Wawancara terhenti sesaat. Sejenak, Erna menghentikan kegiatan menjahit sebuah blangkon. “Sebentar ya, Mas.” Ia bilang begitu ketika terdengar seperti suara air yang meluber. Bergemericik. Kemudian ia setengah berteriak, “Mas, tolong matikan pompa airku!”
Yang ia mintai tolong adalah Arif dan kawan-kawan pemandu offroad yang menunggu kami di luar rumah. Saya yang duduk persis di depan Erna bergegas bangkit dan berjalan keluar.
Tapi Arif lebih sigap. Ia berjalan cepat ke arah saklar pompa air yang dimaksud Erna. Letaknya ada di dinding bangunan sederhana di luar rumah. Seketika, suara raungan mesin pompa air berhenti. Gemericik air di tendon juga perlahan berhenti mengalir. Arif kembali bergabung dengan Fian dan Taufiq, ngobrol-ngobrol di atas jip.
Saya kembali duduk di posisi semula. Teman bloger #EksplorDeswitaJogja yang lain kembali antusias mendengarkan cerita Erna, yang melanjutkan kegiatan menjahit blangkon. Dengan duduk bersandar tembok putih rumahnya, dia bertutur mengenai suka dukanya membuat blangkon.
* * *

Kami sebenarnya agak segan memasuki rumahnya. Kami baru saja berkotor ria setelah berwisata offroad di tepian Kali Oyo. Tapi karena Arif –koordinator pengelola wisata offroad Dewa Bejo–mengarahkan kami untuk mampir ke salah satu rumah pengrajin blangkon, kami segera membersihkan jejak lumpur yang belum kering di pakaian dan tubuh. Terlebih, Erna malah bersuka cita menyambut kami. “Ayo, masuk saja, gak apa-apa.”
Erna adalah satu di antara puluhan pengrajin blangkon yang ada di Padukuhan Bulu. Bersama suaminya, Suratno, mereka memiliki satu kelompok pengrajin. “Di Bulu ada sepuluh kelompok,” kata ibu dua anak itu, dan semuanya tergabung dalam paguyuban kelompok pengrajin “Sido Dadi” yang diketuai oleh Giyardi.
Namun, Erna tak ingat betul secara pasti berapa anggota kelompoknya. “Soalnya tidak tentu, Mas, tergantung kondisi.” Kondisi yang dimaksud adalah jumlah pekerja yang membantunya tergantung pada banyaknya pemesanan yang diterimanya.
Yang pasti, kelompok pengrajin blangkon tersebut telah lama melakukan jasa penting. Yaitu, melestarikan warisan budaya. Keberadaan mereka menjadikan Desa Wisata Bejiharjo, Gunungkidul, memiliki sentra pengrajin blangkon utama di Yogyakarta. Erna dan kawan-kawannya membuktikan bahwa mereka bisa hidup dari melestarikan budaya.
Sebelum Erna ikut membantu suaminya membuat blangkon pada 2007, Suratno memulainya terlebih dahulu beberapa tahun sebelumnya. Barangkali memang sudah jalan takdirnya. Dia adalah satu-satunya di antara lima bersaudara yang menjadi pengrajin blangkon.
* * *

Lem, jarum, benang, gunting, berserakan dalam satu wadah plastik berwarna biru. Kedua tangan Erna bergerak dengan cekatan. Seolah, berbagi tugas. Tangan kanan untuk menjahit, dan tangan kiri untuk menstabilkan plonco dan blangkonnya.
Tak pernah terpikir dalam benak saya jika pembuatan blangkon begitu rumit. Tak pernah tebersit, jika ada proses-proses yang cukup melelahkan sebelum benar-benar berbentuk blangkon.
Blangkon, bagi sebagian awam –termasuk saya– mungkin hanya sekadar kain penutup kepala. Sama seperti topi, kupluk atau songkok. Tapi rupanya saya keliru besar.
“Yang sulit itu merangkai di awal,” ujar Erna. Selain itu, kendala lainnya adalah jika ada kesibukan lain yang menghambat proses produksi. Seperti, jika ada hajatan warga. Ia harus berhenti sejenak dan mengalihkan fokus untuk membantu tetangganya.
Jemarinya begitu cekatan menjahit blangkon yang hampir jadi. Kecepatannya menjahit menjadi pertanda, bahwa menjahit lebih mudah daripada merangkai motif di awal. Membentuk kerutan-kerutan pada bahan kain batik di atas plonco, tempat cetakan blangkon.
Deskripsinya yang singkat tentang kerumitan pembuatan blangkon menyadarkan saya. Bahwa membuat tak semudah memakainya. Lebih dari itu, blangkon memiliki filosofi yang bermakna tinggi dan direkam dalam sejarah. Ranggajati Sugiyatno, seorang pengrajin blangkon yang juga budayawan asal Solo, menegaskan makna itu lewat penuturannya pada kesolo.com, situs daring yang berbasis di Solo.
Untuk diketahui, ada perbedaan mendasar (mencolok) antara blangkon Solo dan Yogyakarta. Perbedaan itu terletak pada bagian belakang blangkon. Bagian belakang blangkon Solo rata, sedangkan blangkon Yogyakarta memiliki tonjolan kecil. “Ini namanya mondholan,” kata Erna. Mondholan itulah yang menampakkan filosofi dari blangkon tersebut.
Menurut Ranggajati, munculnya bentuk mondholan pada blangkon Yogyakarta itu, dikarenakan pada masa pemerintahan Panembahan Senopati –usai runtuhnya Pajang– para lelaki memiliki kebiasaan memelihara rambut panjang. Karena panjang, oleh ajaran Islam yang baru masuk saat itu, kemudian diikat dan digelung ke belakang kepala. Baru kemudian ditutup dengan kain iket sampai batas dahi dan telinga.
Tapi karena pemakaian iket yang begitu rumit dan memakan waktu, lahirlah blangkon. Gelungan rambut tersebut menginspirasi pembuatan blangkon, yang dalam perkembangannya memunculkan mondholan sebagai tempat untuk gelung atau kuncir. Bisa dibilang, blangkon kini adalah penyempurnaan dari iket.
Mondholan pada blangkon Yogyakarta memiliki filosofi bahwa orang Jawa tidak hanya pandai menyimpan rahasia. Tapi juga menutupi aib diri sendiri maupun orang lain. Ranggajati bahkan menyebut orang Jawa akan berusaha tersenyum meskipun hatinya menangis. Baginya, hal itu bukanlah sikap munafik, melainkan keinginan untuk selalu berbuat kebaikan pada orang lain. Inilah yang disebutnya keluhuran budi pekerti orang Jawa.
* * *

