Kalimati kembali bergeliat. Saya terbangun. Kedua mata terasa bagaikan habis menangis. Kurang tidur. Tapi karena suhu di dalam tenda mulai gerah –arloji menunjukkan pukul 8 pagi- saya memilih keluar tenda.
Membawa kamera, saya berjalan menjauhi area perkemahan. Ke utara, ke arah Jambangan. Tak jauh dari gerombolan edelweiss dan cantigi. Subhan yang baru menunaikan hajat di ‘peturasan’ alami, dan Anggrek (yang juga baru bangun) menyusul.
Di atas rerumputan, kami berjemur. Memandang tubuh raksasa berlumur bebatuan dan pasir bergurat itu.
Untuk yang kesekian kalinya, asap beracun itu keluar dari kawah Jonggring Saloka. Dari gelembung-gelembung pekat pucat, menebarkan buih-buih debu, melekat di baju. Pakaian saya yang serba hitam bak berlumur ketombe.
Saya menelisik, memicingkan mata ke arah pendakian ke puncak Mahameru. Tampak debu-debu yang beterbangan, tanda dilewati orang yang turun. Dan lenyap selepas melintasi Kelik, perbatasan vegetasi. Pasti di wajah mereka terlukis rona gembira, lelah, dan lapar yang menjadi satu.
Kalimati menjadi tempat kembali.
* * *

Langkah kaki Anggrek yang terseok kembali terhenti. Saya yang jalan di belakangnya ikut berhenti. Berturut-turut, Tanti, Gunawan, dan Dicky yang berada di depan kami ikut berhenti. Jarak kami dengan mereka sekitar lima langkah.
Kami duduk berbalik membelakangi jalur pendakian. Menghadap ke arah Kalimati. Duduk di atas pasir-pasir rapat dan batu-batu berserakan berbagai ukuran. Debu beterbangan ke segala penjuru.
Yang menerbangkan debu itu memang angin. Tapi pemicunya adalah derap kaki yang kepayahan saat menanjak. Dari para pendaki, termasuk kami. Jalur ke puncak Mahameru kala itu, layaknya begini: jalan raya di kota metropolitan saat jam sibuk, dengan kendaraan yang terjebak dalam perempatan, lengkap dengan matinya lampu lalu lintas. Semua berlomba demi meraih titik 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl).
Melihat itu, saya hanya berharap dalam hati, sungguh tak ingin melanjutkan pendakian ini. Saya hanya ingin turun ke Kalimati dan tidur.
Baru saja mematikan lampu kepala, seorang pendaki laki-laki dengan tongkat pendakian berjalan mendekati kami yang sedang beristirahat. Di tengah napasnya yang memburu, ia bertanya, “Mas, kira-kira bisa dapat sunrise tidak, ya, di puncak?”
Saya mengecek arloji. Sudah pukul tiga dini hari. Kami saja sudah berjalan hampir dua jam dari Kelik, belum mencapai separuh perjalanan di jalur berpasir ini. Saya kembali menatap wajah pendaki itu, “Sepertinya tidak terkejar, Mas.” Ia terdiam. Saya bertanya lagi dari mana asalnya. ”Jakarta,” katanya. Dia tidak sendiri. Dia termasuk dalam 30 orang dalam rombongannya, dan semuanya baru pertama kali mendaki gunung tertinggi di Jawa ini.
“Ya sudah, makasih ya, Mas,” ia pamit melanjutkan perjalanan. Diikuti teman-temannya. Saya hanya menjawab dengan pesan, “Hati-hati, Mas.” Debu kembali beterbangan.
Beberapa saat kemudian, kami melanjutkan pendakian. Tapi tak sampai sepuluh langkah, Anggrek kembali meminta berhenti. Posisinya merangkak, kepala menunduk nyaris menempel pasir. tanda yang jelas bahwa ia sangat kelelahan. “Mas, aku sudah gak kuat lagi.” Harapan saya tadi seakan terkabul. “Kita turun saja sekarang?” Anggrek mengangguk.
* * *
Suara alarm dari gawai saya berdering kencang. Bangun! Bangun! Mungkin begitu pekik si alarm dalam nyaringnya. Saya agak malas-malasan bangun. Maklum, saya hanya tidur sejam saja selepas makan malam berakhir pukul 22.00. Terlalu larut untuk tidur bagi yang ingin melanjutkan pendakian ke puncak.
