supaya awet muda. “Sayang, batu itu sudah tidak ada lagi.”
* * *

Lorong yang lebih rendah dan selebar tubuh manusia menjadi pintu masuk ke ruangan ketiga, tempat meditasi atau semedi. Saifuddin mengarahkan kami untuk masuk dengan kaki kanan terlebih dahulu sambil merangkak. Namun, seperti di ruang kedua, setelahnya kami bisa berdiri. Hanya saja sedikit lebih sempit daripada ruang kedua.
Kami berada di tempat sakral. Tempat para pertapa bersemedi untuk lelaku tirakat. Tempat di mana Kyai Soreng Pati dan Kyai Putut Linggo Bowo mencari petunjuk untuk laskar Mataram. Dan konon, menurut cerita setempat, lorong kecil yang ada di ruangan ini diyakini bisa tembus hingga ke air terjun Slempret (Sri Gethuk), sekitar 700 meter dari gua.
Di dinding terlebar dalam ruangan ini, terukir semacam prasasti berisi kata-kata sumpah atau janji. Kata-kata pelecut semangat dan penguat tekad laskar Mataram dalam melawan penjajahan.
Ruangan ketiga ini juga disebut Saifuddin sebagai gembok dan kunci gua. “Artinya, untuk dibuka dan menembus ‘alam’ berikutnya.”
Sampai sekarang, masih banyak pelaku religi yang bermeditasi di dalam gua ini. Tidak selalu ada patokan hari-hari tertentu. “Biasanya yang datang bermeditasi itu sedang akan ada hajatan tertentu.”
Kami tidak berlama-lama di ruangan ketiga. Kami bergegas keluar dan kembali ke aula. Sesuai arahan Saifuddin, kami keluar dengan merangkak sejauh empat langkah kaki, baru berdiri lagi di ruangan kedua. Bukan apa-apa. Angka empat langkah itu adalah jumlah yang pas menurut Saifuddin, supaya kepala tidak terbentur batu karena tergesa berdiri.
* * *

Saat pertama kali ditemukan warga setempat pada tahun 1952, semak belukar lebat dan pohon-pohon besar mengelilingi gua ini. Sepertinya kesan angker pada mulanya begitu jelas terlihat.
Tapi kini, kesan angker itu sudah terkikis. Warga setempat ada yang memanfaatkannya untuk menggelar acara kesenian hingga bermain bulutangkis. Selain itu, Saifuddin bersama rekan-rekan pengelola mengubahnya menjadi wisata yang ramah pengunjung dan berdaya guna. Beragam paket wisata ditawarkan oleh mereka.
Dengan biaya Rp 10.000, pengunjung sudah dapat akses masuk ke dua lokasi wisata, termasuk air terjun Sri Gethuk. Jika ingin menikmati lebih, ada paket terusan seharga Rp 45.000 per orang. Dengan paket ini, wisatawan mendapatkan fasilitas body rafting, perahu ke air terjun, angkutan antar lokasi wisata, pemandu, dan penitipan barang.
Di kawasan gua Rancang Kencono sendiri terdapat tempat yang nyaman untuk aktivitas berkemah atau outbond. Bahkan, Paku Alam IX selaku Kakwarda XII Gerakan Pramuka Provinsi DIY, meresmikan gua Rancang Kencono sebagai tempat wisata perkemahan pada 19 Desember 2006.
Sri Gethuk, Keindahan Berbalut Mistisisme Jawa