Untuk motif atau gaya, Erna lebih sering menggarap pesanan blangkon bermotif mataraman. Bukan karena ia dan kelompoknya hanya mampu mengerjakan motif tersebut. Melainkan karena banyak pemesan yang meminta dibuatkan blangkon bermotif mataraman.
Meskipun kuantitas dan frekuensi pemesanan tak tentu, Erna memberi ketentuan minimal tiga buah dalam sekali pemesanan. “Sehari paling sedikit bikin tiga blangkon,”. Kalau saya, sehari pun mungkin belum tentu satu pun jadi.
Dengan bahan baku kain –ukuran kurang lebih 1 x 1 meter– yang bervariasi harganya, mulai dari dua puluh ribu hingga dua ratus ribuan, Erna pun menjualnya sesuai kondisi bahan baku. Angka 40-60 ribu rupiah adalah harga termurah yang ia patok. Adapun harga blangkon termahal yang dipatoknya adalah sekitar 300.000-an. Jika bahan baku berupa kain batik tulis, tentu harga blangkon yang dijual akan lebih mahal lagi.
Dari satu motif yang menjadi mayoritas, Erna membuat blangkon yang berbeda jenis dan harga seperti saya sebutkan sebelumnya. Lagi-lagi tergantung pesanan.
Dan kuantitas pesanan terbanyak yang pernah diterimanya sejauh ini bukan dari pihak keraton. Melainkan dari pihak pengelola Desa Wisata Nglanggeran, yang saat itu memesan 150 buah blangkon untuk sebuah acara budaya. Selain itu, keberadaan dalang, pertunjukan seni wayang, dan kebijakan pemerintah terkait penggunaan blangkon juga sangat berperan.
Saya tidak sempat menghitung secara cermat. Berapa jumlah lipatan pada blangkon yang sedang ia jahit saat kami wawancarai. Tapi berdasarkan penuturan Ranggajati pada kesolo.com, blangkon yang bagus bisa memiliki 14 sampai 17 lipatan. Terlipat rapi di kanan dan kiri. Dan kemudian saya pun menyimpulkan, blangkon seperti itu mungkin yang paling mahal. Yang paling rumit.
* * *

“Alhamdulillah, pemerintah sangat membantu, Mas,” Erna mensyukuri peran dinas dan pemerintah daerah terkait terhadap kelangsungan usahanya. Bantuan tersebut lebih sering berupa pelatihan-pelatihan hingga pameran. Dari pelatihan, ia dan suaminya kerap mendapatkan modal pendampingan usaha senilai barang. Barang-barang tersebut seperti gunting, alat jahit, dan perlengkapan lain yang sangat membantu kelangsungan produksi blangkon.
Erna dan sepuluh kelompok pengrajin blangkon lainnya di Dusun Bulu juga kerap diikutsertakan dalam pelatihan dan pameran karya. Tak hanya di Jogja, tapi juga hingga luar provinsi.
Sejenak, saya kembali terkesima dengan lipatan, motif, dan kecekatan serta semangat Erna dalam membuat blangkon. Seperti halnya batik dan keris. Bahwa tingkat kerumitan pada proses memberikan hasil dan nilai yang sepadan.
Kami mungkin tidak perlu menelisik terlalu jauh, apa motif pemesan dan pengguna blangkon buatan Erna dan suaminya. Yang cukup perlu kami tahu, darinya telah tampak simbol ketelitian, ketekunan, kesabaran, dan keindahan pada blangkon hingga detail-detailnya. Yang mana, bagi saya, telah memenuhi syarat filosofi orang Jawa seperti yang disampaikan Ranggajati. (*)
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Travel Blogger Eksplor Desa-Kampung Wisata Jogja Istimewa” bertema #EksplorDeswitaJogja yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi (Forkom) Desa Wisata D. I. Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk keperluan belajar mengenai proses pembuatan blangkon dan pemesanan, Anda dapat menghubungi Erna di nomor 0877384334406
Referensi tambahan:
http://kabarhandayani.com/produk-blangkon-suratno-diminati-para-seniman/
http://kesolo.com/blangkon-simbol-pertemuan-jagad-cilik-dan-gede/
Foto sampul:
Rekan-rekan bloger berfoto nan bersahaja dengan mengenakan blangkon buatan Erna (Foto oleh Nasirullah Sitam)
Tinggalkan Balasan