Saya membangunkan yang lain. Sebagian sudah terbangun oleh alarmnya sendiri, sebagian harus dibangunkan secara paksa. Terkecuali Subhan. Bukannya malas, tapi kakinya terasa nyeri jika dipaksakan berjalan. Melanjutkan tidur adalah pilihan terbaik. Ia tahu batasannya.
Malam itu, Kalimati kembali bergeliat. Akhir bulan Mei tahun 2014 adalah musim ramai pendaki, padahal baru sebulan dibuka untuk pendakian. Kalimati bagaikan kawasan permukiman yang tiba-tiba seluruh warganya terbangun karena ada yang kemalingan. Suara ricik cemara gunung kalah dengan sahutan-sahutan pendaki. Ada yang baru dalam tahap membangunkan temannya, ada yang sudah berjalan duluan ke puncak.
Sebelum fase pulang, ada 1 kilometer vertikal yang harus ditempuh menuju Mahameru. Jarak yang secara angka cukup dekat, tapi tak sedekat seperti yang diperkirakan.
Dengan pertimbangan medan pendakian yang ekstrim, maka tujuan puncak harus ditempuh sebisanya lalu turun dengan sesegera mungkin. Para pendaki menyebutnya summit attack. Muncak dengan membawa perlengkapan secukupnya dan tidak membebani tubuh, yang meringankan langkah kaki.
Adagium harus turun dari puncak sebelum pukul 9 pagi sudah lama berlaku di Gunung Semeru. Umumnya, kondisi arah angin berubah arah ke puncak di atas jam 9 pagi. Asap beracun dari kawah bisa menyapu dataran puncak.
Tapi, cuaca adalah penguasa di gunung ini. Ia bisa semena-mena mengubah tatanan. Tewasnya Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pada 16 Desember 1969 bisa menjadi pelajaran.
Selepas Kelik, perbatasan vegetasi di atas Arcopodo, jalur siratal mustaqim lalu menjadi penghubung menuju hamparan lereng berpasir dan berbatu. Menanjak, seakan tak berujung. Naik tiga langkah, turun dua langkah; pendaki Semeru pasti tahu ‘ketentuan’ ini.
Di antara Kelik dan Mahameru, adalah hamparan tanpa naungan. Di atas kepala langsung menghadap langit. Igir-igir jurang tanpa dasar di tepian jalur yang siap menelan. Ancaman bahaya mengintai tidak hanya berupa longsoran batu, tapi juga hujan badai hingga asap beracun yang terbawa angin yang berubah arah.
* * *

“Ky, gantian kamu yang di depan,” pinta saya agar Rizky memimpin rombongan summit attack. Jalur barunya cukup jelas. Saya sudah melintasinya saat pendakian ke Semeru dua pekan sebelum pendakian ini. Jalur baru dibuat para ranger dan sukarelawan taman nasional persis di belakang pos Kalimati. Menggantikan jalur lama Arcopodo yang rusak karena longsor.
Jalur awal berupa jalan setapak yang cukup lebar beralas kerikil. Tanaman edelweiss tumbuh di kanan-kiri. Awalnya cenderung datar, perlahan menanjak, lalu pindah persneling ke gigi 1 untuk meniti tanjakan terjal yang tembus di atas Arcopodo. Kami berjalan dalam waktu tempuh yang normal, sekitar satu jam untuk tiba di Kelik.
Kami sempat istirahat cukup lama di Kelik. Menunggu giliran menyeberangi igir selebar sepasang kaki di pintu keluar hutan.
Selepas Kelik, tim kami mulai tercecer. Dari sini, pendakian yang sesungguhnya dimulai. Yang fisiknya kuat, berjalan lebih cepat.
Sejam perjalanan dari Kelik, lima orang semakin tertinggal di belakang. Termasuk saya, yang berperan sebagai sweeper. Sepuluh anggota tim yang lain, termasuk Rizky, melesat jauh di depan.
Anggrek mulai menunjukkan tanda-tanda lelah. Tak sampai lima langkah, ia berhenti. Saya mengikutinya. Terlepas itu, jalur pendakian ke puncak pada waktu itu memang tak memungkinkan untuk berjalan lebih cepat.
Melihat hal tersebut, di sisi lain dari kesadaran saya, seolah terasa ada tarikan dari Kalimati yang mengganjal langkah. Kehangatan sarung tidur dari tenda melambai-lambai di angan. Seakan memanggil kami untuk turun dan tidak usah melanjutkan perjalanan.
