Kapan terakhir kali kita menyempatkan diri sejenak, menyaksikan langit senja yang kemerahan atau keemasan?
Sore itu, dua sahabat bertandang ke kos saya di tepian barat Tunggulwulung, yang lagi mendung.
Saya tengah menulis di laptop kecil saat itu. Menghadap dua jendela besar yang separuhnya tertutup tirai biru laut. Menghadap mendung ke arah barat. Tak ada ekspektasi apa-apa tentang senja kala yang bikin terkesima.
Lalu terdengar suara derap kaki mendekat. Saya membukakan pintu kamar yang terletak di lantai dua ini. “Assalamualaikum, halo Pakde gaes! Lama tak jumpa,” sapa Oki, sambil menenteng sebuah tenda dome kuning dan matras aluminium foil. Diikuti di belakangnya, Mustofa. Keduanya seangkatan, tapi tiga tahun di bawah saya di fakultas yang sama.
Saya menjawab salam keduanya. Mempersilakan masuk. “Bagaimana Malang selatan?” tanya saya sambil terkekeh.
Kedua wajah mereka yang sudah kuyu langsung semakin kuyu. Keduanya kompak mendengus. “Macet!” Saya tertawa.
* * *
Pekan lalu, Januari baru menginjak hari kedua di awal tahun, Selama “setahun”, dari 31 Desember 2016 hingga 1 Januari 2017, saya hanya melalui pergantian waktu di kamar kos. Menyesap keheningan.
Sementara kedua sahabat saya itu, memilih menikmati pergantian tahun dengan berkemah. Lokasinya di Pantai Kondang Merak, Bantur, Malang selatan. “Macetnya, Pakde….,” Oki kembali mengeluh dan mengembuskan napas panjang. Sementara Mustofa, anak Jawa yang besar di Sumatra Utara, mengeluh dalam bahasa Jawa berlogat Batak.
Ceritanya, mereka terjebak macet mendekati kawasan pantai dan harus menghabiskan waktu sekitar 4 jam menuju pantai. Beruntungnya, mereka membawa sepeda motor. Masih bisa meliuk-liuk di antara celah-celah kendaraan yang bisa membuat napas sesak. Tak membayangkan membawa mobil dan terjebak macet panjang di jalan Malang selatan yang hanya selebar dua mobil SUV berdempetan.
“Aku pernah mengalaminya…,” ujar saya sembari ikut duduk bersimpuh di lantai.
Lalu giliran saya bercerita. Ingatan kembali mengenang di awal tahun 2016. Setahun lalu.
Saat itu, ada tamu yang terdiri dari dua keluarga dan saling berkerabat. Dari Jakarta, mereka membawa dua mobil SUV matik. Selama tur wisata di Malang, mereka meminta sekaligus membayar saya dan seorang teman untuk menyopiri.
Setelah dua malam di Kota Batu, tur di hari ketiga berlanjut ke pantai-pantai di kawasan Sumbermanjing-Gedangan di Malang selatan dan finis di Pantai Batu Bengkung. Kami berangkat dari kota Malang sekitar pukul 10 pagi.
Tapi, rencana tinggal rencana. Perjalanan yang normalnya 2,5 jam menjadi 7 jam karena terjebak macet dan mengular hampir 15 km sebelum Pantai Batu Bengkung. Selain karena sepeda motor yang tidak tertib antrean macet dan saling serobot, juga karena banyak ‘sosok’ truk pengangkut speaker-speaker besar yang menggemakan dangdut sepanjang jalan. Dan mereka jalan terseok-seok karena sempitnya jalan.
Kami tiba di pantai Batu Bengkung pukul 17.00. Lalu bergegas menuju bukit di atas pantai Watu Lepek di sisi timur Batu Bengkung untuk melihat pemandangan. “Untung sunset-nya dapat!” Saya berseru.
Senja kala yang menghibur. Melipur letih.

* * *
Di tahun ini, senja kala juga mengulang penghiburannya. Walau tidak dari tempat yang sama.
Saya lalu keluar kamar. Berdiri mepet dengan pagar besi hitam yang hanya berjarak satu setengah lengan dengan pintu kamar.
Di arah barat, masih tampak mendung mengangkasa di langit kota Batu yang mulai gemerlap. Tapi bergeser pandangan ke selatan, warna langit yang khas itu terlihat. Saya tak perlu memicingkan mata saking jelasnya. Matahari mungkin sudah berpindah di belahan bumi yang lain, tapi jejaknya masih belum hilang dari pandangan.
Saya kembali ke dalam, lalu berseru, “Hei, Rek! Yuk ke atas, lihat langit!”
Setelah menutup pintu kamar, saya mengajak mereka ke lantai tiga kos. Lantai teratas yang masih dalam tahap pembangunan. Saya membuka pintu kayu yang dikaitkan dengan kawat pada dinding triplek. Masih berserakan besi panjang dan bahan bangunan lainnya. Berantakan di sana-sini.
Kami kemudian merapat ke tembok setinggi dada di sisi selatan.
* * *

Ibarat suara, jejak sang surya menggema ke penjuru langit selatan. Berwarna keemasan di lereng Gunung Kawi di barat daya, lalu kemerahan ke arah tenggara. Memberi kontras yang sangat gelap bagi latar-latar di depannya –siluet bangunan dan pohon.
Barangkali kami terlalu mengagumi senja. Terbuai rona langitnya.
Kami yang kerap gelisah menanti kekhasan senja di balik mendung pekat. Kami yang kerap tak sempat mengabadikan senja kala langit begitu bersih.
Setelah memotret beberapa jepretan, saya bertanya kepada mereka, “Kapan terakhir kali kita menyempatkan untuk melihat senja seperti ini?” Pertanyaan retorik.
Mereka tersenyum, mengangguk. Tanpa banyak kata, kami seakan sepakat jika tahun ini harus lebih sering menyempatkan diri memandangi senja terbenam. Sungguh, ada pesan di dalam senja kala.
Senja kala belum tentu berpesan tentang akhir sebuah kejayaan. Senja kala belum tentu merupakan ujung tanduk akan sesuatu. Senja kala juga berarti sebenarnya tentang pengingat.
Bahwa hari esok harus lebih baik daripada hari ini.
Memaknai senja kala dengan positif. Karenanya, di situlah tempat bagi kreativitas atau inovasi. Perubahan di masa depan.
Kapan terakhir kali kita menjadi berguna bagi lingkungan di sekitar kita? (*)
Foto sampul:
Langit yang keemasan di sisi selatan. Tampak siluet kontur lereng Gunung Kawi terlihat paling kanan.
Tinggalkan Balasan