Air terjun Sri Gethuk merupakan satu bagian dari 13 GeoArea di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Dalam peta Geopark Gunung Sewu, air terjun berkode GK-08 ini menjadi salah satu bagian di antara 30 situs geologi dan 3 situs non geologi yang tersebar di Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan.
Aliran air terjun tersebut terbentuk dari sungai yang berasal dari ketinggian pematang batu gamping. Kemudian, aliran sungai itu memotong tebing batuan dan membentuk air terjun dan akhirnya bermuara di Sungai Oyo. Air terjun Sri Gethuk ‘bersandar’ pada batu gamping berlapis Formaso Oyo, yang mana tersingkap di daerah Plato Wonosari. Tebing batuan dan lembah terjal yang dibenuk oleh Sungai Oyo membetuk gorge, jurang atau ngarai kecil yang curam.
Proses tersebut dimulai dari pembentukan batu gamping di laut dangkal. Periodenya sangat lama, sekitar 15 juta tahun allu.
“Di Jogja, cuma Sri Gethuk yang airnya mengalir sepanjang tahun. Bukan musiman,” kata Sitam, rekan bloger yang ikut dalam rombongan. Karenanya, ketika sungai Oyo menjadi coklat saat musim penghujan, air terjun ini tetap jernih dan mengucur cukup deras.
Kami berkesempatan mengunjunginya setelah puas menyimak cerita sejarah di gua Rancang Kencono. Berjarak sekitar 700 meter dari loket, kami menggunakan kendaraan menuju tempat parkir air terjun. Jalur yang dilalui berupa makadam yang cukup sempit.
* * *

Tulisan Sri Gethuk dalam ukuran besar terpampang di ujung tempat parkir. Warung-warung tertata rapi. Kami hanya perlu menuruni beberapa anak tangga menuju ke dermaga di tepi Sungai Oyo yang kecoklatan.
Saifuddin mengarahkan kami untuk mengenakan pelampung yang sudah disediakan pengelola. Kami akan naik perahu getek ke air terjun. Ia juga mengimbau untuk menitipkan barang-barang yang tidak diperlukan. Cukup membawa alat dokumentasi saja.
Perahu getek yang membawa kami bentuknya cukup unik. Kreatif. Beberapa drum terikat rapat di sisi kanan dan kiri sebagai dasar perahu. Lalu papan kayu sebagai alas, di atasnya terdapat kursi-kursi kayu yang menempel pada pagar besi sebagai pengaman. Mesin tempel kecil bersuara nyaring menjadi penggerak getek ini.
Perlahan, kami berlayar melawan arus sungai Oyo yang saat itu tidak terlalu deras. Tak sampai 10 menit, kami sudah merapat di dermaga air terjun Sri Gethuk. Di sana sudah menunggu wisatawan yang akan pulang dan menumpang perahu yang sama.
Terlihat mereka basah kuyup, tanda puas bermain air. Dan kami juga bersiap-siap untuk itu. Setelah berlumpur ria karena offroad di Bejiharjo, kini saatnya berbasah ria.
* * *

Air terjun ini mulanya mendapat nama Slempret dari sebuah kisah mistis yang beredar di tengah masyarakat. Konon, pada malam-malam tertentu, sering terdengar bunyi-bunyian dari arah air terjun. Bunyi-bunyian seperti suara selompret (sejenis alat tiup) dan gamelan. Namun, ketika didekati, suara tersebut menghilang.
Warga setempat pun percaya, jika ada sosok jin penyuka kesenian yang membunyikan gamelan tersebut. Nama jin itu adalah Angga Mandura, yang diyakini sebagai raja jin Slempret.
Salah satu instrumen gamelan berupa kethuk yang sering dimainkan sang raja jin, menjadi nama lain air terjun ini. Dan nama Sri Gethuk pun lebih populer. “Konon, ada satu alat gamelan yang ‘tersimpan’ di dalam air terjun Sri Gethuk,” kata Saifuddin.
Entahlah, saat itu saya hanya merasa bersyukur cukup mendengar suara getek dan gemericik air terjun. Juga sorak-sorai kami yang ceria, karena guyuran air yang menyegarkan. (*)
* * *
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Travel Blogger Eksplor Desa-Kampung Wisata Jogja Istimewa” bertema #EksplorDeswitaJogja yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi (Forkom) Desa Wisata D. I. Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk keperluan wisata di gua Rancang Kencono dan air terjun Sri Gethuk, Anda dapat menghubungi Saifuddin di nomor 081319127927.
Referensi tambahan:
Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta
Tim Pengelolaan Geopark Nasional Gunung Sewu
wisatadesableberan.blogspot.co.id
Foto sampul:
Gerbang kawasan wisata gua Rancang Kencono dan air terjun Sri Gethuk
Tinggalkan Balasan