Prosesi wisuda periode ke-VII tahun akademik 2016/2017 memasuki acara inti. Dimulai dengan pelantikan wisudawan terbaik secara simbolis, rektor memindahkan kuncir toga, lalu diikuti serempak oleh wisudawan yang lain. Berbalut pakaian toga dan dalam prosesi sakral ini, kami dinyatakan resmi sebagai wisudawan.
Satu per satu wisudawan dipanggil untuk naik ke panggung. Menerima ijazah dari dekan setiap fakultas, lalu berjalan ke tengah panggung untuk berjabat tangan singkat dengan rektor. Para pimpinan dan senat, serta para wisudawan, menjadi pusat perhatian, setidaknya bagi para orang tua dan keluarga wisudawan.
Saya melihat alur itu, para sarjana, magister, dan doktor berjalan menerima ijazah. Saya mengetahui itu adalah fakta bahwa, hampir seribu lulusan dari satu perguruan tinggi telah dilepas ke masyarakat. Sungguh, ini bukan perkara prosesi seremonial semata atas nama kebanggaan almamater.
Tapi, ini adalah sinyal di mana akan ada banyak mata menyorot kami. Bagaimana cara kami agar berdaya saing dan bermanfaat bagi bumi yang kian menua ini.
* * *

Ketika secara resmi memulai status sebagai mahasiswa pada 7 tahun lalu, saya tak pernah bisa membayangkan bagaimana saya akan mengakhiri studi di sini. Pertanyaan semacam akankah lulus tepat waktu juga sedikit mengusik. Dan saya mengambil jurusan yang, sempat dipandang sebelah mata oleh sebagian teman, tetangga, bahkan guru SMA saya dulu. Mengapa ambil pertanian?
Sungguh, pertanian bukan perkara pergi ke sawah dan mencangkul. Pertanian bukan perkara mudah berteori menanam, merawat, dan memanen.
Bagaimana kita bisa tahu kalau pertanian kita belum sepenuhnya bebas dari masalah?
Kita bisa lihat kasus paling mudah pada harga cabai yang melambung kala musim penghujan. Lihatlah petani yang tidak berdaya menjual hasil panennya sendiri. Lihatlah kegagalan-kegagalan panen hasil pangan, hortikultura, hingga perkebunan karena kondisi alam, sumber daya manusia, dan keterbatasan teknologi.
Bidang belajar saya, sosial-ekonomi pertanian (non peternakan-perikanan) adalah sektor yang kompleks. Seorang profesor manajemen agribisnis di jurusan saya, pernah mengatakan bahwa belajar selama program sarjana tidak akan cukup. Sekolah lagi di program magister juga belum tentu cukup. Sekelas professor pun tak akan pernah merasa cukup untuk memahami bidang yang dikuasainya.
Bahkan, mengurai benang kusut dari menanam benih padi, hingga menjadi nasi yang sampai ke mulut kita, tak semudah kelihatannya.
* * *

Satu per satu wisudawan (dan wisudawati) menghamburkan diri dalam peluk cium orang tua masing-masing. Tak lupa mengajak kerabat, sanak saudara, dan teman seperjuangan, merekam diri dalam bingkai-bingkai foto yang selalu akan dikenang. Sebagian besar berfoto dengan latar yang khas, bundaran tugu dan gedung rektorat Universitas Brawijaya yang satu garis lurus.
Tak terkecuali saya, tak terkecuali saya.
Di pintu keluar Samantha Krida, gedung tempat prosesi wisuda, saya langsung mencium tangan ibu, dan juga bapak yang bilang, “Bapak sangat terharu, akhirnya perjuangan itu tercapai.”
Saya memeluk erat keduanya, bergantian. “Maaf aku terlambat lulus.” Permintaan maaf yang sama saya yakin juga disampaikan oleh teman-teman saya yang seangkatan. Bahwa kami membuktikan mampu menyelesaikan tanggung jawab, meskipun sudah di ujung tanduk.
Bapak punya cara menyampaikan kebesaran hati dan membesarkan hati anak sulungnya. Pundak saya ditepuk dan dipegang erat, seakan berkata, masih ada jalan masa depan yang terbentang luas.
Di bundaran tugu yang kolamnya berair hijau itu, yang satu-dua wisudawan dijahili sahabat-sahabatnya dengan diceburkan di dalamnya, kami berbagi kebahagiaan. Dari pakde, bude, dan terutama nenek dari ibu yang matanya berkaca-kaca. Dipegangnya tangan saya yang merasakan keriput jemarinya. Diciumnya pipi saya yang merasakan keriput kulit pipinya. Saya telah memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tentang kapan saya diwisuda.
Saya jadi ingat kata bapak soal belajar itu. Saya pernah menyampaikan pesannya saat prosesi yudisium sarjana di jurusan, mewakili rekan angkatan kami. Bahwa, kita harus sekolah sekuat-kuatnya, baik formal atau non formal. Karena, belajar itu bisa kapan pun dan di mana pun. “Ilmu Allah itu luas,” kata bapak.
Bukankah Imam Syafi’i menganjurkan kita untuk tidak berdiam diri di satu tempat saja? Perjalanan masih panjang.
* * *