* * *
Saya berteriak ke arah Tanti, “Hei! Anggrek gak kuat, kami akan turun. Kalian mau ikut atau lanjut ke puncak?” Mereka bertiga kompak untuk meneruskan pendakian. Di antara mereka, hanya Tanti yang agak payah fisiknya. Tapi tak seperti Anggrek, dia memilih bertekad meneruskan perjalanan.
“Gun! Aku minta tolong, titip konsumsi buat teman-teman,” Saya memanggil Gunawan. Saya menyerahkan sebagian besar konsumsi dari tas ransel saya ke ranselnya. Konsumsinya mencakup roti tawar, susu coklat, biskuit, dan satu botol air mineral 1,5 liter. Juga menitipkan tripod saya kepadanya, siapa tahu berguna untuk dokumentasi di puncak.
“Hati-hati, tetap bareng-bareng. Sebelum jam 9 pagi harus sudah turun ke Kalimati,” begitu pesan saya ke mereka bertiga. Saya berharap mereka tidak memaksakan diri. Saya berharap mereka tahu batas fisik dan mental mereka sendiri.
Saya hanya membawa tas kamera, yang memang berisi kamera. Anggrek sudah siap untuk berjalan turun. “Ayo turun.” Saya jalan duluan. Kami berjalan perlahan, menapaki jalur berpasir, dan kembali melintasi hutan di atas Arcopodo yang gelap.
Kami mengalami apa yang Rizky dan Tomi rasakan saat pendakian ke Semeru pada 2013. Keduanya harus menemani Lia yang fisiknya drop untuk kembali ke Kalimati. Melintasi hutan cemara gunung Arcopodo yang, membuat mereka mendapatkan cerita-cerita di luar nalar.
Rupanya Semeru kembali menghadirkan kejutan, lewat pendaki lain. Baru saja kami keluar kawasan Arcopodo, tiba-tiba ada sejumlah pendaki yang baru akan naik ke puncak. Salah satu dari mereka bertanya, “Permisi, Mas, Kelik masih jauh gak, ya?”
Kelik sudah berada 5 menit di belakang. Saya menjawab, “Mungkin sekitar 10 menit lagi, Mas.” Begitu saja. Dan kami berpisah dengan cepat.
Saya dan Anggrek kembali berjalan. Setelah berada di jalur baru di bawah Arcopodo, langit terlihat mulai terang. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Sebentar lagi akan masuk waktu Subuh. Setengah berteriak, saya berkata kepada para pendaki yang baru naik ke puncak itu, “Mending turun saja, Mas!” Tapi saya tak sampai membubuhi umpatan kekinian seperti di linimasa dunia maya: kzl.
* * *

Wajah kami bertiga: saya, Subhan, dan Anggrek masih segar. Bahkan saat nanti kembali ke Ranu Kumbolo, pasti kamilah yang berjalan paling cepat. Yang lainnya pasti akan sedikit lebih lambat. Ada tenaga yang masih tersimpan karena urung mendaki ke puncak.
Setidaknya, itu hikmah dari mengetahui batas diri. Anggrek tahu batas fisiknya tak akan mampu dipaksakan lagi. Subhan, sejak tiba di Kalimati, dialah yang pertama kali menyatakan tak akan ikut ke puncak. Kakinya cedera.
Di ketinggian 2.700 mdpl, Kalimati adalah tempat kembali. Kembali dari pencapaian bagi yang merasakan gegap euforia di puncak tertinggi. Juga kembali memahami batas diri bagi yang tertahan langkahnya.
Ini adalah pendakian yang pertama bagi Subhan, dan belum berkesempatan ke Mahameru. Bagi Anggrek, ini kali kedua ke Semeru, tapi kembali belum beruntung menggapai puncak.
“Semeru gak akan ke mana, Mas,” katanya. Membesarkan hati kami.
Kalimati selalu tentang batasan-batasan. Di sinilah titik tolak berpikir, meneruskan atau menghentikan perjalanan. Kita mungkin terlalu terkesima, atau tergoda dengan kebanggaan yang terasa saat berdiri di atas tanah tandus yang penuh batu berabu. Tapi mungkin kita lupa, gunung sejatinya adalah tempat kita becermin.
Dan kami tahu, saat ini batas kami hanya sampai di Kalimati. (*)
Foto sampul:
Shelter Kalimati di ketinggian 2.700 mdpl. Areal kemah terakhir dan teraman sebelum puncak Mahameru
Tinggalkan Balasan