Hari Buruh, tiga tahun lalu. Mengawali bulan Mei di tahun 2014, saya bersama tiga orang teman ‘mendadak’ bersepeda motor ke Bukit B29, Desa Argosari, Senduro, Lumajang. Saat itu, punggungan bukit yang termasuk bagian dari tebing kaldera Bromo itu belum lama dibuka untuk wisata.
Dalam pos ini, saya menampilkan foto-foto selama kami berkemah di sana. Foto-foto yang dapat menjadi alasan, bahwa kami ingin kembali ke sana lain waktu. Menikmati alam, menikmati suasana hangat dan ramah di antara masyarakat suku Tengger Argosari. Menikmati Bromo dari sisi timur.
* * *
Busthomy (kiri) dan Jeanni berfoto di muka gapura masuk Desa Argosari. Selain Ranu Pani, desa ini juga terhitung sebagai desa tertinggi di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kami saat itu berkendara hampir 6 jam dari kota Malang. Keterbatasan informasi rute saat itu, membuat kami terpaksa memutar lewat Lumajang.
Setibanya di Argosari, kami memilih menitipkan motor dan menyewa ojek (saat itu Rp 30.000 sekali jalan) untuk mengantar kami berempat ke puncak. Saat itu, jalan sepanjang kurang lebih 4 km masih belum sebagus saat ini. Masih tanah, licin kala hujan. Membonceng tukang ojek pun juga harus fokus. Harus berpegangan erat karena jalan yang tak beraturan. Tapi setibanya di atas, pemandangannya memberikan impresi yang menghapus lelah.
Atas saran tukang ojek, kami mendirikan tenda di salah satu puncak bukit yang lebih tinggi. Ke arah utara dari tempat parkir. Saat itu hanya 2-3 tenda yang berdiri di sekitar tenda kami. Pintu tenda kami hadapkan ke arah timur, membelakangi Bromo.
Menjelang petang, seberkas cahaya senja terlihat di garis cakrawala. Hawa dingin mulai menusuk kulit. Kami bergegas menyiapkan menu makan malam.
Kala malam, bintang-bintang mulai terlihat. Bertaburan. Di barat laut, terlihat kerlip cahaya lampu yang merupakan permukiman Desa Cemoro Lawang, Sukapura, Probolinggo. Lalu kerlip cahaya di pucuk bukit di kejauhan, adalah Pananjakan 1. Salah satu tempat terbaik menyaksikan matahari terbit di kawasan Bromo.
Kata mayoritas pendaki gunung, lebih nyaman tidur beralas matras di bawah jutaan bintang, daripada kasur empuk di hotel bintang lima. Kami merasakan kenikmatan dan sensasi luar biasa saat itu. Kalau saja tempat ini tak jauh dari rumah, mungkin saya lebih memilih begadang menyaksikan bintang.
* * *
Pagi yang dinanti pun tiba. Kami bergegas salat Subuh. Tapi sebelumnya, kami dibuat terpana saat membuka pintu tenda. Siluet Gunung Lemongan dan Gunung Argopuro menjadi pemanis pertunjukan khas fajar saat itu. Angin subuh memang bikin menggigil, tapi tak menggoyahkan kekaguman melihat pemandangan seindah ini.
Membalikkan badan ke arah barat. Terlihat kepulan asap dari kawah Bromo. Saat itu Bromo sedang berstatus ‘Waspada’, sehingga wisatawan dilarang naik dan mendekati kawah. Di kejauhan, tampak Gunung Arjuno dan Gunung Welirang seperti berdampingan. Mengapit Gunung Kembar I dan II. Kabut tipis juga masih melayang di lautan pasir kaldera purba Bromo.
Mengedarkan pandangan ke arah selatan. Tampak Gunung Semeru dengan puncaknya yang khas. Bergurat. Berlumur pasir dan batu, juga sesekali terbatuk menyemburkan asap dari kawah Jonggring Saloka. Kami seolah nyaris setinggi Semeru. Ketinggian lokasi tempat kami berdiri, diperkirakan sekitar 2.900 meter dari permukaan laut (mdpl). Setinggi kawasan Arcopodo sebelum puncak Semeru. Dan lebih tinggi dari Bromo (sekitar 2.100 mdpl). Karenanya, diduga dari sana nama B29 berasal.
Setelah pagi mulai terang, kami berempat turun ke tempat parkir. Kami melihat di sana sedang banyak orang berkumpul. Ternyata, sedang ada upacara atau hajatan kecil. Warga sekitar menyebutnya sebagai ujar-ujar.
Saat itu ada warga yang mengadakan hajatan dan mengundang warga. Lewat ujar-ujar, ini semacam persembahan dari seseorang yang diikuti oleh orang banyak. Di tempat ini pemujaan, warga menempatkan sesajinya masing-masing.
Sepertinya, dengan kompak warga pun berbagi tugas. Seperti ini. seorang warga menyembelih anak kambing sebagai kurban dan bagian dari upacara.
Sebagian warga yang lain menyiapkan perapian. Gunanya untuk memanggang hasil kurban yang nantinya dinikmati bersama-sama.
Di sini, warga tumplek blek. Menyatu dengan wisatawan. Tanpa sekat. Saling mengobrol santai, sembari menikmati pagi yang cerah.
* * *
Matahari sudah meninggi. Tapi kabut-kabut tipis masih melayang di kaki Lemongan dan Argopuro. Cahayanya yang keemasan juga menerangi lahan sayur warga yang terjal.
Kami kembali ke tenda. Bergegas menyiapkan sarapan ringan dan berkemas. Kami tidak ingin terlalu sore tiba di Malang kembali.
Ketika hendak berkemas, banyak warga sedang berkumpul di sekitar tenda kami. Selain menikmati pemandangan yang mereka temui sehari-hari, mereka juga tengah berdiskusi. Isinya terkait pengembangan wisata B29. Wacana pavingisasi jalur dan pengadaan fasilitas umum lainnya adalah bahasan diskusi yang sempat saya dengar.
Sekitar pukul 09.00, kami mulai turun meninggalkan puncak B29. Untuk pengalaman yang berbeda, kami memilih berjalan kaki untuk kembali ke desa. Menuruni jalan sejauh 4 km membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Sosok Semeru yang ‘tersembunyi’ di balik bukit berladang seolah menjadi penyemangat. Karena, masih sekitar 4,5 jam lagi yang kami tempuh untuk kembali ke Malang. Dua pekan setelah dari B29 kala itu, saya bersama Busthomy langsung mendaki Semeru. Saya menuliskan cerita pendakiannya di sini.
* * *
Kini, kabarnya Puncak B29 sudah berkembang pesat. Kadang hal itu berbanding lurus dengan kekhawatiran kami soal sampah. Saat kami ke sana, sampah dapat dihitung dengan jari. Kini dengan masifnya media sosial dan minat wisata, saya berharap hal itu bisa berimbang dengan kebersihan yang tetap terjaga.
Kami berharap, semoga baik warga maupun wisatawan memiliki kesadaran tentang menjaga kebersihan dan kelestarian alam. Tak berlebihan jika banyak orang bilang, kelestarian alam itu juga demi anak cucu. Jadi, kapan ke B29? (*)
Foto sampul:
Seorang pria Tengger berbalut sarung dan mengenakan peci menikmati panorama Bromo
Tinggalkan Balasan