Dan yang paling tak mudah dari pertanian adalah mengubah persepsi. Mengubah sudut pandang atau orientasi. Salah satunya adalah bagaimana konsisten mengupayakan pertanian yang berkelanjutan. Bagaimana agar kita secara perlahan mengurangi ketergantungan pada bahan kimiawi. Kimia memberikan hasil instan, tapi tak selalu memiliki reputasi berkelanjutan.
Tak salah, jika sebagian besar petani yang saya temui saat praktikum lapang di desa-desa, mengharapkan para mahasiswa pertanian dapat berkiprah nyata di bidangnya. Saya masih terngiang sorot mata penuh harap itu. Dan acapkali saya merenung, menangis, bagaimana saya bisa membantu mereka?
Saya pun ikut khawatir, ketika sebagian petani menyiratkan kegelisahan. Gelisah, karena tak semua anak-anaknya mau meneruskan jejaknya menjadi petani. Lantas, siapa lagi yang akan menanam jika generasi petani terus merosot?
Saya pikir, kegundahan tersebut sangat layak menjadi latar belakang yang memotivasi generasi muda untuk mau bertani. Indonesia sudah menyediakan bentang alam yang luar biasa. Hutan, sawah, perkebunan, mudah ditemukan di seluruh penjuru negeri. Allah sudah menitipkan kekayaan sumber daya alam di Indonesia untuk kita berdayakan dan lestarikan.
Selain kekayaan maritim, saya juga melihat kekayaan agraria di negeri ini. Setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing di bidang pertanian. Mulai dari padi hingga rempah-rempah.
* * *

Siang itu, tumpah ruah kebahagiaan karena tanggung jawab yang berhasil diselesaikan para mahasiswa atas amanah yang diberikan oleh orang tua masing-masing.
Tapi… Masih ada tapi.
Lepas satu tanggung jawab, datang tanggung jawab yang lain telah menunggu. Dan, kami harus bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menguar karena gelar, keilmuan, dan pengalaman yang melekat selama belajar di kampus. Setidaknya, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Jawaban-jawaban itu hadir dalam bentuk kontribusi-kontribusi nyata. Ada baiknya ketika para sarjana dari berbagai bidang bersatu, memiliki visi dan misi yang sama. Hal-hal kecil dapat menjadi awal mula yang baik. Khususnya bagi para sarjana pertanian, sudah semestinya berpikir bagaimana menyejahterakan pertanian dan lingkaran yang melingkupinya (terutama petani).
Saya, dan teman-teman sejurusan adalah seorang sarjana di bidang pertanian, dengan minatnya masing-masing. Sosial-ekonomi pertanian, budidaya pertanian, ilmu tanah, hingga hama dan penyakit tanaman. Dan kami tahu, ada yang harus kami perbuat di dalamnya. Cepat atau lambat.
Setidaknya, kami bisa dibantu untuk berpikir: dari mana asal nasi yang kita makan?
Universitas Brawijaya, Malang, 14 Januari 2017.
Tinggalkan Balasan